Chapter 10

270 44 6
                                    

Maaf lama, banyak tugas sekolah guys♡







Saat ini sudah menunjukkan pukul 5 sore, entah kenapa Dirga berniat pulang lebih cepat dari kantor. Saat ia memasuki halaman rumah, dirinya mendapati satu sepeda motor terparkir di halaman rumah. Milik siapa? Selama ini dia tidak punya motor.

Turun dari mobil kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Didepan pintu, dia sudah disuguhkan oleh dua manusia saling tertawa ceria.  Amel dan Johan memang sempat mengadakan kerja kelompok siang tadi, namun sepertinya Johan masih betah bermain hingga sore hari.

"Ekhem."

Amel menoleh ke belakang, dia tersenyum lalu bangkit berdiri diikuti oleh Johan di sampingnya. "Pak, tadi kami kerja kelompok. Jadi saya ajak Johan kemari."

Dirga memandang anak laki-laki itu dari atas sampai bawah. Tanpa mengatakan apapun, ia berlalu menuju kamarnya. Bahkan tidak ada senyum untuk sekedar menghormati tamu dirumahnya.

"Maaf ya jo, Pak Dirga emang gitu."

"Sangat tidak ramah, bintang nol." kekeh Johan lalu kembali mendudukkan dirinya di sofa. Amel mengikuti gerakannya dan kepala yang menengadah ke langit-langit rumah.

"Gimana lo bakal betah serumah sama dia?" tanya Johan melirik ke samping.

"Entahlah jo, nyamanin ajalah. Mau gimana juga gue yang makasih udah ditumpangin di istana gede kek gini." jawabnya dan ikut menoleh.

Keduanya saling tatap dan melempar senyum. "Lo manis deh ..."

Wajah Amel merah malu, dengan gerakan refleks ia memukul bahu Johan. "Gausah sok gombal!"

"Ck. Iye-iye, kalo gitu gue pulang dulu ya ... nanti kalo malam-malam diculik mbak kunti."

Amel terkekeh pelan lalu mengangguki, mengantar Johan sampai didepan rumah dan menunggunya hingga hilang dari pandangan. Sebelum melajukan motornya, Johan masih sempat melambaikan tangan dengan wajah yang sudah tertutup helm. Amel membalas dengan ramah, ikut melambai diiringi senyuman khasnya.

.

Bulan berganti bulan, kini komunikasi Amel dengan Dirga mulai melembut. Mulai sering ke mall bareng, obrolan mulai panjang, dan banyak tegur sapa menghiasi rumah Dirga yang semula sepi.

"Amel duduklah sebentar."

Pintanya ketika baru saja melihat Amel pulang, bahkan gadis itu masih memakai seragam lengkap serta tas ransel setia di punggung. Amel menuruti, berjalan mendekat ke arah sofa dan duduk berseberangan dengan Dirga.

"Sebelum saya bicara, saya minta kerjasama padamu. Tolong jangan beranggapan buruk nantinya."

Amel mengangguk.

"Besok ..."

Dirga meringis, setidak kuat itukah ia untuk mengatakan sesuatu? Cobaan memang tidak ada yang tahu, tapi ini sepertinya terlalu sulit.

"Besok— kita harus menikah!"

Deg.

Mata Amel membulat sempurna dengan tangan gemetar mencengkram sisi sofa mewah itu. Peluh di kening mulai terbentuk, embun di mata jernihnya juga mulai terlihat. "T-tapi ... kenapa?" lirihnya dengan suara tercekat.

"Tadi sebelum kamu pulang, banyak warga yang sudah didepan rumah. Mereka seperti demo dengan jumlah cukup banyak, saya juga gak tau kenapa Bang Eric bisa ceroboh dan mengatakan kamu tinggal disini tanpa status. Seharusnya dia bisa bilang kamu Adik saya ataupun sejenisnya, agar warga tidak curiga akan hubungan gelap.

Saya tidak mampu mengelak, dan tidak bisa angkat kaki dari bangunan ini. Rumah yang paling dekat dengan proyek saya tahun ini, hanya satu. Jika pindah ke rumah yang lainnya akan mempersulit kerja saya. Mau tidak mau, kita dinikahkan paksa. Mereka hanya memberi waktu 1hari, jika tidak saya bisa diusir."

Dengan bibir bergetar menahan isak tangis, Amel mencoba mendengarkan.

"Saya mohon, ikutilah. Saya juga terpaksa dan sama sekali tidak menginginkannya, udah coba membayar dengan uang namun warga disini acuh saja. Saya tidak tahu harus apa Amel, arghh!!"

Dirga memukul sofa dengan kesal membuat Amel tambah gemetar. Menikah? Tidak! Dia tidak mau itu terjadi, selain umurnya masih muda, Dirga? Wajah pria itu tidak cukup menyakinkan.

"Saya—"

Wajah Dirga menoleh, menunggu sambungan kata yang menjadi keputusan bocah kecilnya.

"Saya akan pergi, Pak. Jika tidak boleh serumah oleh warga."

Kini Dirga yang tergelak, rahangnya mengeras tanda tak menyukai kalimat barusan. "TIDAK AKAN."

Amel tersentak, terdengar seperti teriakan namun tidak terlalu menusuk pendengaran. "Apa maksud Bapak?"

"Kamu tidak akan pergi kemanapun, saya sudah membayarmu." tagihnya dengan wajah kejam.

"Jadi maksud anda, kita akan menikah?! Dengar ya Pak, itu tidak akan terjadi sampai kapanpun. Saya akan tetap pergi."

Amel mulai melangkah, namun tiba-tiba berhenti dan menolehkan wajahnya sedikit. Dengan senyum sinis. "Tenang saja, uang anda akan tetap saya bayar. Itu adalah hutang besar saya."

.

Dikesunyian malam, Amel meringkuk diatas tempat tidur. Pikirannya melayang entah kemana, besok? Menikah? Yang benar saja.

"Aku gak mau nikah! Apalagi sama Pak Dirga. Dia itu menyebalkan dan dingin, juga sedikit menyeramkan."

Amel tidak habis pikir, sudah berbulan-bulan ia tinggal kenapa baru sekarang? Beberapa hari ini tatapan tetangga memang terlihat aneh, melihat Amel seolah ingin memakannya saja.

Gadis itu bangkit dari rebahannya, melirik jam diatas nakas yang menunjukkan pukul 23:05 malam. Dirga pasti sudah tidur, ini waktu yang tepat untuk kabur. Menunggu sampai esok pagi bukan rencana yang baik, bisa-bisa ia terlanjur terjerat sebelum pergi.

Ia meraih semua baju dari dalam lemari dan memasukkan kedalam koper yang tersedia. Tidak-tidak, keluar dari pintu utama bukan jalan sehat, lompat dari jendela? Mungkin pilihan baik.

Kamarnya berada di lantai atas, cukup sulit tapi harus tetap dilakukan. Amel meraih kain apapun yang terlihat panjang dan menyambungnya satu persatu. Tirai kamarnya juga ikut menjadi korban jalannya minggat, terlihat tidak sopan. Namun pamit juga bukan idenya.

Amel melirik sekilas kearah pintu kamarnya, semoga tidak ada yang masuk dan melihatnya sedang seperti ini. Lebih mirip maling cantik. Dia menjatuhkan ujung kain dan terulur panjang hingga menyentuh tanah. Amel tersenyum, jalannya sudah selesai dan siap digunakan.

Clek.

Tubuhnya menegang kaku, kepalanya seakan sulit menoleh kearah belakang. Bunyi apa barusan? Terdengar seperti membuka pintu, tapi sudah ia kunci. Semoga saja itu kamar sebelah.

"AMEL."

Tidak mau membuang waktu, meninggalkan kopernya begitu saja dan lebih mementingkan diri terlebih dahulu. Meraih tirai tadi dengan kuat dan  bersiap turun kebawah. Dirga membulatkan matanya, dia berlari kearah jendela tempat Amel ingin melarikan diri.

Sebelum kehilangan, buru-buru ia menarik salah satu kakinya hingga terhenti. Amel menangis dan memberontak kuat, menggoyang-goyangkan kakinya berharap tangan Dirga melepas.

"Lepasin Pak, saya mau pergi. Ini demi kebaikan semuanya kan?!"

"Kamu hilang akal! Ini itu tinggi, bukan seperti ini solusi yang tepat."

"Jadi menurut Bapak, menikah? Iya?"

Dirga terdiam, tapi tangannya tetap memegang erat kaki Amel. Dengan gerakan tak terduga meraih cepat pinggang gadis itu dan menariknya paksa.

"GAK MAUUU!"

Dear Pak DIRGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang