Alvrey merenung dibalkon kamarnya, pemuda itu menatap lurus kearah taman rumahnya yang berada tepat didepan balkon kamarnya. Kenangan-kenangan indah yang dulu pernah ia dapatkan terlintas dibenaknya, saat sang bunda belum pergi, saat sang ayah tak secuek sekarang dan saat sang kakak tak seabai ini padanya.
"ARG! BANGSAT." Alvrey berteriak marah saat ucapan sang ayah tadi sore terlintas dibenaknya, semua kenangan indah yang awalnya terlinntas hilang begitu saja. Ucapan sang ayah mendominasi pikirannya sekarang.
"Biar Regan aja yang ikut, ayah gak mau kamu ngerusak rencana ayah karena sikap kekanakan kamu."
Alvrey mengacak rambutnya frustasi, pemuda itu benar-benar tak habis pikir dengan ayahnya. Bukankah sang kakak yang membuat masalah waktu itu, bukankah sang kakak yang membuat calon intri sang ayah menjadi ragu? Lalu mengapa sekarang ia yang disalahkan?
Air mata perlahan mengalir dipipinya, pemuda itu menangis dalam diam. Pemuda itu bahkan tak memperdulikan ketukan dipintu kamarnya. Ia yakin itu Bi Rana yang menyuruhnya turun untuk makan.
Alvrey benar-benar harus menenangkan dirinya sekarang, tak peduli apa yang akan orang katakan jika mengetahui bahwa Alvrey mengangis. Alvrey tak akan peduli jika orang-orang mengatakan dia lemah, karena ia menangis untuk menenangkan dirinya. Karena menurut Alvrey menangis merupakan hak semua orang.
Ketukan dipintu kamarnya berhenti seirirng dengan tangis Alvrey yang semakin keras, pemuda itu kini terisak, bahunya bergetar hebat. Pemuda itu kemudian menenggelamkan kepalanya dilipatan kepalanya.
Cukup lama pemuda itu menangis, sampai akhirnya pemuda itu mengangkat kepalanya tatkala terasa cairan keluar dari hidungnya. Alvrey menyentuh bagian bawah hidungnya untuk memastikan.
"Darah," lirih Alvrey tatkala mendapati cairan berwarna merah itu yang mengalir dari hidungnya. Pemuda itu perlahan bangkit menuju kamar mandi, satu tangannya ia gunakan untuk menutupi hidungnya agar darah yang keluar tak mengotori lantai.
Alvrey sedikit kewalan memebersihkan darah yang mengalir dari hidungnya, darah itu terus mengalir tanpa henti.
"Bisa-bisa gue kehabisan darah," ucap Alvrey diikuti kekehan miris diakhir kalimatnya. Cukup lama akhirnya darah dari hidungnya berhenti megalir.
Alvrey mengangkat kepalanya untuk melihat wajahnya dicermin. Berantakan, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan keadaanya. Matanya sembab, rambutnya lepek dan berantakan, ditambah bajunya kotor terkena darah.
"Haha, lucu banget wajah lo Al." Alvrey kembali menertawakan dirinya sendiri. Pemuda itu kemudian melangkahkan kakinya menuju kasurnya. Pemuda itu kemudian membaringkan tubuhnya diatas kasurnya.
Tangan pemuda itu meraba sesuatu diatas meja kecil disamping mejanya. Sebuah figura foto. Alvrey membawa figura foto itu kedalam pelukannya, mendekap erat figuran foto erat, seolah sosok yang ada difoto itulah yang ia peluk.
Figura foto itu berisikan foto sang bunda yang sedang menggendongnya. Wanita itu tersenyum manis kearah kamera dengan dirinya digendongan sang bunda.
"Bunda, Alvrey kangen. Bawa Alvrey pergi dari sini bunda," lirh Alvrey kemudian memejamkan matanya. Pemuda itu ingin segera masuk kealam mimpinya, setidaknya dialam mimpi ia tak akan merasa sesesak didunia nyatanya.
**********
Regan melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menaiki lantai untuk menuju kamarnya. Kejadian tadi benar-benar membuatnya emosi. Namun langkah kakinya tiba-tiba saja berhenti ketiga ia berada didepan kamar sang adik.
"Alvrey bilang sendiri sama ayah kalau kamu setuju."
Regan kembali mengingat perkataan sang ayah tadi, Alvrey adalah penyebab semua ini. Setidaknya itulah yang Regan pikirkan sekarang. Ia perlu membuat perhitungan dengan sang adik sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L V R E Y
Teen FictionAlvrey adalah Alvrey Ia tak bisa menjadi orang lain Dan orang lain tak akan bisa menjadi dirinya Ini cerita pertama ku. Jadi tolong maklumi jika banyak kesalahan dan juga adegan yang mungkin sedikit tak masuk akal atau sangat tak masuk akal. Cerita...