PROLOG

124 5 3
                                    

Gadis berkerudung hitam itu dengan susah payah memungut barang belanjaannya yang jatuh berceceran di atas aspal. Panas matahari semakin membuat sungutan gadis itu kian memanjang. Ia merasa benar-benar sial hari ini.

Seharusnya sudah dari pagi Rindu memutuskan untuk membeli bahan-bahan masakan untuk acara ulang tahun Ayahnya yang ke-50 tahun. Supaya siang bolong begini dia tidak dikejar waktu karena kabar dari Ayahnya yang memberitahukan bahwa beliau tidak jadi lembur hari ini.

"Huh, Ayah bukannya lembur aja hari ini. Malah bilangnya pulang cepat. Nyebelin." Rindu kembali bersungut. Malah memarahi Ayahnya yang hendak ia beri kejutan.

Tinggal satu bungkus tepung terigu lagi yang tersisa di aspal panas itu. Tangan Rindu terulur meraih bungkusan yang sepertinya sedikit sobek akibat tergesek kasarnya bebatuan aspal. Tapi tiba-tiba saja sebuah tangan lain lebih dulu meraihnya, membuat Rindu kontan menatap si empunya tangan.

Matanya terbelalak ketika mendapati pria yang sudah hampir 3 tahun ini tak ia lihat batang hidungnya. Debu-debu yang menyerbu matanya pun bahkan tak berhasil membuatnya berkedip.

Seketika Rindu merasa waktunya diperlambat saat Kak Barga menepuk-nepuk bungkus tepung terigu yang beratnya hanya seperapat kilo itu, kemudian menyodorkannya ke arah Rindu yang masih terbius.

Poni belah tengah yang nampak tak rapih lagi, kemeja warna biru dongker yang senada dengan sepatu converse-nya, juga kaca mata minus berbingkai hitam menutupi iris mata indahnya. Sungguh, Kak Barga terlihat jauh lebih tampan dari Kak Barga versi 3 tahun lalu.

"Banyak banget barang belanjaannya, Mbak," ujar Kak Barga memecah keterpanaan Rindu. Kok manggilnya Mbak, sih?

"Sini saya bantuin. Rumah, Mbak, di mana?"

Kantong belanjaan yang Rindu tenteng di tangan sebelah kiri diambil Kak Barga tanpa sanggup Rindu cegah. Meski awalnya tak menyukai panggilan dari Kak Barga, Rindu tetap menikmati setiap kata yang Kak Barga lantunkan padanya.

"Di komplek sebelah sana, Kak," jawab Rindu malu-malu.

Kak Barga pun mengangguk, mengambil kantong belanjaan lainnya menyisakan bungkusan tepung terigu tadi untuk Rindu pegang. Diam-diam Rindu menahan jantungnya agar tak meledak saat ini juga.

Hanya 500 meter jarak komplek perumahan tempat tinggal Rindu. Tak terasa mereka berdua sudah sampai di tempat tujuan. Rindu hanya bisa berterima kasih singkat saat tak sengaja melirik arlojinya. Dua jam lagi Ayahnya pulang, dan Rindu tidak bisa membuang-buang waktunya lebih banyak lagi.

Dengan berat hati Rindu mengucapkan salam perpisahan singkat kepada Kak Barga. Tanpa berkesempatan memperkenalkan dirinya lebih jauh, memberitahu tentang fakta bahwa Rindu sebenarnya adalah adik kelas Kak Barga--yang sudah naksir dia diam-diam selama 3 tahun ini.

Tapi sebelum benar-benar pergi, Rindu kembali berbalik menghadap Kak Barga yang ternyata belum beranjak pergi dari posisinya.

"Kak, boleh minta nomor telponnya?" tanya Rindu tanpa mikir dua kali. Dia tahu ini tidak baik, tapi Rindu takut menyesal jika merelakan kesempatan ini begitu saja. Rindu janji setelah ini dia akan sujud meminta permohonan maaf pada Allah karena sudah mengikuti hawa napsunya.

"Hah?" Terlihat raut Kak Barga berubah, bingung campur kaget karena orang asing di depannya tiba-tiba meminta nomor telponnya. "Buat apa?" lanjut Kak Barga.

"Em—" Bodoh. Rindu tidak mungkin bilang kalau alasannya adalah karena Rindu ingin terus berhubungan dengan Kak Barga, 'kan? Kak Barga bahkan belum mengenalnya. "—buat balas budi karena udah mau bantuin aku tadi." Hanya itu alasan yang terpikirkan di otaknya.

Kerutan di kening Kak Barga perlahan hilang, sembari mengeluarkan benda pipih dari saku kemeja kotak-kotaknya Kak Barga berkata, "Padahal nggak perlu repot-repot."

Hati Rindu melega ketika Kak Barga mendikte deretan nomor telpon cowok itu. Rindu pikir Kak Barga tidak akan susah-susah memberikannya, karena bagi Kak Barga sekarang Rindu hanyalah orang asing yang dia tolong. Tapi Kak Barga ternyata masih sebaik yang ia kenal dulu.

"Yaudah aku pamit pulang, ya, Mbak. Sampain ucapan selamat ulang tahun dari saya untuk Ayahnya." Suara maskulin Kak Barga menyusup masuk dengan lembut ke dalam indra pendengarannya. Membuat sudut bibir Rindu tertarik ke atas tanpa bisa ditahan.

Setelah Kak Barga melenggang pergi ke arah sedan putih yang entah sejak kapan parkir di depan toko dekat kompleknya, Rindu melompat-lompat riang seperti baru menang lotre. Akhirnya ia berhasil mengantongi nomor cowok idamannya itu. Meski di relung hatinya yang paling dalam terdapat rasa bersalah akan tindakannya tersebut, tapi tetap saja rasa bahagialah yang memimpin.

Yah, namanya juga manusia, khilaf juga jadi makanan sehari-hari.

"Astaga! Sudah jam setengah empat!"

Buru-buru Rindu berlari ke arah rumahnya, menggeret pagar putih itu sekuat tenaga. Kemudian masuk ke dalam rumah bersiap membuat kejutan ulang tahun untuk Ayahnya.

732 kata
9/01/22

45 Hari; Diharapkan Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang