ATST #39

1.1K 221 39
                                    

Malam, Dears!

Selamat Jumat manis. Semoga malam ini semanis gerilya Mas Wira buat meresmikan Mbak Aulia.

Mas Wira itu penganut aliran, deketin ortunya dulu, baru anaknya. Gitu, ya?

Wkwk

Vote, comment, dan share cerita ini ke teman kalian.

Happy reading!






***






Wira memelankan laju mobilnya memasuki kompleks perumahan elit yang masih dia hafal. Lama tidak berkunjung, tak membuatnya lupa jalan. Satpam depan kompleks yang berjaga pun bahkan masih sama dan mengenalnya.

"Pulang, Mas?" sapa seorang satpam sembari membuka palang di depan pintu gerbang.

Wira tersenyum ramah. "Berkunjung sebentar saja, Pak."

Setelah mengucapkan terima kasih telah diizinkan masuk, Wira melajukan mobilnya. Dia menyisir rumah-rumah sekitar yang lengang seperti biasa meskipun di akhir pekan. Pagar rumah yang tinggi bukan lagi pemandangan yang membuatnya heran. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kompleks perumahannya di daerah Senopati.

Mobil Wira sepenuhnya berhenti di depan sebuah rumah dengan pintu pagar tinggi berwarna cokelat. Motif sulur bunga di pintu pagarnya begitu mencolok karena dicat dengan warna emas. Kendati sejak awal dia sudah bertekad untuk menyapa orang tuanya dengan benar, setelah sampai dia malah merasa enggan.

Tarikan dan embusan napasnya berkali-kali terasa berat dan panjang. Memantapkan hati, dia lantas turun dari mobil. Alih-alih menekan bel, Wira mengintip dari celah pagar. Netranya langsung menemukan Ranti yang sibuk menyiram bunga dan beberapa tanaman.

Tatapan Wira menyendu. Tanpa bisa dia sangkal, dia merindukan suasana hangat rumahnya yang dulu. Dia mengingat bagaimana semangat dan riuhnya Ranti setiap kali menyambutnya pulang. Rentetan pertanyaan Ranti yang dulu sering membuat telinganya panas, entah kenapa sekarang sangat ingin kembali dia dengar.

Merasa ada yang memerhatikan, Ranti urung menyiram tanaman monsteranya. Dia mengangkat wajah dan menemukan putranya berdiri di luar pagar. Tak ayal dia meletakkan gembor yang dia pegang, lalu berjalan ke arah pagar dengan semringah. Sorot matanya berbinar tak percaya. Ini kali pertama putranya kembali pulang setelah sekian lama.

"Wira!" Ranti hendak menggeser pintu pagar, tetapi segera diambil alih oleh Wira. "Kamu pulang, Nak?" tanyanya kemudin. Dia menggamit lengan Wira sebagai bukti bahwa yang dia lihat saat ini bukanlah halusinasi.

Wira meraih tangan Ranti. Dikecupnya takzim pungung tangan mamanya. Kemudian dia merentangkan kedua tangan, membawa tubuh Ranti ke dalam pelukan.

"Maaf ya, Ma. Aku baru bisa ke sini sekarang."

Ranti menepuk-nepuk punggung Wira. Tanpa suara dia ingin mengatakan bahwa hal itu bukanlah apa-apa. Dengan pulangnya Wira sekarang, rasanya sudah cukup. Ranti tak akan lagi memedulikan apa pun. Dia tahu, butuh waktu lama bagi putranya itu untuk mau menginjakkan kaki kembali di rumah tempat Wira tumbuh dulu.

Melepas pelukan, Ranti menyusut genangan bening di sudut matanya dengan jari tangan. Lengkungan senyumnya belum turun. "Ayo masuk! Mobil kamu dimasukin saja sekalian," ajak Ranti, enggan berlama-lama mengobrol di pintu pagar.

"Enggak perlu, Ma." Wira melipat bibir, bingung bagaimana mengutarakan maksud kedatangannya. "Aku cuma sebentar." Sorot matanya yang ragu, kini berubah serius. "Ada hal yang ingin aku sampaikan ke Mama dan Papa."

AT THE SAME TIME [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang