Chapter 12

249 48 8
                                    





**

"Saya tau semua yang terjadi, harap jangan bersikap yang dapat membuat saya merasa bersalah."

Amel bersikap acuh, kepalanya ia alihkan ke sisi jendela dan melihat jalanan yang tidak terlalu macet saat siang hari. Dirga membuat keputusan, mulai siang ini dan siang seterusnya ia akan menjemput Amel pulang dari sekolah, baru ia akan pergi ke kantor kembali.

"Tidak perlu bersikap layaknya seorang istri, ini bukan sebuah rasa. Hanya status semata."

Amel menegakkan tubuhnya lalu menoleh kearah Dirga yang berfokus terus pada jalanan didepan. "Saya tahu."

"Jangan pernah menunggu saya pulang, lakukan apapun yang mau kamu lakukan. Dan saya juga akan seperti itu."

Amel hanya bergeming. Ia bukan marah hanya saja sedang tidak ingin bicara panjang lebar, dia lelah.  "Apa kamu marah?"

Amel menggeleng pelan.

"Sampai dirumah saya hanya akan makan siang lalu pergi kembali."

Dirga memarkirkan mobilnya lalu beranjak turun diikuti oleh Amel. Saat sampai diruang tengah Amel terus melangkahkan kakinya menuju kamar, tidak menatap Dirga sama sekali.

"Kamu tidak makan siang?"

Langkahnya terhenti. "Bapak makan saja, saya Sudah waktu di kantin tadi ... dengan Johan." jawabnya tanpa menoleh dan tetap menaiki tangga.

'Pasti marah, aku tidak menyuruhnya melakukan itu kenapa sekarang malah marah padaku? Menikah itu sangat sulit dan merepotkan!' sungutnya dalam hati.

**

Beberapa hari berganti, suasan tetap sama dan kemungkinan tidak akan berubah. Dua manusia terikat sebuah status namun tidak menunjukkan perkembangan apapun, malah semakin terlihat menjauh hingga sulit dijelaskan kata-kata.

Pernikahan seakan penghancur semuanya, kata bahagia serasa sulit dicapai bersama. Tidak ada moment berdua atau sekedar jalan bersama, tali semakin panjang, ikut membawa keduanya menjauh.

Bahkan kemarin malam Dirga baru saja meresmikan sebuah peraturan terbaru untuk istri sekaligus muridnya itu. Hampir saja Amel menitikkan air mata, bukan tidak suka. Inilah yang ia inginkan jauh hari, tapi kenapa kata-katanya terasa lebih sakit dari perkiraan?

Dengan senyum getir, Amel menandatangani beberapa surat khusus untuknya.

Tidak ada kegiatan disore hari, Amel memutuskan untuk menyiram beberapa tanaman bunga di halaman depan. Bunga mawar dengan beberapa warna terlihat cantik, daun dan tangkainya bergoyang saat angin sore berhembus.

Matanya tidak sengaja menangkap benda kecil di dekat tong sampah yang terlihat memancarkan sinar dari intinya. Amel sedikit menunduk dan meraihnya, diperhatikannya dengan seksama. Sebuah cincin berhias berlian murni sama seperti cincin nikah yang ia kenakan sekarang.

Dia tersenyum saat tahu kemungkinan apa yang membuat benda penting ini terbuang begitu saja. Sepertinya Dirga ingin memasukkan ini ke tempat sampah, tapi lemparannya tidak berhasil.

Sayang jika dibuang, pasti perlu banyak uang untuk membeli benda semewah ini. Jika tidak menghargainya sebagai saksi status pernikahan, setidaknya menghargai dari nominalnya saja.



Amel lantas memasukkannya kedalam saku celana lalu meneruskan kegiatannya. Sore hari seperti ini memang digunakan Amel untuk melakukan pekerjaan rumah, sudah terbiasa. Itulah dia. Dari dulu tidak pernah bersantai jika dirumah, jadi hingga sekarang kebiasaan itu ikut terbawa. Rasanya badan seakan tidak nyaman jika tidak melakukan sesuatu.

Dear Pak DIRGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang