"Berantakan sekali." gumamnya, berjalan mendekat kearah tumpukan uang yang berserak dilantai, dipungutnya sedikit demi sedikit dan menyusun itu didalam.
Amel merasa takjub, uang sebanyak ini pasti lama sekali mengumpulkannya, sungguh hebat Dirga. Belum lama mengangumi harta suaminya itu, Dirga sudah muncul didepan pintu.
"Ya ampun Mas, kenapa gini?"
"Aws ... tidak apa-apa, luka kecil." dirinya malah mengelus rambut Amel, sedangkan gadis itu kelewat panik melihat lengan serta sudut bibir Dirga mengeluarkan cairan merah.
"Is! Jangan sentuh Amel, liat Mas lagi luka!"
"Luka kecil, hanya luka kecil saja!"
"Aku akan ambil kain membersihkan ini."
Dirga hendak mencegah namun Amel tak menghiraukan, diduduk 'kannya pria itu dipinggir kasur sementara kedua tangan memeras kain dan membersihkah sisa-sisa darah sebelum mengering nantinya. Dirga menyukai raut serius dari perempuan ini, dipandanginya Amel lekat.
"Kenapa? Apakah sakit?"
"Ah iya, sakit sekali ... rasanya aku ingin—"
"Ingin apa, Mas? Aku telpon dokter ya?"
"Tidak-tidak, napasku mulai sesak Amel. Tolong aku ...." ia mengintip ekspresi Amel, sungguh menggemaskan.
Amel menangis, bahkan suara isakannya perlahan meninggi. "Jangan gini Mas, aku panggilin dokter ya!"
"Tidak sempat, m-mungkin aku akan mati. Terimakasih atas waktu kamu selama ini Amel."
"Jangan! Jangan, jangan gini Mas. Bertahanlah, Bi! Bibi tolongin kami!"
"Sttt." Dirga membungkamnya, memang niatnya hanya mengerjai Amel saja tidak mau melibatkan orang lain. Bahunya naik turun karena menangis, Dirga punya ide. "A-aku sungguh mencintaimu Amel."
Ia menggeleng, ditepuk-tepuknya dada Dirga karena pria itu berpura-pura sulit bernapas. "Bibi!! Tolongin Mas Dirga kritis. Bibi!"
"Sebelum aku pergi, apakah kamu juga menyukaiku Amel?"
"A-aku ...."
"Jawab sesuai perasaan kamu saat ini, mungkin aku akan tenang walaupun pergi."
"Emm, mungkin."
"Serius Amel, aku tak sanggup bernapas lebih lama. Sesak sekali!"
"Aku tidak tahu, aku tidak tahu!" ia malah mengencangkan pekikannya, dipukul-pukulnya tubuh Dirga berharap dengan banyaknya rasa sakit dia tak akan kehilangan kesadaran.
"Cinta atau tidak?"
"Tidak."
"Maksudku Cinta, iya begitu."
"Aku ingin jawaban yang pasti, kumohon."
"Aku menyukaimu, aku mencintaimu, apakah cukup?" Dirga tersenyum, diangkatnya Amel keatas pangkuannya membuat ia memekik seketika. Tubuhnya gemetar karena tidak biasa melakukan posisi seperti itu.
"Cukup sangat cukup, aku sudah sehat sekarang." Amel tidak menyangka sikap Dirga bisa seberubah sekarang, seceria itu dirinya ternyata, sayang sekali sebagian orang tidak bisa menikmati dirinya yang satu ini.
"Bohong, Mas?"
"Tidak, aku serius sesak. Tak kuat memandangmu." ucapnya terkekeh kecil, Amel mengerucutkan bibirnya walau senang Dirga berubah. Tapi entah kenapa dia sealay itu.
"Kamu alay Mas, kayak gak pernah jatuh cinta aja."
"Kalau itu benar adanya?" dirapatkannya tubuh istri lebih dalam dipelukan.
"Gak mungkin, gak ada laki-laki yang gak pernah suka sama cewek."
"Memang gak ada. Tapi kamu cewek pertama itu, membuatku bisa ikut merasakan jatuh cinta. Terlihat alay ya?"
"Tidak sih, masih wajar kalau kamu Mas!" Dirga tersenyum, diangkatnya tubuh Amel hingga seakan melayang membuatnya meronta-ronta hendak diturunkan. Diletakkannya gadis itu duduk diatas dadanya, memandangi dari bawah tidak kalah indah.
*
Tidak seperti biasanya, kali ini pria itu tampak terlambat 15 menit ke kantor. Seharusnya dia tidak bekerja hari ini, selepas mengantar Amel pulang dirinya bagai terjerat hingga tak bisa lepas dari istrinya. Amel memarahinya barulah dia berangkat.
"Uang kita sudah banyak, aku dirumah saja."
"Sana Mas, kerja. Jangan sombong ih!"
"Kebenaran Amel, untuk apa aku kerja lagi? Ayolah ...."
"Kalau Mas, gak kerja. Aku juga gak akan mau sekolah!"
Dengan berat hati diciumnya kening Amel sebelum pergi, bibir tipisnya melengket begitu lama, ingin protes tapi Amel juga tidak berani. Walaupun mereka sudah tidak canggung lagi, tapi Dirga belum pernah menyentuh yang lain selain kening dan pipi. Entahlah, otaknya ingin tapi hati melarang. Dia takut tidak bisa berhenti setelah sekali mencoba.
Dirga akui mempunyai istri yang memiliki status pelajar itu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Tapi ketika suntuk, tingkah polos dan sedikit kekanakannya membuat Dirga terlepas dari beban pikiran. Dirinya banyak tersenyum kala ekspresi gemas Amel mulai terlihat.
"Tumben Anda terlambat, Bos."
"Jadi, apa itu tidak boleh? Terserah saya mau datang apa tidak."
Huft.
Rendi tersenyum paksa, diberikannya kertas yang berjumlah lima lembar itu di atas meja Dirga. Tidak ada gunanya juga basa-basi, toh Dirga datarnya gak tertandingi. Sapaanmu akan selalu dibalasnya ketus, memang sudah seperti itu sifatnya atau dirinya membenci manusia?
"Apa saya harus membatalkan atau menerima undangan malam nanti, Bos?"
Ia menyusun kertas itu kembali dan menggesernya kehadapan Rendi. "Undangan apa?"
"Malam ini anda diundang menghadiri acara peresmian cabang baru dari perusahaan milik Pak Heru, kini mereka sukses membuka lagi di pulau kalimantan."
"Biasanya anda 'kan tidak menghadiri acara seperti ini, apakah saya ba—"
"Terima saja, saya akan datang."
"Ha?"
"Saya akan datang, Rendi!" bentaknya tidak sabaran.
"Dimana acara itu dilakukan?"
"Hotel Drima, pukul tujuh nanti malam."
Dirga hanya mengangguk singkat, dipersilahkannya Rendi keluar. Lelaki itu menggaruk belakang lehernya melihat tingkah Bos sudah mulai aneh, jujur saja Dirga belum pernah menghadiri acara yang seperti itu. Tapi selalu saja diundang karena posisinya terbilang besar, tak ada pengusaha yang tidak mengenal dirinya.
"Bagus, sekalian kuajak saja Amel ke hotel. Aku belum pernah menikmati waktu berdua dengannya 'kan?" pria itu tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Pak DIRGA
Lãng mạnFollow akun Author dulu yuk. JANGAN LUPA vote dan komennya. (PLAGIAT MENJAUH.) Start: 26 Desember 2021 •••• Kisah seorang kepala sekolah muda, yang tanpa sengaja menaruh hati pada gadis remaja, yang tak lain adalah seorang siswi di sekolah milikny...