Extra Part; Mas El

71 3 0
                                    

Erangan El kala itu semakin menjadi-jadi saat ia merasakan lehernya dicekik oleh seseorang. Napasnya tersenggal, ketika ia membuka matanya ia melihat Mama--Mama kandungnya--mencekik leher El sembari melempar kata-kata hinaan dan penyesalan karena sudah melahirkan El.

El mencoba melepas cekikan itu sampai tiba-tiba wanita di depannya berganti wajah dengan wajah lain yang sangat El kenal. Wanita itu mengencangkan cengkramannya pada leher El sehingga El benar-benar tak bisa bernapas lagi.

Mama--Mama kandung Barga--berseru meminta ginjalnya dikembalikan, meminta El untuk menghidupkannya lagi.

Air mata El sudah merembas ke mana-mana. Saat ia memberanikan diri menatap mata Mamanya yang penuh rasa marah dan dengki itu, El akhirnya tersadar bahwa ini hanyalah mimpi.

Mamanya tidak akan pernah memberikan tatapan seperti itu kepada El, meski El bukan anak kandungnya. Kasih sayang yang Mama berikan sama rata seperti kasih sayang yang beliau berikan kepada Barga. Maka dari itu sangatlah sulit mengetahui ia harus hidup menggunakan ginjal Mamanya sedangkan wanita tersebut justru pergi menggantikan ajalnya.

"Barga ... Papa ..." rintih El minta dibangunkan dari mimpi buruk ini. Namun, tidak ada sahutan siapa pun. El masih terjebak dalam ruang hitam yang menyiksa. Sampai dering ponselnya berbunyi membangunkan El dengan paksa hingga dirinya terjatuh ke lantai.

Cowok itu akhirnya bisa bernapas kembali dengan bebas. Di tengah napasnya yang terengah, El spontan mencari ponsel yang berada di atas kasur.

Nomor yang tak dikenal memanggil.

Susah payah El menelan salivanya sendiri akibat perih yang dirasakan di kerongkongannya yang kering. Ia menghapus air mata di wajahnya, meringsut ingus di hidungnya. Bagaimana pun panggilan tersebut berhasil membantunya keluar dari mimpi buruk itu. Akhirnya El memilih untuk mengangkat panggilan, setelah sebelumnya berhasil mengontrol napas dan emosi dalam dirinya.

"Halo?" ucap El sebagai sapaan awal di sambungan telpon mereka.

"Ah, ekhem." Yang terdengar justru hanya deheman tak jelas dari seberang, membuat El melepas ponsel dari telinganya. Apakah orang ini benaran orang yang tak El kenal? El pikir nomor ini milik salah satu temannya yang suka gonta-ganti nomor telpon setiap saat.

Malam itu, kamarnya terasa amat dingin dan El merasa dirinya hampir terserang flu sampai suara dari seberang sana kembali terdengar. Membuat suhu di kamarnya naik, menghangat.

"Em ... ha-halo. Assalamualaikum, K-kak."

Dari situlah El menyukai segala hal tentang gadis itu. Dari salam pertamanya, hingga dering telponnya saat ini.

El mengerang, mencari-cari letak ponselnya yang entah di mana.

"Halo?" ucap El dengan setengah sadar setelah menemukan ponselnya di bawah ranjang, tertimpah guling yang juga jatuh akibat tidurnya yang nakal.

"Assalamualaikum, Kak El."

Suara feminim yang sangat El kenal itu membuatnya tersenyum, meski kedua matanya masih lekat terpejam. El tebak sekarang pukul 3 subuh. Ah, dia baru saja tertidur 2 jam lalu, jika saja yang membangunkannya ini adalah orang lain mungkin El sudah berseru memaki orang tersebut yang berani-beraninya mengganggu jam tidur El yang sudah sangat singkat ini. Tapi saat mendengar suara itu adalah suara Rindu membuatnya tidak merasa terganggu sama sekali.

"Waalaikumsalam, sayang."

"Hush! Aku kan udah bilang jangan panggil aku kayak gitu kalau belum sah."

El berdecak sembari mengambil guling yang jatuh di bawah ranjang, kemudian memeluknya. "Ya kan seminggu lagi udah sah," cicit El yang sedang berusaha mengumpulnya nyawanya.

"Udah, ah, Kak. Buruan bangun solat tahajud."

El perlahan membuka kelopak mata, kemudian bangkit dari posisi tidur. Dia mengucak mata, meski saat ini rasanya El ingin jatuh ke alam bawah sadar lagi, tapi perintah Rindu tidak bisa dia abaikan.

"Kok sekarang jadi kamu sih yang sering bangunin aku untuk solat tahajud. Dulu waktu kita SMA kan aku yang seringnya bangunin kamu."

"Ya kan Kak El lembur terus akhir-akhir ini."

Perkataan Rindu benar. Karena El akan cuti untuk beberapa bulan ke depan, ia jadi harus bekerja ekstra mengejar deadline tugas kantornya. Agar nanti ia bisa dengan santai menikmati waktu bersama Rindu setelah menikah.

Ini sudah tahun ke-8 mereka menjalani hubungan dengan landasan komitmen. Baik Rindu maupun El sama-sama menyadari hubungan mereka sudah masuk ke hubungan spesial yang tidak seharusnya dijalani berlama-lama. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggelar pernikahan di umur mereka yang sudah matang.

El dua puluh enam tahun, dan Rindu dua puluh lima tahun.

Dari pihak keluarga mereka pun juga sudah menyetujuinya. Tinggal menunggu seminggu lagi, El dapat dengan puas menghabiskan waktunya bersama Rindu dalam ikatan yang halal.

"Rara," panggil El.

"Em?"

"Bisa nggak hilangin kebiasaan itu."

"Kebiasaan apa?"

"Kebiasaan manggil aku 'Kak'. Bentar lagi kan aku jadi suami kamu, masa mau sampai nikah manggilnya Kak El terus. Mulai sekarang panggil aku Mas El. Ayo coba panggil aku Mas."

Rindu tertawa mendengar omelan kak El. Subuh buta begini cowok itu sudah sibuk mempermasalahkan nama panggilan. Rindu sudah pernah menjelaskan kenapa dia masih memanggil kak El dengan sebutan 'Kak'. Karena Rindu merasa lebih nyaman dengan panggilan itu. Membuat Rindu terus mengingat kak El versi SMA dulu yang bandelnya minta ampun.

"Malah ketawa, aku serius loh, Ra. Seserius saat aku ngelamar kamu waktu itu."

"Iya iya ... cerewet banget cuma masalah nama panggilan doang," balas Rindu membuat El langsung tidak mengantuk lagi.

"Loh? Cuma? Ra, aku aja punya panggilan sayang buat kamu. RARA, Rindu Alana! Rindu Alana! Masa kamu nggak punya sih? Kayaknya cuma aku doang yang bucin di sini--"

"Mas El."

Cerocosan El seketika terhenti ketika Rindu memanggilnya dengan sebutan yang dia inginkan. Ya tuhan, dengarlah betapa fasehnya Rindu saat memanggilnya dengan nama panggilan 'Mas El'.

"Ayok buruan solat tahajud ... mau ngomel terus kayak gini sampai pagi?"

Tanpa sadar El menggeleng, meskipun ia tau Rindu tidak akan melihatnya.

"Udah yuk solat. Jangan lupa berdoa di sepertiga malam kamu, supaya acara pernikahan kita minggu depan dilancarkan."

El menggigit bibir bawahnya menahan bibirnya agar tidak berteriak di jam 3 subuh seperti ini. Yang ada Barga akan datang menimpuknya dengan bantal sembari bersungut kesal karena mengganggu tidurnya.

"Aamiin," ucap El meng-aminkan kalimat Rindu.

"Aamiin," balas Rindu dengan serius.

Semoga pernikahan mereka berjalan dengan lancar tanpa kendala apa pun. Semoga Allah mengizinkan mereka berdua membina rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah.

Aamiin.

"Yaudah aku tutup, ya. Assalamualaikum Mas El."

"Waalaikumsalam, Rara," jawab El sembari menyunggingkan senyuman lebar penuh kebahagiaan dan rasa syukur tiada tara.

1006 kata
15/06/22

well, thanks ... see you in another story!
- faduwi

45 Hari; Diharapkan Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang