Hari ke-2, setelah El memutuskan untuk tidak mengganggu Rindu lagi.
Siang ini matahari lagi garang-garangnya menggoreng kulit siswa kelas 11 IPS 1 yang tengah berolahraga di lapangan bola basket.
Rindu sudah berkali-kali meneguk botol minumnya hingga kini hanya tersisa beberapa mili saja. Panas hari ini benar-benar gila. Rindu tak tahan untuk segera meneduh. Tapi melihat gilirannya melakukan praktik memasukkan bola ke dalam ring masih lama, Rindu kontan mendesah lelah. Kenapa juga namanya berawalan R. Alhasil Rindu harus menerima nasib selalu ditempatkan di absen 50% ke bawah.
"Ndu, capek. Aku mau ngiyup aja deh, panas banget," ujar Mina yang berbaris di depannya. Meski dihalangi oleh beberapa teman lain, namun suara Mina masih terdengar jelas.
"Sama. Yuk, ngiyup."
Baru saja Rindu dan Mina mau diam-diam pergi dari posisi. Bola basket lemparan Mario si jago matematika di kelas meleset terlampau jauh. Sampai ke lapangan belakang sekolah, sepertinya.
"Mario, kamu, tuh, lagi lempar bola basket atau bola bisbol. Jauh amat kelemparnya," rutuk Bu Desi berkacak pinggang. Mario hanya bisa cengengesan minta maaf.
"Ambil bolanya." Perintah Bu Desi seakan membuat lampu di kepala Rindu menyala. Dengan semangat dia mengangkat tangan, mengatakan bahwa dirinya yang akan mengambil bola basket yang entah nyangsang di mana itu.
Rindu mengulur waktu, setidaknya dia bisa ngiyup di tempat yang teduh seperti ini dibandingkan harus menunggu giliran praktik di tengah lapangan sepanas panggangan daging itu.
Namun, seberapa lambat pun Rindu berjalan, pada akhirnya dia berhasil menemukan bola basket yang dilempar Mario tadi. Padahal Rindu sudah berharap bola basket tersebut hilang digondol burung kutilang.
Gadis dengan seragam olahraga yang setengah basah itu beranjak mendekati bola basket yang nyangkut di semak-semak. Benar prediksinya, bola oranye itu terlempar sampai ke lapangan belakang. Rindu jadi sedikit ngeri dengan bakat terpendam Mario.
Saat tangan Rindu berhasil menggapai bola, terdengar suara grasak-grusuk dari arah tembok pembatas sekolah. Rindu melirik tiga anak laki-laki yang sedang berusaha memanjat tembok dengan saling bopong-membopong.
Seketika saja Rindu tertegun dengan pemandangan di depan.
Bukan. Bukan karena ia terkejut sedang menangkap basah seseorang yang ingin bolos. Tapi dia kaget karena orang yang ingin bolos tersebut adalah seseorang yang 2 hari lalu berhenti mengganggunya. Orang yang tengah Rindu usahakan untuk tidak berpapasan dengannya.
"Eh, anjir, El! Jangan injek palak gue dong!" Salah satu dari mereka yang kepalanya tak sengaja kak El injak berseru.
"Aelah cepet, El! tangan gue pegel." Satu lagi anak cowok yang sudah berada di atas tembok berseru.
"Ah banyak omong kalian. Sabar ngapa, susah," balas El masih berusaha untuk naik ke tembok pembatas sekolah itu. Keringat mengucur dari pangkal hidungnya. Ia sudah sering bolos, tapi selalu saja tidak dipermudah.
Katanya, Ala bisa karena biasa. Tapi El tidak bisa-bisa padahal sudah biasa.
Hanya El yang badung, tapi tak mampu menjadi badung.
Buktinya tenaga untuk memanjat tembok tinggi yang sedang ia panjati ini langsung menciut saat matanya menangkap sosok perempuan di belakangnya.
Akhirnya mata Rindu dan El kembali dipertemukan. Membuat keduanya sama-sama kaget dan tak siap karena keadaannya sangat sulit untuk dijabarkan.
Rindu masih menatap El penuh keterkejutan seraya memeluk bola oranye itu erat-erat. El yang tak fokus jadi ambruk menimpah temannya yang meringis di bawah tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
45 Hari; Diharapkan Jatuh Hati
Tienerfictie[END] Start: 8 Januari 2022 Finish: 15 Juni 2022 Mimpi buruk bagi Rindu Alana, gadis biasa yang salah nomor saat menelpon seseorang. Telpon nyasar yang membuat seorang Ellangga Dirgantara tak membiarkan satu hari pun dalam hidup Rindu menjadi tenang...