16). Sentuhan Pertama

59 2 0
                                    

Langit biru perlahan berubah jadi senja. Rindu keluar dari kamar Kak Ela setelah mandi, kemudian bergegas berpamitan pulang kepada seluruh saudara yang juga sedang beristirahat sehabis bantu-bantu memasang penggung dan dekor-dekor lainnya.

Sebelum pulang, ayah Rindu berpesan untuk berhati-hati, karena sebenarnya Rindu berpamitan pulang ke rumah Caca bukan ke rumahnya. Mama Caca hari ini masak soto betawi kesukaan Caca, Rindu dan Mina diundang untuk makan bersama.

Setelah sesi pamit-pamitan selesai Rindu bergegas keluar rumah, sedikit mengendap-endap saat melihat kak El masih mengobrol dengan tukang panggung. Begitulah cowok itu, sok akrab dengan siapa pun.

"Ngapain, Rin?" bisik Kak Ela di belakangnya.

Rindu hampir saja menjatuhkan gulungan karpet di depannya kalau saja tak langsung ia tahan. "Kak Ela! Ngagetin deh! Udah kayak kak El aja, suka ngagetin," serunya.

Kak Ela hanya terkekeh sebentar, kemudian kembali bertanya pertanyaan yang sama. Rindu menjawab dengan jujur bahwa ia ingin pamit pulang.

"Terus kenapa harus sembunyi-sembunyi gini?"

"Takut ketahuan sama Kak El." Rindu mengecilkan suaranya saat menyebut nama kak El. Hal itu kembali mengundang kekehan kak Ela. Ini memang terlihat konyol, tapi Rindu sungguh tidak ingin berhadapan dengan kak El saat ini.

"Yaudah kamu naik bis aja, jadi keluar lewat pintu belakang, terus lewat gang pintas yang sering kita lewatin dulu pas kamu masih sd."

Rindu mengerling mendengar ide brilian kak Ela. Ia langsung mencium telapak tangan kakak sepupunya itu sembari berterima kasih, kemudian melesat pergi dengan cepat ke pintu belakang.

Setelah Rindu pergi, kak Ela berbalik, matanya langsung bersitatap dengan El yang sedari tadi menatap mereka. Selang beberapa waktu, tawa keduanya lepas. El mendekat, "Rindu kabur ya dari aku?"

Masih dengan tawanya Kak Ela menjawab, "Iya, tuh, lewat pintu belakang."

Akhirnya Rindu berhasil kabur dari kak El. Kini ia tengah berjalan di gang pintas yang dulu sering ia lalui saat masih sd. Dulu sekolah Rindu jauh dari rumah, maka dari itu dia sering sekali menginap di rumah Paman agar berangkat sekolah bersama kak Ela.

Sore ini gang pintas yang tak berubah sejak 5 tahun terakhir terlihat sepi. Gangnya kecil, dan tidak banyak rumah warga di sini. Rindu menelan ludah, sudah lama ia tak lagi lewat gang pintas ini, suasana yang dulu biasa-biasa saja berubah jadi luar bisa seram karena Rindu melihat segerombolan anak SMP yang tampangnya seperti preman di depan sana.

Dengan mencoba tetap berjalan tegak, Rindu lewati anak preman itu begitu saja. Awalnya semua berjalan lancar, sampai keringat di tangan Rindu membuat ponsel yang sedari tadi ia genggam erat-erat jatuh di dekat anak preman dengan rambut cepak yang jelek itu. Astaghfirullah, Rindu tanpa sadar telah menghina rambut orang.

"Wih hape-nya bagus, Kak. Beli di mana?" Anak preman berambut cepak (yang jelek) itu membolak-balikkan ponsel Rindu tanpa izin.

"Di toko hape," jawab Rindu asal, tangannya hendak mengambil ponsel, namun anak preman yang lain--yang kini berambut keriwil kusut (astaghfirullah, Ndu ....)--menyambar ponselnya.

"Kok layarnya retak, Kak? Waduh sayang banget, sini aku benerin," ucap bocah itu cengengesan. Gerombolan anak preman ikut tertawa melihat ekspresi Rindu yang berubah masam campur takut.

"Nggak usah, Dek. Saya bisa benerin sendiri." Tangan Rindu sekali lagi meleset tak sampai ke ponselnya, karena kini mereka mulai terang-terangan memainkan ponsel Rindu, oper-mengoper. Dasar anak kecil!

45 Hari; Diharapkan Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang