LawangKrajan - 15:10

2.4K 337 11
                                    

Mobil double-cabin itu berhenti di bawah pohon besar, tepat di pinggir desa. Beberapa lama semua orang yang ada di situ terdiam,memandangi desa LawangKrajan yang begitu sepi.

Hujan masih saja mengguyur disertai kabut. Membasahi rumah- rumah petak yang nampak berdiri kokoh walau terlihat tua. Atap- atap berlumutnya nampak berkilau oleh air. Suasana desa itu tak bisa dipungkiri memang sangat indah.
Namun secara bersamaan juga menakutkan.

Kesunyian yang menyelimuti wilayah itu terasa begitu nyata. Membuat LawangKrajan bagaikan desa mati.

Pak Slamet berlari ke arah sebuah rumah kayu yang terletak paling luar dekat mobil. Ia mendorong pintu kayu yang tak terkunci, dan memanggil semuanya masuk.

Triyo, Ronggo dan Bagus dengan cekatan membawa sebagian perlengkapan ke dalam rumah. Di susul Ajeng, Putri dan Pak Lutfi.

Rumah kayu joglo itu hanya berupa sebuah ruangan persegi panjang yang di pisah oleh sekat- sekat anyaman bambu. Ada dapur sederhana, kamar tidur yang hanya bertutupkan selambu, dan sisanya adalah ruang utama.

Rupanya memang Pak Slamet sering menginap di rumah ini. Di atas meja yang dipenuhi buku- buku pertanian, terdapat sebuah foto kecil. Foto Pak Slamet dengan seseorang yang mungkin bernama Pak Suwandi, rekan dagangnya.

Ia juga tahu di mana tempat kayu- kayu kering.  Pak Slamet menyalakan tungku di dapur, mengambil air di gentong tanah, dan merebus air di atasnya. Diambilnya sebungkus plastik berisi kopi giling dan beberapa kantong teh.

Triyo, Ronggo dan Bagus segera melepas baju mereka yang basah kuyup. Mereka memerasnya dan menata nya di dekat tungku. Sementara mereka sendiri duduk melingkar di sekitar nyala api. Terlihat raut lega di wajah mereka bisa melepaskan diri dari dingin lereng yang menusuk.

Ajeng membantu Pak Slamet menyiapkan minuman panas, sementara Putri sedikit merapikan ruangan utama dan menggelar tikar jerami.

"Memangnya tidak jadi masalah kita di sini?" Ajeng menuangkan air panas ke gelas- gelas yang tertata.

"Ndak apa Mbak," Pak Slamet mengaduk kopi raciknya. "Pemilik rumah ini , rekanan dagang saya. Kami sudah akrab sekali seperti saudara. Ia membolehkan saya bebas menginap di sini kalau kemalaman di jalan."

-----

Kayu dan ranting yang terbakar berderak keras. Api yang masih menyala di tungku membuat suhu di ruang itu terasa hangat.

Tujuh orang duduk bersama di atas tikar. Lampu emergency menyala di pojok ruangan menerangi petak rumah itu. Di tengahnya, tersaji beberapa gelas minuman panas. Terdapat juga beberapa makanan darurat TNI berupa biskuit kering yang sedianya akan diberikan sebagai bantuan. Pak Slamet juga menyediakan rebusan singkong yang di ambilnya di belakang rumah

"Tidak ada hasil," ujar Pak Lutfi mengunyah singkong. "Radio nya tidak berfungsi. Gps mobil pun tidak tersambung."

"Sinyal juga tidak ada," tambah Bagus menunjukkan layar ponselnya. "Malam ini kita benar- benar terjebak di sini."

"Semoga saja besok sungainya sudah surut," Pak Slamet mencoba biskuit TNI. Ia mengunyahnya dengan wajah mengernyit.

"Tapi hujannya belum reda," Ajeng memandangi keluar pintu utama yang terbuka.

Lalu semuanya larut dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing- masing. Mereka benar- benar lelah setelah seharian naik turun menyusuri jalanan lereng.

"Pada merasa aneh enggak sih?" Putri memecah sepi. "Kita berangkat ke sini karena desa ini tuh jelas- jelas kena longsor. Tapi ini? Kayak nggak terjadi apa- apa. Bahkan kita bisa berteduh, dan minum wedang di salah satu rumah nya."

"..."

"Dan dari tadi tidak ada satu orangpun yang terlihat," Ronggo menambahkan. "Tidak ada seorang pun, dari belasan rumah yang ada di sini."

"Ada yang tidak beres di sini," Putri meniup gelas teh nya yang masih mengepul uap panas. "Apa nggak sebaiknya kita pergi dari sini?"

"Terus, kamu lebih memilih kita bikin tenda di tengah hutan, di dekat jembatan roboh, di bawah guyuran hujan dengan hawa dingin lereng gunung, gitu?" Bagus berujar sinis. "Kamu di dalem mobil sih enak, kita bertiga enggak."

"Maksudku bukan begitu-"

"..."

Ketegangan sedikit terasa di antara mereka berdua. Bagus dan Putri saling menatap tajam.

"Sudah," Pak Lutfi menengahi. "Kita semua lelah, sudah pasti. Jangan membuang energi untuk hal- hal tak perlu."

"Tapi-"

"Memang aneh, bahwa desa ini masih berdiri. Tapi lihat sisi positif nya. Kita bisa berteduh dari hujan dan berlindung dari hawa dingin."

Pak Lutfi membuka sebagian tas perbekalan.
"Rencana awal kita adalah menjelang sore sudah kembali ke Curahwangi. Dan masalahnya kita malah terjebak di atas sini, karena ide saya untuk membentuk tim."

Semua di dalam ruangan itu terdiam canggung.

Pak Lutfi mengeluarkan beberapa selimut dan membaginya kepada semua.

"Sebaiknya kita istirahat. Besok kita akan melakukan perjalan keluar dari sini. Bersabarlah semalam saja. "

"..."

"..."

"Lalu kalo bisa semuamya tetep berkumpul di sini," tambah Pak Slamet. "Di desa ini belum ada listrik. Jadi di luar tak ada penerangan apapun. Salah- salah bisa kesasar di hutan."

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang