Amel memerhatikan rintik hujan dari dalam jendela kamarnya, Dirga baru saja berangkat ke kantor, dirinya setiap hari harus membagi antara sekolah dan perusahaan miliknya. Tetesan air hujan sudah cukup lama membasahi bumi, hingga menjelang sore gadis itu betah memandangi.
Dengan tangan menopang dagu, beberapa kali bibirnya bergumam namun tak terdengar. Masalah baru kini datang, lebih sulit untuk ia hadapi daripada tentang ejekan disekolahnya. Ini ada sangkut paut dengan Dirga.
Siang itu ....
Tangan lentiknya terlihat mengipasi wajah yang sudah banjir keringat, Amel menunggu diujung jalan sekolah untuk Dirga keluar dan mengantarnya pulang. Andai saja ia bisa menunggu di pos tanpa menghadapi terik matahari dengan tangan kosong, namun jika ada yang melihat mereka se-mobil nantinya, pasti akan menjadi bahan yang panjang.
Dua orang pengendara sepeda motor terlihat menepi, masih lumayan jauh dari dirinya. Walaupun begitu, dengan ingatan kejadian waktu itu yang masih melekat Amel mundur perlahan karena takut.
Salah satu diantara mereka datang menghampiri, awalnya pura-pura melihat kejalanan. Namun entah memang berniat menunggu hingga sepi, ia langsung menarik lengan gadis itu. Helm-nya ia buka, menampilkan wajah yang menjadi ketakutan Amel selama ini.
"Ayo ikut Ayah!"
Amel meronta, sekalipun ingin berteriak meminta tolong dia menjadi tak ingin. Kalau orang-orang datang, dan menghajar sang Ayah? Apakah Amel akan tega melihatnya.
"Lepaskan aku Ayah, bukankah kalian sudah memiliki perjanjian!"
"Ah! Aku tak peduli, dengar-dengar kau malah menikah dengan orang kaya itu. Sungguh anak tidak tahu diri, enak saja menikah dengan lelaki itu."
Tidak. Amel memukul, menepis, meremas, bahkan hendak menendang Ayahnya sendiri. Dia tak mau lagi kembali, Dirga adalah rumahnya yang lebih baik. Bukan karena ia gila harta, namun lelaki itu sebuah kata yang Amel butuhkan 'aman'.
Pria paruh baya yang bahkan sebagian kepalanya sudah mulai ditumbuhi uban putih itu menyeringai, "Baik kalau tidak mau ikut, aku akan datang menemuinya dan meminta uang tebusan lagi."
Ia menggeleng lemah, "Jangan Ayah, jangan meminta uang lagi!"
Tidak bisa dibayangkannya jika Ayah kembali meminta uang pada Dirga, harus berapa banyak hutang yang akan Amel bayar? Yang kemarin lewat saja belum bisa ia lunasi.
"Aku akan datang menjemputmu malam ini, jika kau ingin ikut aku tidak akan meminta uang. Tapi jika tidak, lebih baik meminta uang pada menantuku. Benar kan?"
Dia tersenyum puas, sebelum benar-benar pergi dengan cepat ia merampas handphone putrinya. Amel tidak bertahan, pasrah mau dibawa kemana barang pemberian Suaminya.
Haruskah aku ikut Ayah?
*
Kedipan mata singkat membuyarkan ingatannya siang tadi, Amel kembali dilema. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan mulai berkata lirih. Dirinya tidak ingin pergi dari Dirga, tapi ia juga tak mau Ayahnya kembali memeras. Pasti pria itu mempunyai banyak rencana lagi, untuk ikut menguasai harta Dirga.
Ia mengedarkan pandangan tertuju pada lemari pakaian disudut sana, hatinya telah bertekad pergi saja dari pada harus menanggung perlakuan Ayahnya yang bisa dibilang tidak tahu diri.
Setetes air mata jatuh mengenai bahan dari koper hitam miliknya, Amel membuat keputusan dengan rasa kecewa. Diseretnya kebagian samping siapa tahu Dirga masuk dan mengetahui ia akan pergi.
Dengan sekali usapan punggung tangan, tetes air tadi menghilang terganti oleh senyum tipis tak niat darinya. Mungkin sore ini menjadi terakhir dia memasak untuk Dirga, menunggunya pulang dengan setia, dan terakhir makan bersamanya.
Saat tahu perpisahan itu menyakitkan, Amel mengutuk diri karena entah kenapa dapat bertemu dengan Dirga. Sekarang dirinya terlanjur Aman, nyaman, dan tenang didekatnya. Andai saja dia tak bersekolah disana atau Dirga tidak membeli bangunan itu. Pasti mereka tidak saling bertemu.
*
Selesai membantu memasak didapur, Amel teringat sesuatu dan segera memasuki kamarnya kembali. Membuka lemari lalu menarik salah satu laci, tangannya terulur meraih kotak kecil dan membawanya dalam genggaman.
Gadis itu memandangi cincin istimewa yang menjadi isi dari kotak tadi, diusapnya pelan nama yang terukir disana. Beruntung kamar Dirga tidak dikunci seperti biasanya, diletakkannya cincin itu diatas nakas.
Lantas beranjak meninggalkan ruangan sebab sepertinya mobil Dirga sudah memasuki pekarangan depan. Wanita itu bersiap didepan pintu, memasang senyum seperti biasa. Dirga membalas senyum dirinya saat sudah memunculkan sosok tegapnya.
"Harum sekali, kamu memasak?"
Dia mengangguk malu-malu, ekspresi yang paling Dirga sukai. Pria itu mengusap perutnya yang dibalut kemeja, berusaha menggoda Amel dan memberi kode bahwa ia sudah sangat lapar.
"Akan saya siapkan, Mas mandi dulu." kaki kecilnya pergi menjauh dengan tangan kanan menenteng tas serta jas suaminya. Dirga mengikuti hingga ke kamar, memulai ritual mandi malamnya dengan air hangat yang sudah disiapkan Amel tentunya.
Dengan tidak sengaja ekor matanya melirik sesuatu, benda kecil yang sedikit memancarkan sinar membuatnya penasaran. Ia dekati nakas dan meraihnya, sebuah cincin yang ia duga telah hilang ternyata berada disini. Pasti Amel, dirinya tersenyum lantas memakai pakaian santai secepat mungkin.
"Amel, kemarilah?" jari telunjuknya mendorong pintu kamar pelan, pintu tidak ditutup sama sekali membuat leluasa untuk masuk. Walaupun begitu, tetap tak ada tanda-tanda Amel disana.
Hampir berjalan kearah lemari, namun urung karena mengingat wangi masakan tadi membuat perutnya meronta-ronta, dirinya balik badan dan turun ke dapur.
*
"Saya kira tadi ada dimana, ternyata di kamar ...."
Amel terperanjat kaget, ditutupinya koper itu dibalik tubuh padahal masih tetap dapat dilihat dengan jelas. Dirga berjalan mendekat, ia pikir akan bertanya soal cincin itu setelah makan malam makanya ia putuskan untuk datang.
"Apa itu?"
"I-ini, baju-baju yang masih ada didalam koper mau Amel pindahkan Mas."
Kening pria itu berkerut kemudian bertambah dekat, diraihnya salah satu pakaian. "Bukankah ini sudah ada dilemari kemarin? Kenapa ada di koper lagi."
"Baju ... baju seperti itu ada banyak Mas, gak cuma satu."
Dia mengangguk, "Yaudah kamu beresin dulu, saya duduk nunggu disini aja. Ada hal yang mau saya katakan." Dirga mengambil posisi duduk dipinggir ranjang, memperhatikan Amel yang terdiam kaku ditempat.
Gawat jika Dirga terus disini, tidak mungkin menyusun pakaian-pakaian itu kembali ke dalam lemari dirinya 'kan berniat kabur.
"Mas ngomong aja dulu, nanti ini Amel susun bentaran aja."
"Kamu mau pergi kemana Amel?" wanita yang ditanyai meringis dalam hati, kenapa Dirga bisa tahu secepat itu.
"Kamu pikir saya lalai? Kamu lupa ada kamera dikamar ini?"
"Amel gak pergi, Mas. Cuma nyusun aja."
"Jangan bodohi orang dewasa."
Amel mengalihkan pandangannya, tangannya tak tinggal diam untuk memilin ujung baju saat dalam kepanikan. Dirga meraih bahunya, menunjukkan cincin itu.
"Kamu yang menemukannya?"
"Tidak, memangnya selama ini hilang ya Mas?" bertanya miris saat mengingat ia temukan itu didekat tong sampah, apalagi jika tak dibuang.
"Tentu saja, saya mencari ini kemana-mana ternyata kamu yang menemukannya."
"Hanya itu saja kan Mas, Amel banyak kerjaan."
"Tunggu dulu ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Pak DIRGA
RomanceFollow akun Author dulu yuk. JANGAN LUPA vote dan komennya. (PLAGIAT MENJAUH.) Start: 26 Desember 2021 •••• Kisah seorang kepala sekolah muda, yang tanpa sengaja menaruh hati pada gadis remaja, yang tak lain adalah seorang siswi di sekolah milikny...