ATST #29

1.2K 202 18
                                        

Malam, Dears!

Ada yang belum bobok?

Iya, Hara harusnya update kemarin. Karena update-nya telat, maka bab 29 adalah jatah 2 bab yang sengaja dirapel.

Jadi, kalau ngantuk bacanya besok habis sahur saja, ya!

Semoga dimaafkan dan suka sama bab ini.

Vote, comment, and share cerita ini ke teman kalian.

Happy reading!





***




Wira menelan ludah gugup. Permintaan Wina bukanlah permintaan yang mudah. Seolah-olah ada tanggung jawab besar yang dibebankan pada pundaknya bila dia mengiyakan.

Namun, dia juga tak kuasa menolak. Tatapan Wina mengingatkannya pada tatapan memelas sang Mama. Dulu Ranti kerap menatapnya demikian bila tengah mengkhawatirkannya atau berusaha membujuknya pulang.

Wira mengisi paru-parunya penuh. Tidak ada yang salah meloloskan permintaan seorang ibu. Lagi pula, itu memang sudah kewajibannya sebagai teman dan tetangga. Sebagai anak yang sama-sama memilih hidup sendiri, Aulia memang memerlukan penjagaan lebih dibanding dirinya sebagai laki-laki.

Mengusir kelat di pangkal tenggorokan, Wira membalas tangkupan tangan Wina. Penyanggupan itu sudah berada di ujung lidah. Sayangnya, sebelum kata itu meluncur, pembicaraan keduanya terinterupsi dengan kehadiran Aulia yang tiba-tiba.

"Astaga, Tuhan!" Aulia mengerem langkah, terperanjat. "Ternyata kalian di dalam. Aku pikir enggak ada orang. Soalnya aku panggil-panggil dari tadi enggak ada yang bukain pintu."

Wira dan Wina kompak memutar pandang. Dua pasang mata itu menyorot titik yang sama, yaitu Aulia yang tengah kesulitan membawa banyak plastik di kedua tangannya.

"Kamu habis belanja?" Wina menjadi yang pertama bertanya.

Membelotkan fokus dari pertanyaan mamanya, mata Aulia menyipit ke arah tangan Wina dan Wira yang bertautan di atas meja.

"Kalian lagi ngapain pegang-pegangan tangan segala?"

Wira terkesiap, tetapi kurang sopan rasanya jika mengempaskan tangkupan tangan Wina. Jadi, dia sangat bersyukur ketika Wina menepuk punggung tangannya, memberi penenangan sebelum mengurai tangkupan.

"Kenapa? Enggak boleh? Cuma kamu saja yang boleh pegang-pegangan tangan sama Wira? Begitu?" serang Wina tanpa ampun. Dia beranjak berdiri seakan-akan menantang Aulia.

Aulia berdecak keras. Dia menggeleng-geleng tak habis pikir. "Mama ini ngomong apa. Ngaco!" Dia mendekat ke arah meja makan, lalu meletakkan semua barang bawaannya. "Mending Mama makan, deh, daripada ngelantur enggak jelas. Ini aku bawain dimsum. Sebagian nanti dibawa pulang juga buat Papa," lanjutnya. Tangannya sigap mengeluarkan beberapa kotak dimsum.

Wina melongokkan kepala, mencuri lihat dimsum yang Aulia bawa. Kemudian bibirnya mencebik. "Tumben ingat bawain Mama. Banyak benar pula. Ini bukan makanan sisa acara di program TV kamu, kan?"

"Mau sisaan juga biasa Mama doyan," seloroh Aulia.

"Heh, Mama bisa dengar, ya!" Wina menggeplak pelan pundak putrinya. 

Tawa Wira nyaris menyembur. Pertengkaran ibu dan anak itu sungguh menggelitik perut. Alhasil, tawanya terkulum membentuk lengkungan senyum.

Mengabaikan lirikan penuh permusuhan Aulia, tangannya terulur ingin mencomot kuotie goreng yang menggugah selera. Belum sempat mengambil satu, kotak dimsum incarannya sudah Aulia rebut dengan brutal.

AT THE SAME TIME [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang