17). Cewek Jilbab Hitam

53 2 0
                                    

Rindu hilir-mudik menunggu dokter yang memeriksa kak El keluar dari ruangan pasien dengan resah. Ia tak berhenti menggigit kuku jari saking gugupnya. Rindu khawatir dengan keadaan kak El di dalam sana, apakah penyakit cowok itu parah? Kak El akan baik-baik saja, 'kan?

Tak lama dari itu dokter serta perawat bergantian keluar dari ruangan kak El, disusul kak Barga yang langsung menatap Rindu.

"Eh, sampai lupa kalau ada kamu," ucap kak Barga, berjalan mendekat.

Rindu membasahi bibir sejenak. Canggung rasanya bertemu kak Barga sekarang. Saat diminta untuk menelpon kak Barga, Rindu hampir saja bertanya kepada kak El apakah dia tidak salah dengar. Tapi melihat kak El yang sudah mengerang kesakitan, Rindu segera menghubungi kak Barga saat itu juga.

Setelah kak Barga datang kami langsung menuju rumah sakit terdekat. Kak Barga sudah sibuk membopong kak El untuk mendapat perawatan, karena fokus mengurus kak El, Rindu jadi terlupakan.

Iya, Rindu sudah terbiasa dilupakan oleh kak Barga.

"Keadaan Kak El gimana Kak?" tanya Rindu tanpa mengindahkan kalimat kak Barga barusan.

"Alhamdulillah udah agak mendingan. Kata dokter dia kecapek'an makanya asmanya kambuh. Dia disuruh perbanyak istirahat juga," jelas kak Barga membuat Rindu semakin khawatir. Matanya kembali menatap pintu ruangan kak El, ingin sekali ia masuk ke dalam sana sekarang, memeriksa keadaan kak El secara langsung.

"Em, kamu adik kelas yang waktu itu, 'kan?"

Pertanyaan kak Barga membuat Rindu sontak menatap cowok itu. Ternyata kak Barga tak mengenalnya dengan sebutan 'mbak-mbak' lagi, melainkan dengan sebutan 'adik kelas'. Benar, Rindu memang adik kelasnya dari SMP dulu entah kak Barga masih mengingatnya atau tidak.

Ragu-ragu Rindu menjawab, "Iya, Kak."

"Aku kayaknya pernah ketemu sama kamu deh."

Entah itu basa-basi atau bukan, tapi Rindu sedang tidak fokus dengan perkataan kak Barga. Dia ingin sekali memeriksa kak El di dalam sana, memastikan cowok itu baik-baik saja. "Iya, kan, kita sering papasan di sekolah, Kak." Rindu menjawab seadanya.

"Bukan, sebelum itu. Aku yakin deh pernah ketemu sama kamu," balas kak Barga.

Detik itu juga Rindu merasakan sesuatu menyambar jantungnya. Ia menatap kak Barga yang sepertinya masih mengingat-ingat siapa Rindu. Itu artinya kak Barga masih mengingat bayang-bayang Rindu dalam masa lalu cowok itu.

Rindu tak kuasa bila kak Barga tiba-tiba saja mengingatnya di situasi seperti ini. Lebih baik, Rindu kabur agar pembahasan ini terhenti. "Kak, aku boleh jenguk kak El nggak di dalam?" Hanya alasan itu yang terpikirkan oleh Rindu.

Kak Barga mengerling. "Oh iya, silakan. Aku juga mau ngurus administrasi dulu, jagain El sebentar ya."

Setelah mengiyakan, Rindu bergegas masuk ke dalam ruangan kak El. Namun, langkah Rindu terhenti di depan pintu ketika melihat kak El tertidur di ranjang dengan tangan terinfus, terlihat sekali cowok itu sedang kelelahan. Rindu jadi merasa bersalah karena hari ini telah membiarkan kak El ikut bantu-bantu di rumah Paman.

Tanpa sadar Rindu mengembuskan napas berat sembari menatap kak El dengan tatapan penuh permintaan maaf. Mendengar itu, Kak El perlahan membuka kelopak matanya kemudian menoleh ke arah Rindu yang terkejut karena kak El tiba-tiba saja bangun dan kini tengah menatapnya.

"Masuk, Ndu," ujar Kak El dengan suara serak.

Rindu akhirnya masuk, mendekati ranjang kak El. "Dada Kakak masih sakit?" tanya Rindu yang mencoba menjaga intonasi suaranya agar terdengar biasa saja. Padahal dia khawatir luar biasa.

45 Hari; Diharapkan Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang