Lawang Krajan - 11:46

2.6K 346 7
                                    

Mobil berjalan sedikit lebih kencang karena jalanan landai dan rata. Pak Lutfi memandangi jam di tangannya, sementara Pak Slamet masih fokus menyetir sambil menghembus asap kreteknya.

Sejenak kemudian, Pak Slamet mengernyitkan dahi. Ia nampak bingung dengan apa yang ada di hadapannya. Pria itu menepikan mobil di bawah sebuah pohon besar di pinggir jalan.

Ia segera beranjak turun dari mobil, menggaruk kepalanya sambil memandangi lurus ke depan.

"Kenapa Pak Slamet?" Pak Lutfi berjalan mendekat. Disusul anggota tim yang lain ikut turun.

Pak Slamet menunjuk ke sebuah tempat dengan belasan bangunan rumah kayu yang berjajar. Ia mengisap rokok nya dalam.
"Ini-" ujarnya sambil menghembus asap. "-ini Lawang Krajan."

"Kita sudah sampai?" Putri tersenyum lega. Akhirnya perjalanan yang menyiksa itu berakhir. Namun ia terdiam beberapa saat, seakan menyadari sesuatu.
"Kita sudah sampai?" ulangnya.

"Masa ini Lawang Krajan?" Pak Lutfi nampak kebingungan juga.
Sebab jika memang ini LawangKrajan, harusnya tempat ini luluh lantak oleh material tanah dan pepohonan roboh. Bahkan  tertimbun total jika apa yang dilihatnya dari Curahwangi benar.

Namun yang ada di hadapan mereka adalah puluhan rumah yang berjajar rapi. Rumah- rumah kayu berbentuk petak yang di sangga tiang kayu memutari rumah. Atap nya yang terbuat dari susunan genteng nampak dipenuhi lumut. Rumah- rumah model joglo yang merupakan model rumah khas Jawa.

Jalan tanahnya hampir tak cukup untuk mobil masuk. Namun terlihat bersih tanpa ada sampah apapun. Di samping dan pekarangan rumah, di tanami dengan kol, terong, dan sayuran lainnya.
Terlihat beberapa motor bebek trondol yang terparkir di samping rumah, dengan ikatan besar rumput pakan ternak di jok belakang.

Beberapa ekor ayam nampak mematuk- matuk tanah di dekat mereka.

Pak Lutfi bergegas memasuki desa. Begitupun Triyo dan yang lain. Mereka berjalan dalam diam mengamati keadaan sekitar.

Benar- benar desa yang asri. Udaranya begitu segar, sejuk dan teduh. Dari sini mereka bisa memandangi wilayah Banyuwangi dari ketinggian. Pasti sangat indah saat malam ketika lampu- lampu menyala. Wajar saja jika penduduk desa menolak pembukaan lahan di tempat ini.

Ronggo mendekati sebuah rumah, dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum. Kulo nuwun?"

Hening. Tak ada jawaban.

Pak Lutfi, Bagus dan Triyo melakukan hal yang sama di beberapa rumah lainnya. Namun nihil tak ada hasil.

"Ke mana warga desa?" ujarnya. Kemudian ia memerintahkan Triyo dan lainnya untuk berkeliling menyisir area desa.

-----

Putri, Ajeng dan Pak Slamet menunggu di samping mobil. Pak Slamet masih sibuk dengan kreteknya.

"Mbak Put!" Ajeng mendekati Putri yang berdiri dekat gerbang desa. Ia menyalakan front-camera dan merangkul Putri.

Ajeng mengatur posisi kamera agar background desa indah itu masuk dalam frame, dengan wajahnya dan Putri sebagai objek utama. Keduanya tersenyum manis sekali. Lalu mereka mengambil foto selfie.

"Kamu ya," Putri menggelengkan kepala gemas. "Kita ke sini bukan buat foto, tahu!"

Ajeng nyengir lebar dan berjalan menjauh. Omong- omong soal foto, Putri nampaknya teringat sesuatu.

Ia mengeluarkan ponsel dari rompi nya, dan memandangi lekat sebuah foto. Sebelum berangkat tadi ia sempat memotret LawangKrajan dari kantor desa Curahwangi.

"Ini benar kok, terimbun tanah," pikirnya. Pandangannya beralih ke rumah- rumah di hadapannya. Tapi yang ada di sini adalah desa yang lengang, seakan tak terjadi apa- apa.
"Memang ini beneran Lawangkrajan, Pak?"

Pak Slamet mengangguk pasti. "Di sini saya biasanya parkir pick up saya, menurunkan dan menaikkan barang. Di rumah depan ini tempat kenalan saya Pak Suwandi, yang biasa dagang dengan saya."

"Tapi.." Putri kehabisan kata. Ia mencoba menghubungi kepala Puskesmas menggunakan ponsel.
Tak ada sinyal.

-----

Ajeng berjalan- jalan mengamati sekitar dengan asyik. Dipotret nya beberapa rumpun bunga kecil. Ia memandangi pohon- pohon besar yang mungkin berusia ratusan tahun yang memenuhi tempat ini.

Ajaib. Rasanya seperti berada di negeri dongeng.

Ia memejamkan matanya. Hawanya sejuk. Ia menikmati segala sesuatu di tempat ini. Belaian lembut semilir angin di wajahnya,  aroma alami hutan, suara kemerisik dedaunan yang bergoyang.

"Muliiih.."

Ajeng membuka matanya. Bulu- bulu di lehernya seketika berdiri. Ia menoleh ke kanan kiri. Sekejap tadi samar- samar ia mendengar suara desah an sesorang.

Ajeng menelan ludah, dan bergegas menuju Pak Slamet dan Putri.

Tak lama kemudian Pak Lutfi dan yang lain kembali dari dalam desa. Mereka nampak kebingungan.

"Nggak ada orang," ujar Bagus menggeleng.

"Aku cari di area kebun kopi di sana, nggak ada siapapun," tambah Triyo. "Tapi ternak- ternak warga di kandang ada."

Pak Lutfi mencoba menghubungi markas. "33 masuk! 33 masuk!"
Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara statik dari speaker radio.

Menjelang tengah hari, awan mendung sudah begitu pekat. Hawa dingin lereng mulai terasa, dan kabut semakin tebal. Semua orang nampak kebingungan dan lelah.

"Bagaimana Pak Lutfi?" Pak Slamet menyandarkan badan di mobil. Sementara yang lain terdiam memandangi Pak Lutfi sebagai pengambil keputusan.

"Kita balik kanan," ujarnya menggosok dagu. Beberapa tetes air berjatuhan tepat di wajahnya. "Kita turun sekarang juga. Selain itu ini mulai gerimis. Lebih baik kita tidak di sini saat hujan.

"Setuju Pak!" sahut yang lain serempak. Dengan segera mereka naik ke mobil.

Mesin menyala, dan tim itu bergerak meninggalkan lokasi.

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang