"Dia paling suka yang namanya kejutan,"
"Dia paling suka yang namanya musik,"
"Dia paling tidak suka yang namanya olahraga,"
"Dia lebih suka suasana tenang dibanding rame, padahal dia suka banget yang namanya kejutan,"
"Dia paling suka pelajaran fisika,"
"Dia...."
Alex memberhentikan aksi menulisnya dan menatap geram kearah Robby yang masih mengerocos tanpa henti. Tangannya menjadi pegal karena harus menulis cepat-cepat fakta Alice yang Robby tau. Robby hanya memperlihatkan deretan giginya dan membentuk huruf 'v' pada jarinya.
"Lo bisa pelan-pelan gak sih?!" Bisik Alex. Ia sadar diri kalau keduanya tengah berada di Perpustakaan. Robby kembali menyengir dan bersidekap.
"Sorry, gue kalau udah ngomongin 'mantan' emang suka menggebu-gebu." Ujar Robby jahil. Matanya berpura-pura berbinar dan membuat Alex ingin menonjoknya tepat diwajah.
"Gue tau lo mantannya," jeda Alex kesal. "Tapi gak usah manas-manasin."
Robby terbahak ketika melihat wajah Alex yang memerah seperti udang rebus karena menahan kesal. Ia memegang perutnya yang terasa sakit karena melihat wajah Alex. Tak teringat bahwa keduanya sedang berada di Perpustakaan.
Semua orang yang berada di Perpustakaan menyuruhnya diam. Robby yang sedang tertawa keras langsung bungkam. Membuat Alex menahan tawanya.
"Lo emang memalukan," ejek Alex.
Robby memutarkan kedua bola matanya kemudian ia berdeham, "Mau dilanjutin gak?"
"Ya mau lah!" Ujar Alex antusias. Diambilnya pulpen itu kembali dan mempersiapkan kertas-kertas yang sempat berserakan.
Setelah siap, Robby kembali berdeham dan bersidekap. Matanya senantiasa melihat secarik kertas tersebut. "Dia punya sepasang bola mata warna coklat yang indah. Gue pertama kali jatuh cinta sama dia gara-gara mandangin manik mata dia."
Alex kembali diam dan melihat bahwa Robby yang mengalihkan pandangannya. Alex menghela nafas dan rasa bersalah bahwa dia mendekati 'mantannya Robby' kembali menderanya. Alex pun merangkul pundak robby dengan ala cowok dan menepuknya pelan.
"Lo.. Masih sayang sama Alice?" Tanya Alex pahit. Ia benar-benar merasa bersalah kalau Robby masih menyukai Alice.
Robby mendengus dan menyenderkan tubuhnya disandaran kursi. "Gue masih sayang sama dia, tapi gue bisa apa? Gue udah buat dia kecewa waktu dulu. Dan FYI aja, Alice itu orangnya pemaaf tapi dia paling gak bisa ngelupain rasa sakit hatinya. Hatinya terlalu lembut,"
Alex bungkam.
"Klise, ada alasan dibalik gue putus sama dia yang orang lain gak boleh tau, walau lo sahabat gue sendiri. Intinya, dulu gue putus dengan dia dengan cara yang kurang baik," Robby mendengus. "Dan penyesalan selalu datang belakangan. Gue mohon-mohon minta maaf sama dia, dia emang maafin gue tapi dia malah pengen gue gak usah dateng di hidup dia lagi. Lalu, kami putus."
Robby kembali menepuk pundak Alex dan hendak pergi, "Pokoknya lo jangan pernah buat Alice kecewa ya, Lex. Dia terlalu baik buat disakitin. Jangan kaya gue yang udah nyakitin dia."
"Gue balik ke kelas dulu,"
Alex meringis setelah Robby menghilang dari pandangannya.
"Bahkan gue udah ngecewain dia, malah nyakitin dia, Rob."
..::..
Suara pintu yang didorong terdengar cukup keras jika berada diruangan se-sepi ini, Perpustakaan. Alice melepas sepatunya dan tersenyum kaku kepada penjaga Perpustakaan, sebelumnya ia meminta izin untuk mengambil buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I see your eyes
أدب المراهقينIa sangat mencintai gadisnya. mencintai gerak-gerik gadisnya. Mencintai kebiasaan gadisnya. Mencintai cengiran dan cemberutan dibibir gadisnya. Tapi ada hal yang membuat ia semakin mencintainya, Menatap matanya. copyright © 2014 by Salsabilaayus