Chapter 16

226 46 0
                                    




Dirga keluar hanya dengan menggunakan handuk pada bagian bawah tubuhnya, dengan cepat Amel membalik badan menghadap kesamping. Dirinya bisa tidak fokus belajar jika dia berlama-lama dikamar ini.

'Ck. Tidak sopan sekali dirinya.' batin Amel kesal.

"Kamu begitu perhatian dengan memberi langsung handuk pada seseorang untuk mengeringkan keringatnya, sedangkan saya?"

"Pandangan saja kamu alihkan, memangnya saya hantu?"

'Apa maksudnya? Jangan-jangan Johan lagi, bener-bener ni orang.'

Amel bersikap acuh, kembali membaca buku dengan kepala yang menunduk dalam. Tidak ingin berniat memandang Dirga, meliriknya dan curi pandang dengannya. Tidak, Amel tidak mau.

"Tolong siapkan makanan." pinta Dirga berdiri menghadap Amel yang asik rebahan.

"Bibi Rusnah, bukankah dia yang selalu melakukannya."

"Dia sudah pulang, saya kasih cuti dua minggu. Katanya ingin pulang kampung."

Dirga berjalan mendekat, mengambil alih buku-buku itu lalu menyusunnya di atas nakas. "Ayo, saya mau makan."

"Pembantu yang lain? Bukankah masih ada?"

"Kenapa terlalu banyak alasan? Saya sedang kelaparan."

Amel hanya bisa pasrah, jika Dirga mau itu maka harus didapatkan. Berhubung dirinya sudah makan terlebih dahulu, Amel hanya duduk dengan tangan yang menopang dagu. Menunggu Dirga selesai makan sambil sesekali menguap.

Rasa kantuk hilang berganti dengan penasaran tak tentu, kala melihat Dirga menyusun beberapa bantal tambahan di kasur miliknya. Dan jangan lupakan guling yang dibuat seolah untuk pembatas.

Dirga bergantian menatap Amel yang menata diri di sofa ujung ruangan, tatapannya lekat bahkan walau tubuh itu bergerak kesana kemari menyiapkan selimut diatas sofa.

"Untuk apa itu?"

"Tidur, saya di sofa aja Pak."

Dirga balik menatap kasur yang berukuran cukup besar itu. "Ini luas, disini saja."

Amel dengan cepat menggeleng, tidak. Sulit di pahami, Dirga yang meminta untuk sekasur? Apa ini bukan mimpi. Rasanya susah diterima akal sehat. Kemana sosok sok bodoamat nya pergi?

Dirga masih setia berdiri sedangkan Amel mulai terlelap dengan damainya. Matanya menatap tajam sofa panjang itu, sebelum akhirnya ikut merebahkan diri dengan kedua mata perlahan terpejam.

*

Helaan napas pelan terdengar, Amel selalu tersenyum sebelum mengawali harinya di sekolah. Tangannya mulai membuka pintu mobil, tapi tidak bisa. Dirinya sempat terperanjat saat wajah Dirga sudah sangat dekat ketika tidak sengaja menoleh.

Huft.

Dirga menghembus wajah milik istrinya, refleks Amel menutup mata. "Tidak tanya kenapa saya seperti ini?"

Amel membuka matanya perlahan. "Kenapa Pak?"



Satu kecupan di kening mulus miliknya mampu membuat Amel mengerjab tak percaya. "Turunlah, belajar yang rajin."

Amel turun dengan gerakan kaku dan canggung, mobil Dirga segera melesat masuk kedalam lingkungan sekolah sedangkan Amel akan harus jalan sedikit lagi karena ia menurunkannya di seberang sekolah.

Jemarinya meraba kening yang beberapa menit lalu mendapat stempel aneh. Ada perasaan tak jelas menjalar di dalam dada, apa tadi itu?

*

Clek.

'Tumben sepi.' batinnya saat memasuki rumah.

"Ini, tadi saya beli waktu di jalan. Belum makan siang kan?"

Amel mengangguk lalu mengambil alih bungkusan dari tangan Dirga, pria itu meletakkan jas diatas sofa dan menggulung lengan kemeja hingga siku. Berjalan menuju dapur menyusul Amel yang mulai menata makanan yang tadi ia beli.

"Bibi!"

'Aneh, pada kemana.'

"Bibi?" panggilnya sekali lagi, namun tidak kunjung ada pekerja yang muncul atau sekedar menyahutnya.

"Mereka tidak ada, selama tiga hari ini tidak akan ada pembantu."

Amel menatap Dirga yang memposisikan dirinya untuk duduk. Pikirannya melayang jauh, bagus juga. Berarti kamar-kamar yang mereka tempati akan kosong? Bagus, Amel bisa tidur disana.

"Kenapa senyum-senyum kamu."

"Ah tidak ada, Pak. Sini saya siapkan." Dirga memberikan piringnya untuk diisi oleh tangan Amel sendiri.

"Baiklah, saya akan ke kantor. Kamu dirumah jangan pergi atau kamu saya ajak ke kantor lagi."

"Tidak. Saya akan tetap dirumah Pak."

Dirga mengarahkan tangan kanannya kearah Amel, gadis itu hanya menatapnya heran. "Kenapa?"

"Cium."

"Hah?"

Amel membulatkan matanya, sadar akan ucapannya cepat-cepat Dirga meralat. "Maksud saya cium tangan."

Ia mengangguk polos, meraih tangan besar Dirga dan mengarahkannya pada bibir mungilnya. Hal ini biasa saja untuknya, disekolah juga dia biasa seperti itu pada guru. Mungkin Dirga juga sama, secara kan ia seorang kepala sekolah.

Dear Pak DIRGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang