Siang, Dears!
Selamat rehat buat kalian. Jangan lupa makan siang sambil baca Aulia—Wira buat hiburan.
Siapa yang nungguin dari kemarin?
Vote, comment, and share cerita ini ke teman kalian.
Happy reading!
***
Haphephobia. Mendengarnya saja Aulia tidak pernah. Jika bukan berkat penjelasan Helen, mungkin dia tidak akan pernah tahu dan menyadarinya. Sayangnya, Helen sendiri juga belum bisa memastikan. Semua hanya sebatas dugaan yang perlu pembuktian.
"Dua tahun ini kamu memang tidak menunjukkan gejala haphephobia. Itulah kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Apalagi kamu nyaris tidak pernah membuka lingkup pertemanan baru, selain dengan teman-teman lama."
Selepas sesi konsultasi berakhir, Aulia duduk di taman. Kata-kata Helen terus berputar-putar dalam benak. Kepalanya menengadah, menatap langit yang tak begitu cerah. Barangkali sebentar lagi akan turun hujan. Jelas terlihat gumpalan-gumpalan awan saling berarak menuju arah yang sama.
"Mungkin karena hal itu juga gejalanya tidak begitu terlihat dan hanya mengacu pada serangan panik biasa seperti pasien lain yang kebetulan pernah mengalami hal yang sama. Dan kejadian semalam, tujuh puluh persen aku yakin, hilangnya kesadaran kamu bukan karena kemunculan dia."
Aulia tak bisa mengelak. Sejauh dia berusaha sembuh, dia sama sekali belum pernah hilang kesadaran. Ketika mengalami serangan panik, dia akan merasa sesak napas, pening, menggigil, dan berkeringat dingin. Segala kenangan saling tumpang tindih, tetapi Aulia selalu berhasil memetakannya kembali.
Obat penenang yang Helen resepkan juga membantu banyak. Meskipun lambat laun Aulia berhasil mengurangi dosisnya, obat itu sangat berguna untuk mengatasi kejadian-kejadian tak terduga seperti sebulan belakangan.
"Kamu panik, pasti. Tetapi panik saja tidak cukup menjadi pemicu kamu sampai pingsan."
Aulia meruntut kembali kejadian semalam. Kemudian dia pasangkan dengan apa yang coba Helen terangkan secara gamblang.
"Begini, Aulia. Ketika kamu mau berdiri, kamu bilang lift sempat trouble dan berguncang. Kamu nyaris tersungkur, tetapi Wira meraih pinggang kamu dan menahannya, bukan?"
Lagi-lagi Aulia membenarkan. Tubuhnya memang bereaksi berlebihan saat dia dan Wira begitu dekat. Aulia bahkan masih bisa merasakan jejak panas lengan Wira yang melingkari pinggangnya. Belum lagi tatapan intens yang Wira layangkan.
"Untuk membuat semua ini lebih jelas, aku butuh kerjasama kamu, Aulia. Hanya kamu yang tahu batas toleransi sentuhan yang tubuh kamu punya. Kamu harus berani menguji hal tersebut ke beberapa orang. Baik orang yang sudah kenal baik atau yang baru kamu kenal. Terutama lawan jenis."
Memejamkan mata, indra penciuman Aulia mengingat campuran aroma citrus fruity, lavender, dan rempah yang semalam menyelubunginya. Sekali menghidu, Aulia langsung bisa menebak merek parfum Wira.
Aulia selalu suka parfum pria yang wanginya lembut, segar, dan menenangkan sekaligus. Tidak terlalu kuat seperti parfum kebanyakan, tetapi sanggup membuatnya betah. Terlebih wangi rempah yang tak pernah gagal memberi sensasi hangat.
"Selama ini kamu sama sekali tidak punya keluhan bila harus berjabat tangan dengan klien-klien kamu, mungkin kategori sentuhannya pun perlu dispesifikasikan. Masalahnya sekarang adalah apakah kamu sanggup melakukannya sendiri?"

KAMU SEDANG MEMBACA
AT THE SAME TIME [REPUBLISH]
ЧиклитAulia Zaafrania Giania berjumpa lewat kejadian tak sengaja dengan Prawira Aditama. Keduanya pun memutuskan untuk menghadiri pernikahan Eros dan Alyka bersama. Namun, siapa sangka bila pesta pernikahan sahabatnya itu membawa Aulia ke depan gerbang ma...