Stasiun Kereta Api Kalibaru - 18.40
[Tiga hari sebelumnya]Perhatian bagi seluruh penumpang kereta api Sri Tanjung, sesaat lagi kereta akan tiba di stasiun Kalibaru. Semua penumpang-
Suara pengumuman pramugari di speaker gerbong membangunkan Putri dari tidurnya. Setengah sadar ia melihat ke luar jendela, mencoba melihat sampai di mana kereta itu.
Hanya terlihat gelap dengan sesekali lampu- lampu rumah penduduk berkelebat saat kereta melewatinya cepat.
Sejenak Putri mengerjapkan matanya, lalu menguncir rambut. Ia meraih tas ransel di railing atas, bersiap turun.
Kereta melambat, membuat suara gesekan pajang dengan rel baja. Lalu kereta berhenti di peron paling pertama.
Putri melompat turun dari gerbong bersama dengan ratusan penumpang lainnya. Ia berjalan menuju pintu keluar.
Lautan manusia berjubel di sekitar pintu kedatangan. Mereka tengah menunggu sanak, saudara, teman dan lainnya yang tiba di stasiun bersamaan dengan Putri.
Beberapa sopir ojek dan angkutan berebut menawarinya tumpangan, yang hanya ia balas dengan senyuman.
"PUT!" seseorang memanggil namanya. Satu tangan teracung dengan sebuah helm melambai- lambai ke arahnya.
Seorang laki- laki yang mengenakan jaket riding menghampirinya, lalu menyodorkan helm itu padanya.
"Nih," Triyo tersenyum lebar.
"Lama nunggu?" Putri berjalan di samping Triyo menuju jalan raya.
Di mana terparkir sebuah supermoto 150cc berwarna hijau tua milik posramil. Triyo mengenakan helm fullface nya, memutar kunci, lalu menyalakan mesin motor.
"Sori ya ngerepotin minta jemput segala." Putri menaiki jok belakang.
"Nggak lah," Triyo memasukkan perseneling satu. "Kebetulan aku juga ada perlu di kota."
Motor melaju memecah jalanan malam. Sesekali menyelip di antara mobil yang tak terlalu ramai. Pedagang kaki lima di kanan kiri jalan nampak bersemangat melayani pembeli.
Putri tersenyum. Ia tak pernah bosan menikmati suasana malam di kota kecil seperti ini. Tak ada hiruk pikuk berlebih yang memekakkan. Rasanya begitu tenang dan damai.
Putri mengambil nafas panjang, lalu melingkarkan lengan di pinggang Triyo.
Satu tangan Triyo memegang tangan Putri.
-----
"Dikit lagi," ujar Triyo memandangi tangannya.
"..," Ajeng tak berkata apa- apa. Ia merasa sangat bersalah kali ini. Ia tak membantu apa- apa.
Triyo menyorotkan senter nya ke arah Putri terseret tadi. Tapi lebatnya tanaman dan dedaunan membuat lampu senter seakan tak bisa menembus nya.
Hutan di lereng ini sangat berbeda dengan hutan di dekat desa. Seakan belum tersentuh. Terasa begitu kuno, seakan masih menyimpan keaslian dari masa dulu.
Lalu sorot senter di tangan Triyo menjadi remang. Dan mati. Baterai nya habis.
Kali ini kegelapan total menyelimuti mereka. Tanpa sedikitpun cahaya. Seakan membekap keduanya, membuat merasa begitu tak berdaya.
Ajeng meraih tangan Triyo, ia tak berani membuka mata. Triyo memandangi sekitar, tersenyum putus asa.
"Sampe sini doang?" ujarnya dalam hati.
Tanpa bantuan cahaya senter, mereka tak bisa apa- apa. Meneruskan perjalanan yang dengan mobil saja membutuhkan waktu berjam- jam menyusuri lereng? Atau kembali ke LawangKrajan yang jaraknya lebih dekat?
Sama saja. Mereka tak bisa melakukan apapun selain berdiam diri.
Samar- samar dari kejauhan dari arah bawah lereng, terlihat sesuatu cahaya kekuningan. Seperti nyala api, melayang- layang di kegelapan.
Cahaya kuning itu menyala redup, membuat pendar di sekitarnya.
Triyo menelan ludah. Ia menatap bola api itu, yang melayang makin mendekat ke arah mereka berdua.
"Sugeng Ndalu," sebuah suara serak dan berat menyapa.
Muncul dari kegelapan, seorang kakek tua yang berjalan ke arah mereka. Ia membawa sebuah obor di tangannya.
Kakek itu berambut putih panjang yang di kuncir cepol, dan janggutnya yang tak kalah panjang juga dipenuhi uban. Ia mengenakan baju dan celana panjang hitam, seperti pakaian adat warga Banyuwangi. Di tangan satunya, ia menggenggam sebuah tongkat pring kuning untuk membantu berjalan.
"Assalamualaikum," ucap laki- laki tua itu.
Mendengar sapaan salam, ketegangan Ajeng dan Triyo seakan hilang begitu saja. Mereka menjawab salam dari orang tua itu.
Orang tua itu tersenyum. Ia mengangguk ke arah dua orang itu, lalu membalikkan badan.
"Mari, Mbak Ajeng, ikut saya."
Orang tua itu kemudian berjalan masuk ke dalam rimbunnya tumbuhan hutan.
"Tunggu!?" Ajeng bergegas menyusul kakek itu.
"Kenapa Mbah bisa tahu nama saya?"
-----
Ajeng dan Triyo berjalan cepat menyusuri lebatnya hutan. Mengikuti nyala berwarna kekuningan dari obor kakek itu. Mereka seakan dengan mudahnya menembus rimbunnya tanaman.
Lalu mereka tiba di sebuah area lapang kecil.
Di tengahnya, berdiri sebuah pondok kayu dengan bangku panjang bambu di depan. Sebuah gentong tanah besar nampak di letakkan di sampingnya.
Kakek itu meggantung obornya di sebuah tiang dekat gentong. Sedikit menerangi area itu di tengah kegelapan pekat dan rimbunnya pohon- pohon tinggi.
Apakah kakek itu tinggal di sini?
"Mbah," Ajeng mendekati kakek itu yang nampak sedang menciduk air gentong. "Mbah siapa? Kenapa bisa tahu nama saya?"
"Nanti dulu," si kakek tersenyum. Ia menyodorkan sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa kepada Ajeng. "Minumlah."
Ajeng segera meminumnya. Air yang segar dan dingin. Rasanya seperti air kelapa, namun itu air biasa. Begitu meminumnya, rasa lelah, capek, dan segala beban yang ia rasakan seakan terangkat begitu saja.
Lalu kakek itu menyodorkan gayung kepada Triyo.
Kakek itu mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam pondok.
Walaupun kecil, namun pondok itu terasa nyaman. Ada sebuah meja dan kursi di tengah. Barang- barang di pondok itu hampir semuanya terbuat dari kayu, bambu dan tanah liat. Di pojok, terlihat sebuah dipan bambu beralasakan tikar jerami.
Kakek itu menyisipkan sebatang klobot, rokok jaman dulu yang terbuat dari rajangan tembakau yang di bungkus kulit jagung. Ketika di nyalakan, samar tercium bau kemenyan.
Ajeng dan Triyo duduk di meja memperhatikan kakek itu. Banyak pertanyaan yang berlintasan di kepala mereka.
Siapa kakek ini?
Apakah dia manusia atau bukan?
Tempat apa ini sebenarnya?Namun mereka memilih untuk diam.
"Mbak Ajeng," Kakek itu membuka suara sambil menghembus asap putih.
"Bapak meminta tolong saya untuk mencari kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]
Horror[Horor- petualangan] Story #1 Not for Youtube. Lawangkrajan, sebuah desa kecil yang terletak di punggung gunung tertimpa bencana longsor. Sekelompok petugas dari desa terdekat, memutuskan untuk membentuk tim survey. Menjadi tim pertama yang akan ber...