Jembatan Lawangkrajan - 13.21

2.5K 344 27
                                    

Baru beberapa menit saja mereka meninggalkan Lawangkrajan, hujan turun dengan derasnya. Tetes airnya menghujam atap mobil tanpa ampun, membuat suara seperti dipukul- pukul dari luar. Mobil berjalan berguncang- guncang keras melewati makadam.

Pak Slamet harus mengemudi ekstra hati- hati karena bebatuan menjadi licin, di tambah kontur jalan yang menurun. Wiper mobil tak henti bergerak menyibak curahan air di kaca depan. Jarak pandang sangat dekat, di tambah mendung dan vegetasi yang rapat. Membuat pak Slamet harus menyalakan headlight bahkan di siang hari.

Di bak terbuka, Triyo, Bagus dan Ronggo menyelimuti diri dengan mantel kelelawar. Namun derasnya hujan tetap saja membuat mereka yang di belakang basah kuyup.

"Asu, dingin banget!" Ronggo mengumpat. Hujan di lereng gunung memang terasa menyiksa.

"Iya!!" sahut Triyo. "Ndog ku sampe mengkeret!"

Ketiganya terbahak menertawai keadaan mereka sendiri.
Lalu mobil berhenti mendadak sehingga membuat mereka hampir terjungkal. Beberapa lama mobil diam saja. Hanya terdengar suara wiper yang bekerja.

Triyo melompat turun, mengetuk pintu kaca. "Kok berhenti tiba- tiba sih pak?"

Pak Slamet sedikit membuka jendela. "Tolong lihatkan jembatan di depan. Mata saya kurang awas!"

Triyo menuruti permintaan Pak Slamet. Bagus juga melompat turun menyusul Triyo berjalan ke arah jembatan.

-GRUOOOOOO

Aliran sungai menggila dengan debet yang begitu deras. Airnya nampak keruh bercampur lumpur. Potongan kayu- kayu besar yang sudah ditebang nampak ikut teseret banjir dari atas.
Yang mungkin saja menghantam satu- satunya tiang beton penyangga jembatan.

Menyebabkan jembatan itu ambruk, membuat jalan terputus sejauh hampir sepuluh meter.

"Jiancuk!!" Bagus menendang potongan dahan ke arah sungai. Ia dan Triyokembali ke mobil yang menunggu.

Triyo menyilangkan tangan menandakan bahwa jalan tak bisa di lewati.

"Jembatannya putus, Pak!" ujarnya kepada Pak Lutfi melalui jendela.

"33 masuk! 33 masuk! Mohon dikopi!!" Pak Lutfi kembali mencoba mengontak markas di bawah. Tetap saja tak ada jawaban.
"Brengsek!" Pak Lutfi membanting mic radio ke dashbor.

Pak Slamet hanya memijit dahinya. Ia juga nampak begitu lelah.

Putri dan Ajeng hanya bisa berdiam cemas menduga- duga apa yang terjadi. Apakah mereka harus terjebak di lereng?

"Pak Slamet, bukannya bapak bilang ada jalan alternatif di pertigaan atas?" Triyo teringat dengan tugu itu.

"Benarkah Pak?" Pak Lutfi merasa ada harapan.

Yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. "Jalan itu melewati hutan dan memutar jauh. Jalurnya juga jauh lebih parah dari ini karena sudah jarang dipakai. Butuh waktu empat sampai lima jam untuk mobil lewat sana, kita bisa kemalaman di hutan."

"Memang kenapa Pak? Saya dan anak- anak ini biasa menembus hutan malam- malam kok," Pak Lutfi menunjuk Triyo dan Bagus.

Memang saat pendidikan dasar TNI/ POLRI, ada suatu bagian di mana mereka harus berlatih survival beberapa minggu di hutan.

"Jalan alternatif itu harus menyeberangi sungai dari jembatan di depan ini. Dengan kondisi arus seperti itu.." Pak Slamet tidak melanjutkan kalimatnya.

"..."

"Lebih baik kita kembali ke LawangKrajan," Pak Slamet memberi saran.

Pak Lutfi nampak ragu- ragu dengan usulan itu. Ada perasaan tak enak dalam dirinya mengenai tempat tersebut.

"Biasanya kalo saya kemalaman, saya biasa nginep di sana. Ada kenalan saya yang sering memberi saya tumpangan rumah."

"..."

"Selain itu kita harus segera berteduh dari hujan ini. Mas- mas di luar itu bisa kena hipotermia kalau terlalu lama kehujanan di udara terbuka begitu."

Pak Lutfi mempertimbangkan ucapan Pak Slamet. Ada benarnya juga. Ia berbalik memandangi Putri dan Ajeng. Kasihan gadis- gadis ini kalau kemalaman di hutan. Lagipula Pak Slamet lebih tahu wilayah sini daripadanya.

"Oke," Pak Lutfi memutuskan.

"Kita kembali ke LawangKrajan."

SEMALAM DI LAWANG KRAJAN [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang