Kak Rangga, Jangan Marah

6.3K 615 19
                                    

Boleh menginginkan hal lebih . Tapi Jangan pernah menuntut untuk mendapatkan Kesempurnaan. Karena,  ujung-ujungnya kamu hanya akan mendapatkan perih

Rangga Ini Anya
@Sarifatulhusna09

.
.
.

Di sebuah kamar minimalis berwarna putih itu, Qanya Saufi duduk di meja rias menatap pantulan dirinya di cermin. Lekat diperhatikannya wajahnya dari balik cermin. Ia menunduk, mengangkat satu tangannya, memperhatikan kulitnya. Sama saja.

Anya tersenyum kecut.

“Kamu hanya kagum dengan akhlaknya, bukan mencintainya. Kamu melihatnya setelah pertengkaran kita, setelah kita putus. Kamu yakin mencintainya? Bukan menjadikannya pelarian?

Kalimat Audsty berhasil mempengaruhi saraf otaknya. Anya menutup matanya sejenak, menghela nafas panjang. Ia ingin tahu lebih banyak tentang masa lalu mereka. Begitu membuka mata, tatapannya tertuju pada botol kapsul pemutih di atas meja. Isinya tinggal setengah.

Anya mengambil air putih di atas meja, mengambil satu kapsul. Harusnya ia minum pagi dan malam saja, tapi kali ini ia minum 3x sehari. Tidak apa-apa, Anya akan menutup fakta yang ia tahu. Sebentar lagi dengan obat ini. Anya … tidak akan kehilangan Rangga kan?

***

Jadwal kuliahnya sore. Cukup lama selesai. Anya tidak terlalu fokus kali ini, selain terpikir ucapan Audsty, sejak kelas dimulai perutnya kembali perih. Begitu kelas bubar, ia menyandang tasnya keluar untuk segera pulang.

Angkot bergerak terasa lambat, hiruk piruk kendaraan dan padatnya isi angkot membuatnya yang duduk paling tepi belakang kian tak nyaman, belum perih perutnya yang tak kunjung membaik.

Kali ini setengah jam ia baru sampai di depan rumahnya. Langit pun sudah mulai gelap. Motor besar Rangga sudah terparkir. Anya mengigit bibir. Rangga sudah pulang.
Tidak sesemangat biasa bertemu Rangga, Anya bergerak lamban untuk masuk.

Assalamualaikum.”

Ia pikir Rangga di kamar. Namun, jawaban singkat dengan nada berbeda itu membuatnya berbalik badan. Anya merasa terintimidasi dengan tatapan Rangga yang menyorotnya tajam.

Apa ia bikin kesalahan? Anya menelan ludahnya susah payah. Bagai maling yang tertangkap basah, ia berdiri dalam tundukan. Mencoba mengajak otaknya berpikir apa penyebab sikap Rangga saat ini.

“Duduk,” titah suara itu.

Anya mengangguk. Atmosfer di ruangan tamu begitu menyeramkan. Terasa dingin dari biasa. Anya duduk meremas tangannya di atas paha, ia kian gelisah begitu Rangga tak kunjung mengalihkan tatapan tajam padanya.

Ada apa dengan Rangga? Rangga tidak mungkin marah dia pulang telat karena kuliah kan? Anya membuang nafas pelan dengan resah.

“Ini apa Qanya Saufi?”

Suara tegas Rangga menariknya untuk melihat apa yang dimaksud. Tubuhnya seketika menegang melihat botol kapsul pemutihnya yang kini ditaruh Rangga di atas meja. Retinanya membulat. Jantungnya berpacu. Panik. Anya gelagapan.

“Jawab!”

“Anya …” Bibirnya gemetar. Wajahnya memucat. Anya menunduk takut melihat kemarahan Rangga kali ini. Ia menggeleng kecil.

“Tatap mata kak Rangga!”

Kornea yang berair itu mendongak, menatap lagi tatapan Rangga. Air matanya menetes begitu Rangga kini membuka tutup botol itu dan membalikkannya hingga semua kapsul itu berjatuhan ke lantai.

Rangga Ini Anya✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang