ATST #10

1.5K 273 54
                                    

Siang, Dears!

Weekend lagi ngapain, nih?

Seharusnya, hari Minggu Hara libur update. Tapi karena kemaren masih punya utang, jadi Hara tetap update buat kalian.

Semoga bisa menemani weekend kalian, ya.

Vote, comment, and share cerita ini ke teman kalian.

Happy reading!



***


Wira mengiringi langkah Aulia sampai ke undakan teras rumah. Bibirnya bungkam, membiarkan hening menjadi satu-satunya penghubung di antara dirinya dan Aulia. Sepertinya, Aulia pun sama, enggan untuk berkata-kata.

Bila harus jujur, Wira sedang bingung bagaimana harus bersikap. Setelah perkataan terakhirnya di mobil, Aulia hanya tersenyum sumir. Tidak ada tanggapan apa pun sampai mereka turun. Suasana yang awalnya mulai mencair, kini serasa kembali membeku.

"Wira," panggil Aulia seraya memutar tumit. Ketika Wira mendongak dan netra mereka bertemu, lagi-lagi Aulia menyunggingkan seutas senyum tipis. "Terima kasih."

Entah sudah berapa kali dia mengucapkan terima kasih malam ini. Rasanya, tetap saja masih belum cukup untuk membalas kebaikan Wira yang sudah menolong dan mengantarkan pulang. Terlebih pria itu juga membelikan dia camilan malam.

Beberapa menit lalu, Aulia kehilangan kata-kata. Tak mengatakan apa-apa, bukan berarti dia mengabaikan Wira begitu saja. Dia hanya perlu waktu untuk meredakan gemuruh di dada.

Tetangganya itu berhasil menyabotase detak jantungnya. Hanya lewat perhatian-perhatian kecil yang tak kentara, Wira memberikan rasa hangat yang mengingatkannya akan keluarga. Semua yang Wira lakukan malam ini seolah-olah menghadirkan kembali sosok Papa yang sudah lama hilang dalam hidup Aulia.

"Kamu tidak harus mengucapkan itu untuk ketiga kalinya, Aulia."

Belum menurunkan senyum, Aulia memiringkan kepala. "Seharusnya lebih dari tiga kali. Begitu, kan, maksudnya?"

Wira menunduk sembari tertawa. Dia menggeleng-geleng kecil menahan gemas. Bisa-bisanya Aulia mengajak bercanda dengan sengaja membelokkan penafsiran ucapannya. Padahal jelas Aulia tahu bukan seperti itu maksud Wira sebenarnya.

Setelah tawanya surut, dia baru kembali menaikkan wajah. "Tidak perlu. Ucapan terima kasih berikutnya mungkin bisa kamu ganti dengan ajakan makan, misalnya?" Wira memasang senyum tenang andalannya. "Baru bisa saya terima."

"Hah?"

Aulia melongo untuk beberapa saat. Kemudian netranya turun menyorot paperbag berisi makanan dan minuman. Usai menimbang-nimbang sebentar, dia kembali menyejajarkan pandang.

Dengan ragu dia bertanya, "Mau mampir?" Dia mengarahkan ibu jari kanannya melewati telinga, mengarah pada pintu di belakangnya. "Minum kopi sebentar?"

Kedua pangkal alis Wira menyatu. "Ini sudah terlalu malam buat minum kopi, Aulia. Besok saya harus berangkat kerja pagi."

Menurunkan tangan, Aulia menggigit bibir bawah. Dia menjadi serba salah sekarang. Dalam hati dia merutuk kesal. Dia tidak memikirkan dampak ajakannya bagi Wira. Lagi pula, kenapa Wira tidak mau mengerti, sih, kalau dia cuma sekadar basa-basi dengan alasan norma kesopanan?

"Kalau minum teh?"

Aulia mengingat-ingat sebentar apa saja isi lemari dapurnya. Atau apa yang dia beli kemarin. Sayangnya, nihil. Tidak ada apa pun yang bisa langsung disajikan, kecuali dia mau merepotkan diri untuk memasak. Risikonya, Wira akan semakin malam tertahan di rumahnya.

AT THE SAME TIME [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang