01). T.O.D

94 4 3
                                    

"Udah buruan telpon sekarang."

Rindu mendengus mendengar nada desakkan dari mulut Mina yang melipat kedua tangan di dada dengan arogan. "Kalau nggak jalanin dare-nya kamu harus masuk eskul teater minimal enam bulan." Alisnya yang terangkat terlihat begitu menjengkelkan membuat Rindu reflek mendesah berat. Ah, ini adalah tantangan yang sulit.

Sejam berlalu dengan Rindu yang masih menatap nanar deretan nomor di layar ponsel, masih enggan menekan tombol telepon di bawah nama kontak bertuliskan 'Kak Barga' itu.

Ia melirik Mina yang masih menanti keputusannya. Kemudian beralih menatap Caca yang tak acuh, gadis itu malah sibuk dengan makanannya tanpa mengindahkan tatapan minta tolong dari Rindu. Melihat itu Rindu kembali berdesah, kali ini tak kalah berat. Ia tak tahu permainan truth or dare adalah permainan yang sangat menyebalkan. Besok-besok Rindu tak mau main permainan ini lagi.

"Apa susahnya coba tinggal ditelpon aja. Belum tentu juga Kak Barga angkat," timpal Caca sembari mengunyah kembali pisang gorengnya. Dia jadi ikut gregetan karena Rindu tak kunjung menetapkan pilihan.

"Tapi kalau diangkat gimana?" Nada suara Rindu terdengar was-was. Inilah ketakutan terbesarnya. Dare dari Mina adalah menelpon Kak Barga--kakak kelas yang sudah lama Rindu taksir diam-diam. Memang terdengar sepele jika hanya menelpon dan say hi biasa saja, tapi Mina bukan hanya memintanya untuk itu, dia juga meminta Rindu untuk menyatakan perasaannya kepada Kak Barga.

Dia sebenarnya gila atau sinting, sih? Bahkan tadi Mina sempat kepikiran memberi dare yang lebih parah. Bukan lewat panggilan telepon, melainkan lewat video call. Rindu rasa Mina sudah gila sekaligus sinting.

Mau ditaruh di mana muka Rindu nanti saat menyatakan perasaannya dengan saling pandang-memandang. Jilbab Rindu tak mungkin sampai menutupi bagian wajahnya yang pasti akan memerah seperti kepiting rebus.

Minta nomor Kak Barga saja dengan embel-embel 'mau balas budi atas bantuannya'. Tiba-tiba menelpon dan menyatakan perasaannya di malam hari saat tak ada hujan dan tak ada petir seperti ini? Orang bodoh pun akan berpikir seratus satu kali untuk melakukan hal itu.

"Nggak akan. Dia kenal kamu aja nggak," jawab Mina santai tanpa beban mendapatkan anggukkan setuju dari Caca yang kini beralih ke coklat panasnya.

Untuk yang ketiga kali Rindu mendesah berat. Daripada dia harus mendekam di eskul teater, dan terjebak dengan Pak Jayen yang super killer itu, lebih baik Rindu berusaha terlebih dahulu. Menahan malunya hanya untuk malam ini saja.

Benar kata Caca, belum tentu juga Kak Barga mengangkat telepon darinya. Rindu sadar dia hanya setara remahan pisang goreng Caca ketimbang puluhan gadis lain yang menyukai Kak Barga di luar sana.

Rindu menarik napas dalam, bersiap mengambil keputusan terbesarnya selama hampir 17 tahun dia hidup. Dengan diawali do'a Rindu menekan tombol telepon itu sembari menghidupkan spiker.

Jantungnya berdetak dengan kencang saat bunyi getar dari ponselnya menggetarkan seluruh aliran darahnya.

"Aduh, aku deg-deg-an banget," lirih Rindu sembari menutup matanya dengan harap-harap cemas.

Mina dan Caca juga ikutan cemas saat panggilan itu belum terjawab selama 30 detik penuh.

"Kayaknya nggak bakal diangkat, deh." Rindu membuka matanya sebentar, menggigit bibir bawah, paniknya sudah mencapai level maksimal.

Mina dan Caca sudah memprediksi bahwa Rindu sepertinya akan berakhir di eskul teater dengan wajah muram, sembari berlatih olah rasa dengan Pak Jayen selama enam bulan penuh. Rindu pun sudah pasrah, tak apa lah hitung-hitung belajar hal baru dengan guru killer, siapa tahu dia juga bisa belajar cara memberantas sahabat menyebalkan seperti Mina dan Caca di dunia ini.

45 Hari; Diharapkan Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang