"Jadi kita akan ke New York? Dan ngomong-ngomong kenapa tadi riku lama sekali? Kau tahu tidak, saking lamanya aku menunggu mu, nyawa sogo-senpai sampai sempat keburu luntur di dalam mesin cuci."
"Tenn-nii sendiri yang kurang ajar, masa ada manusia yang kau kucek di mesin cuci? Memangnya tenn-nii tidak bisa membedakan mana muka sogo, mana celana boxer?"
"Memang tidak bisa, kan sama-sama buluk." mengedikan bahu, Nanase tenn tak lagi memandang adiknya. Taksi yang mereka tumpangi melaju lugu, selugu supirnya yang tidak tahu bahwa sedang membawa buronan negara.
Wajah si surai baby pink terlihat lelah. Namun, riku merasa kalau kakaknya--untuk kali ini--jauh lebih antusias dibanding dirinya.
"Aku tadi hampir ditangkap Interpol, lho, untung diselamatkan ibu-ibu." riku merangkul pundak tenn. Tak mau ada kebekuan janggal yang menggenang di antara mereka. "Kakak ku suka New York, kan? Kau bisa Bahasa Inggris, kan? I love you artinya apa, sayang?"
"Kau pikir aku masih murid Paud!?" sang kakak protes. Kemudian menyipitkan mata, "Hayo coba katakan pada ku, bagaimana caranya sampai riku mendapatkan tiket, paspor, dan visa palsu untuk terbang ke New York? Memangnya ada agen tiket pesawat yang mau menjual dagangannya pada buronan Interpol?"
"Tidak ada lah, memangnya mereka bego seperti kau?" riku menyahut santai, "Tapi itu bisa diatur, sayang ku. Kan nanti kita bisa membuatnya, sayang."
"Nama ku bukan sayang!"
"Sebenarnya tadi aku sempat berpikir untuk menggunakan kekerasan agar bisa menyusup ke dalam pesawat, tidak perlu pakai dokumen palsu." riku berpikir, memandang tenn serius. "Tapi aku yakin, isu kejahatan di dalam pesawat akan sampai pada sistem informasi maskapai dan akan dengan mudah diteruskan pada petugas keamanan di bandara tujuan. Aku tidak mau kita ditembak mati saat mendarat di New York."
Tenn mengedikan bahu sekali lagi. Sedikit malas sebenarnya kalau harus mengikuti ide riku untuk main aman.
Tidakkah lebih baik untuk menyadap sistem keamanan data bandara dan mengacaukan aliran komunikasi antara kru pesawat dengan petugas ground hadling? Intinya, tenn malas jadi warga Negara yang baik, mengikuti birokrasi dan prosedur yang berlaku itu membosankan. Membuat perkara lebih asyik. Buktinya mereka selalu lolos dari kejaran Interpol.
"Kadang aku berpikir, bagaimana nasibnya tenn-nii kalau ku tinggal pergi." riku menoleh, tenn tidak. "Aku ingin menyakinkan diri bahwa pernikahan kita nantinya bisa bertahan selamanya, tapi bagaimana pun juga, cinta pada dasarnya tidak bisa dipaksakan."
Tenn tidak memberi jawaban. Pikirannya melayang pada insiden pertunangan gila yang harus ia jalani bersama Nanase riku tiga bulan yang lalu. Pertunangan itu seperti kejutan yang tidak diharapkan olehnya. Pada malam naas itu, tenn pulang ke rumah dalam keadaan separuh sadar. Ia kebanyakan menghisap ganja--atau lebih tepatnya dicekoki ganja--oleh teman-teman sesama pecandu di diskotik. Selain ganja, ia tak luput meneggak minuman keras.
Tenn dengan wajah manisnya menjadi bulan-bulanan untuk diracuni dengan alkohol--sekaligus ia disuruh menebus semua bill karena dirinya yang paling kaya.
Saat itu, tenn limbung, hampir terjungkal saat memasuki rumah. Keningnya hampir membentur pintu kalau saja tubuh mungilnya tak ditangkap dengan indah oleh seorang malaikat (maut) bernama Nanase riku.
Baru selangkah masuk ke ruang tamu, tenn dipeluk oleh momo dan diberi ucapan selamat. Katanya, malam ini ia sudah resmi dimiliki seseorang. Tenn terbatuk, hampir tumbang, kacau. Tidak berpikir sama sekali untuk menolak atau mencaci maki--tidak. Isi kepalanya belum sampai untuk berpikir waras dan memberi penolakan.
Dan saat ia terbangun dalam keadaan sakit kepala di pagi hari, tenn tahu dunianya runtuh karena ia terlanjur jadi tunangan seorang pembunuh bayaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Exit
FanficKeluarga Nanase merupakan sebuah keluarga yang memasuki kategori keluarga abnormal. Mereka saling menjaga dan melindungi sekaligus saling membahayakan.