Pak Slamet kembali menyalakan tungku untuk merebus air, juga menjaga ruangan itu tetap hangat.
Ajeng duduk sambil menyandarkan kepalanya di bahu Putri. Keduanya bergelung dalam selimut.
Ronggo nampak membolak- balik majalah pertanian tanpa fokus pada bacaan.
"Kenapa mereka berdua belum kembali ya?" celetuk Putri terdengar khawatir.
Pak Slamet tersenyum. Ia meletakkan beberapa gelas minuman panas di tengah. "Tenang aja Mbak. Kalo saya lihat sih mereka berdua udah terlatih mental sama fisik kok."
"Tapi ini sudah hampir dua jam," Ronggo menutup bukunya. Ia berjalan mendekat ke tengah. "Dan belum ada tanda- tanda mereka akan kembali."
Putri menatap Ronggo dengan tajam.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan," Pak Slamet mencoba mencairkan suasana. Ia menyodorkan piring rebusan singkong pada Ajeng. "Mbak Ajeng udah enakan?"
Ajeng hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. Ia mengambil sepotong dan memakannya pelan- pelan.
"Enak kan?" Pak Slamet menyulut kretek. "Hasil bumi dari desa ini enggak ada yang bisa ngalahin. Makanya banyak langganan saya yang protes kalau saya ambil sayuran dari tempat lain."
"Bapak punya langganan?" Putri meniup- niup teh yang masih mengepul uap panas. "Pedagang sukses dong."
"Yaaa.. dibilang sukses ya gimana ya?" Pak Slamet terkekeh merendah. "Hasilnya cukup lah buat beli rumah dan beberapa petak tanah di dekat kota."
Ronggo menyisip kopi racikan Pak Slamet. "Betul, enak. Berkali kali minum dari tadi, pahitnya tebel tapi enggak nyethak."
Pak Slamet menghembus asap. "Betul. Di kota banyak kafe yang nyetok kopinya dari saya."
"Bahkan yang ini ada wangi- wangi melati nya juga," tambah Ronggo.
Pak Slamet menatap Ronggo bingung. "Melati?"
Putri mengendus- endus udara. "Eh, iya. Bau melati."
Lalu kesemuanya saling berpandangan.
Sebab saat mereka tiba di desa sore tadi, kebun- kebun di sini hanya di tanami sayuran. Tak ada satupun rumah pun yang menanam melati. Lalu dari mana wangi semerbak ini?
-SREEEKKK. SREEEEK.
Samar- samar terdengar sebuah suara. Suara sebuah benda yang beradu dengan tanah. Suara yang sangat familiar di telinga.
"Ada orang lagi nyapu ya?" Ajeng berbisik. Ia mendekap Putri lebih erat.
"Nyapu?" Ronggo meletakkan gelas kopinya. "Malem- malem ujan- ujan gini?"
Suara itu terdengar begitu dekat. Sepertinya tepat dari luar rumah.
"Biar aku lihat," Ronggo bergegas ke arah pintu. Ia hendak melepas palang kayu ketika tiba- tiba tangan Pak Slamet mencengkeram tangannya.
"Tunggu Mas," serunya setengah berbisik. Pak Slamet menggelengkan kepala mengisyaratkan 'jangan'.
Ia menuntun Ronggo untuk kembali ke tengah ruangan.
"Orang desa ini sangat percaya dengan namanya 'ora ilok'. Dan nyapu malem- malem itu adalah salah satunya. Jadi saya bisa pastikan bahwa suara itu bukan sesuatu yang dari sini."
(ora ilok = tidak elok/ tidak pantas. Semacam pantangan, atau pamali)
Ronggo mengangguk paham. Tapi rasa penasarannya tak bisa dibendung. Ia mengendap- endap ke arah dinding kayu.
"Ronggo! Ngapain?" Putri setengah panik.
Ronggo berjongkok, dan mengintip dari celahnya.
Gelap.
Awalnya hanya gelap yang ia lihat. Namun beberapa saat kemudian, ketika matanya sudah terbiasa, ia melihat sesuatu di jalan depan rumah.
-SREEEKKK. SREEEEK.
Di tengah rintik hujan, ada seseorang tengah menyapu. Sosoknya berdiri agak membungkuk. Mengenakan kebaya dan dengan bawahan jarik. Rambutnya acak- acakan menjuntai mengikuti gerakannya menyapu.
Sosok itu seperti seorang nenek- nenek.
Ronggo menahan nafasnya tegang. Ia terus menatap sosok di jalan itu.
Lalu nenek itu berhenti menyapu. Ia berdiri tak bergerak sama sekali. Nenek itu seakan mematung begitu saja.
Ronggo mengernyit bingung. Ia baru saja hendak beranjak, ketika tiba- tiba nenek itu menoleh ke arahnya.
Ke arahnya.
"Jancuk!" Ronggo tersentak kaget. Ia setengah berlari berkumpul dengan yang lain.
"Ada apa Mas?" Pak Slamet nampak penasaran.
"Adaa.. Anu," Ronggo tergagap.
Pak Slamet menyodorkan gelas kopi milik Ronggo tadi, menyuruhnya minum untuk menenangkan diri.
"Ada apa sih?" Putri juga penasaran.
Ronggo meneguk kopinya cepat. Ia menarik nafas dalam- dalam.
"Jadi di luar itu-"
-tok tok tok
Seseorang mengetuk pintu.
"Kulo nuwun.." sebuah suara terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu. Suara itu terdengar lembut, parau dan rendah.
Suara nenek- nenek.
Keempat orang di dalam ruangan itu terkesiap.
Ronggo menelan ludah. Pak Slamet mengisap dan menghembus kreteknya dengan tegang.Mereka menatap lekat pintu yang masih terkunci palang kayu itu, tanpa berani berbuat apapun.
"Kulo nuwun.." suara itu masih terdengar beberapa kali bersamaan dengan ketukan.
Lalu berhenti.
Satu menit. Dua menit. Lima menit.
Tak ada suara apapun.
Pak Slamet, Ronggo, Putri dan Ajeng menghela nafas lega walau kengerian masih tergambar di wajah mereka.
"Itu tadi apa-"
-BRUAAK!! BRUAAAK!!!
Pintu kayu itu digedor sangat keras dari luar. Sebuah suara lembut dan parau kembali terdengar.
"Kulo nuwun."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]
Horror[Horor- petualangan] Story #1 Not for Youtube. Lawangkrajan, sebuah desa kecil yang terletak di punggung gunung tertimpa bencana longsor. Sekelompok petugas dari desa terdekat, memutuskan untuk membentuk tim survey. Menjadi tim pertama yang akan ber...