Jika tidak ingin tersakiti, maka jangan kenal dengan dia yang memberimu rasa sakit. Karena pada dasarnya, setiap pertemuan akan ada perpisahan.
-Dirga Adelard-
Siang ini Amel ada jadwal berkunjung ke rumah Leo, dia perlu bertemu dengan bayi Gara. Entah kenapa anak kecil itu nyaman sekali dengan dirinya, padahal bukan sosok Ibu.
"Eh, udah datang?"
"Bang Leo gak kerja?"
"Karena ini hari perdanamu, jadi aku putuskan cuti."
Amel mendengkus kesal, tadi Johan ingin ikut. Tapi ternyata dia ada latihan bersama club basket miliknya. Gara tengah digendong oleh sang Ayah, bayi itu mengoceh saat Amel menimangnya.
Bibir kecilnya yang terlihat kemerahan begitu aktif bergerak. Jika Ayahnya cuti, untuk apa Amel repot datang? Dasar.
"Kenapa terlihat kesal? Aku ada salah?"
"Tentu ada! Jika Abang cuti, seharusnya aku tidak usah datang."
"Hei, mau aku tidak bekerja sama sekali Gara akan tetap menginginkanmu. Kamu pikir dia mau digendong denganku? Itu saja baru selesai nangis."
"Iya iya!"
"Huh, dasar bocil."
"Apa?!"
"Bocil, bocil, bocil, poconggg!"
Bugh!
Leo mendapat lemparan dari surga, yang diwakilkan oleh tangan lentik Amel. Ia meringis merasakan hidung mancungnya nyeri.
Hampir setengah harian Amel berada di sana, awalnya ingin ijin pulang. Namun lagi dan lagi, bayi Gara menangis membuat Amel tetap berada di sana entah sampai kapan.
Kini sudah tepat pukul empat sore, Amel harus segera pulang apapun yang terjadi. Setelah menimang Gara untuk kesekian kalinya, akhirnya putra kecil Leo itu tertidur. Amel bergegas merebahkannya perlahan di kasur bayi, lalu bersiap pulang.
Leo mengantarnya sampai depan gerbang rumah, lebih tepatnya rumah Dirga. Saat memasuki rumah, terlihat sepi. Mungkin Dirga belum pulang, Amel mengambil langkah cepat dan masuk ke kamar.
.
Aku merentangkan tangan, rasanya tulang-tulangku remuk semuanya. Ah apa ini? Aku ketiduran? WHAT!! udah jam 6. Aku berlari kesana kemari mengambil baju ganti dengan secepat kilat, sampai sebagian ada yang rusak.
Selesai mandi, gegas aku turun untuk membantu bi Rusnah menyajikan makanan. Lagi pula, aku bukan pemilik rumah yang bisa seenaknya duduk manis, sepertinya posisiku dengan Bibi itu tidak jauh beda.
Namun aku telat, Pak Dirga sudah duduk di kursinya dengan memandang piring yang masih kosong. Aku melewatinya begitu saja, mau disapa juga nanti terlihat sok akrab. Eh, ternyata bi Rusnah udah datang diluan dengan segala menu.
Mau tak mau, aku menarik salah satu kursi lalu duduk berseberangan dengannya. Gile, kaku banget. Aku berinisiatif menyendokkan nasi untuknya, bukti rasa hormatku padanya.
"Saya bisa sendiri."
Jlebb
Seperti tertusuk duri beribu duri, malu makkk.
Kulepaskan sendok nasi itu sedikit kasar dan tanpa perasaan, hati lembutku sudah di sakiti dengan kejam. Padahalkan aku berniat baik padanya, setelah mengucap doa. Dengan cepat dan memandang ke arah lain, kusuap diriku sendiri.
Dia masih diam, bukannya menyendok nasi malah termenung. Aneh. Padahal dia yang tidak mau tadi? Tiba-tiba dia menggeser piringnya ke hadapanku, membuat mataku melirik cukup lama.
"Lakukanlah."
Aku menatapnya tidak paham, sejurus kemudian aku mengerti. Dengan tatapan menunduk yang tidak berani melihat wajahnya, kusendok nasi hangat itu mengisi piring putihnya yang kosong.
Aku tidak berani mengisi dengan lauknya juga, nanti malah tidak suka dengan yang ku pilihkan. Dia memang mengambilnya sendiri, mengucap doa makan kemudian mulai ikut menyuap.
Sedikit lirikan dan pertanyaan tidak penting, menemani waktu-waktu makan kami. Kalian tahu apa yang dia tanyakan? Jangan menilai dia pria yang sulit menemukan topik pembicaraan setelah mengetahuinya.
'Bagaimana sekolahmu hari ini?'
Sudah, hanya itu. Apalagi yang dapat kujawab selain dari empat huruf. Aku berani bertaruh, dia pasti tidak pernah berpacaran. Hahah, tipe seperti dia? Potong leherku jika dia pernah tertarik pada wanita.
Waktu makan selesai, aku memilih menonton TV yang ukurannya super gede. Puas banget nonton dilayat seperti itu, tidak dipotong-potong. Dulu, walau kami punya TV meski kecil, aku tidak pernah menontonnya. Bisa dihajar oleh Ayah.
Ada sebuah iklan tentang alat-alat make up sepertinya, aku melihatnya dengan mata yang hampir tidak berkedip. Wanita dalam iklan itu terlihat sangat cantik, kalau begitu aku juga ingin make up.
Aku tau sih dimana membeli itu semua, tapi selama ini kan aku belum mampu. Tapi kelihatannya, dari uang saku yang diberi Pak Dirga mampu-mampu saja. Baiklah, aku akan mencoba mulai besok. Yuhuu tampil cantik aku datang!
.
Hari-hari terlewat begitu singkat, Amel berubah total. Menjadi gadis remaja yang sangat aktif, merubah penampilan adalah hal biasa baginya. Mulai sekarang tidak pernah ragu untuk mengikuti beberapa trend pakaian yang ada, tapi tetap tidak merubahnya menjadi boros.
Wajahnya yang ayu natural, bertambah sinarnya saat mulai pandai merawat kecantikan. Kulitnya putih bersih dan wajahnya halus tanpa jerawat. Menjaga makanan adalah hal terpenting, terkadang Dirga terpana namun tidak disadari oleh Amel.
Lelaki itu mulai sering curi-curi pandang, walau tidak banyak. Sampai saat ini dia masih sering menemui bayi Gara, tapi tidak setiap hari. Sifat kaku Dirga mulai terkikis sedikit demi sedikit, mereka sudah mulai banyak mengobrol.
"Ini, bukalah." ucap Dirga memberi sebuah bungkusan kecil.
Amel mengambil kotak persegi panjang dari dalamnya, setelah diteliti ternyata sebuah kotak handphone. Matanya berbinar, dengan cepat membukanya dan terlihatlah satu unit telephone genggam keluaran terbaru. Banyak anak muda zaman sekarang menggunakannya.
Amel bisa menebak harganya pasti sangat mahal, kenapa Dirga sangat baik sehingga membuatnya semakin sulit membalas jasa.
"Terimakasih, Pak. Ini pasti sangat mahal?"
Dirga hanya tersenyum tipis, ya. Dia memang sudah pandai tersenyum, siapa lagi kalau buka Amel penyebabnya.
"Bapak membuat saya semakin sulit membalas semua ini. Berapa lama saya akan tetap disini sampai membayar hutang saya? Sementara nominalnya sudah sangat banyak."
Senyum Dirga pudar, itu artinya dia memiliki waktu tinggal disini? Berarti Amel berfikir tinggal disini hanya sampai membayar uang ratusan juta itu? Tidak, dia mau selamanya.
"Saya tidak pernah bilang itu semua hutang, jangan berfikir seperti itu."
"Tidak, itu tetap hutang saya Pak. Jangan rubah cara berfikir saya, karena saya akan merasa tidak enak."
Dirga terdiam, setelah tidak ada perbincangan lagi. Amel pamit untuk tidur, lagi pula sudah malam. Dirga masih termenung, di balkon kamar dia berdiri menikmati dinginnya udara malam. Bahkan angin malam tidak bisa mengalahkannya, mereka sama. Sama-sama dingin.
"Ini yang tidak kusuka, pertemuan dan perpisahan. Itulah sebabnya aku tidak mau mengenal wanita. Sekali masuk. Kau harus rela kapan saja pergi darinya, AKU BENCI ITU."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Pak DIRGA
RomanceFollow akun Author dulu yuk. JANGAN LUPA vote dan komennya. (PLAGIAT MENJAUH.) Start: 26 Desember 2021 •••• Kisah seorang kepala sekolah muda, yang tanpa sengaja menaruh hati pada gadis remaja, yang tak lain adalah seorang siswi di sekolah milikny...