BAB 7

3.7K 271 0
                                    

Alvrey kini tengah menatap tajam pada keduan sahabatnya yang sedari tadi mengkor padanya. Memang sejak ia sampai disekolah tadi mereka sudah mengekor, mereka terus saja menanyakan hal yang sama. 

"Gue udah bilang gue gapapa kan?" ucap Alvrey kesal. Pemuda itu benar-benar risih dengan sikap sahabatnya. Niat Alvrey membohongi sahabatnya gagal, karena kini kedua pemuda itu malah menatap balik tajam kearahnya.

"Gak ada orang yang gak punya masalah nangis sampai matanya bengkak Al, cerita aja kenapa sih?" Kesal dengan jawaban Alvrey yang selalu mengatakan dirinya baik-baik saja Lian berucap dengan nada tinggi sembari menarik kerah baju Alvrey.

"Gak ada salahnya juga lo cerita Al," Dande berucap membenarkan perkataan Lian. Tangan pemuda itu menarik tangan Lian agar berhenti mencengkram kerah baju Alvrey.

"Salah gak sih gue marah sama ayah? Dia selalu  jadiin gue alasan buat semua keputusannya. Dia selalu buat kak Regan marah sama gue. Kak Regan yang baru aja mau ngelirik gue sekarang jadi gak peduli lagi. Gue capek kalau gini terus, gue pengen ikut bunda." 

Perkataan terakhir Alvrey membuat Lian dan Dande tersentak kaget. "Jangan gitu Al, lo jangan nyerah. Pikirin orang-orang yang sayang sama lo, dan gue yakin suatu saat kakak lo bakal liat lo. Jadi jangan nyerah, yakinin kakak lo, lo gak tau apa-apa. Kalau perlu gue bakal bantu Al."

Lian berucap lirih, ada getaran ketakutan dikalimatnya. Dia hanya takut Alvrey akan nekat seperti dulu. Dia takut akan kehilangan adiknya. Dande merasakan ketakutan yang sama. Masih teringat jelas saat sang sahabat terbaring lemah dirumah sakit karena aksi nekatnya. Ia tak ingin itu terjadi lagi.

Alvrey menatap kedua sahabatnya bergantian. Mereka benar tak seharusnya Alvrey kembali mempunyai pikiran seperti itu. Ia hanya perlu meyakinkan sang kakak, ia hanya perlu membuat sang kakak mengerti maka sang kakak akan kembali peduli.

"Udah dari pada lo mikirin itu, mending kita bolos aja," ucap Dande berusaha mencairkan suasana. Lian mengglepak kepala bagian belakang Dande, sedangkan Alvrey hanya menatap aneh kearahnya.

"Lo pikir dari tadi kita ngapain bodoh?" ucap Lian sarkas. Ia benar-benar lelah menghadapi Dande. Tak terima kepalanya digeplak begitu saja Dande membalas dengan menjambak rambut Lian.

"Ya maksud gue bolos keluar tolol." Dande berucap kesal kemudian melepas jambakan nya pada rambut Lian.

"Ya maaf, makanya ngomong yang jelas."

Alvrey tertawa kecil melihat pertengkaran kedua sahabatnya. Mereka benar-benar bisa membuatnya lupa akan masalahnya sejenak. Alvrey akui mereka memang gila, namun mereka juga keluarga kedua untuk Alvrey. Mereka merupakan kakak kedua untuknya.

****************

"Al, lo gak bakal kena amukan ayah lo kan gara-gara kita bolos?" Dande bertanya pada Alvrey. Jam sudah menunjukkan jam 17.50. Itu artinya mereka sudah hampir lima jam disini. Ya, mereka memutuskan untuk bolos tadi. Dan tujuan mereka adalah pantai.

"Ayah mana peduli, paling sekarang dia sibuk ngurus nikahannya," ucap Alvrey dengan santai. Pemuda itu menggosok-gosokkan tangannya, udaranya sangat dingin dan Alvrey benci udara dingin karena akan membuat kondisi tubuhnya menurun.

"Pulang aja lah Al, muka lo udah pucet banget tau gak." Lian berucap diangguki oleh Dande, namun Alvrey menggelng. Enak saja, ia telah menunggu lama untuk menyaksikan matahari terbenam diufuk barat. 

"Gak, kalau lo mau pulang, pulang aja. Lagian gue bukan anak kecil yang bakal sakit karena kena udara dingin." 

Lian dan Dande hanya menghela napas. "Batu banget sih." pikir mereka. Namun mereka masih disana, karena sebenarnya mereka juga tak mungkin melewatkan warna oranye dari matahari yang akan menenggelamkan dirinya.

*************

Alvrey tiba dirumahnya pukul 19.30. Rumahnya terdengar ramai, ia sepertinya mendengar suaara wanita asing di dalam rumahnya. Dengan rasa penasaran tinggi Alvrey melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menuju pintu rumahnya.

"Alvrey pulang," ucapnya dengan sedikit berteriak. Pemuda itu menghentikan langkah kakinya tatkala ia sudah smapai diruang tamu rumahnya. Terlihat sosok sang ayah bersama seorang wanita yang Alvrey rasa seumuran dengan sang ibu dan seorang pemuda yang Alvrey yakini seumuran dengannya,

Alvrey merasa kakinya seakan lemas, pikirannya sekarang dipenuhi olah sang kakak. Walaupun Alvrey belum pernah bertemu dengan calon ibu tirinya, ia tau bahwa sosok wanita sang kini sedang bersama sang ayah adalah orang itu.

Bagaimana perasaan sang kakak sekarang? Apa sang kakak akan kembali pergi dari rumah dan memilih untuk tingggal sendiri seperti dulu? Tak bisa, Alvrey tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Alvrey sini nak, ayo kenalan sama calon ibu kamu," dengan suara pelan seolah tak ada sedikitpun rasa bersalah Legara tunjukkan. Alvrey melirik kadua orang yang nampak asing untuknya. Arael, wanita itu menatapnya lembut sedangkan Mars pemuda itu menatatpnya tak suka.

"Ayah benar-benar gila," ucap pemuda itu lirih. Namun lirihan itu dapat didengar oleh ketiga orang yang berada diruangan yang sama dengannya. Alvrey kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Mengabaikan sang ayah  yang meneriaki namannya.

Brakkk

Alvrey menutup pintu kamarnya dengan keras, ia tak peduli jika ayahnya akan memarahinnya setelah ini. Satu hal yang Alvrey sesali sekarang, seharusnya dari awal ia setuju dengan sang kakak. Seharusnya dari awal ia menentang keras keputusan sang ayah untuk menikah kembali. Seharusnya ia tak egois.

"Bunda maaf, Alvrey gagal jadi anak yang baik. Maaf Alvrey salah, seharusnya Alvrey dengerin kata kakak." pemuda itu meluruhkan tubuhnya dibalik pintu kamarnya. Ia menenggelamkan kepalanya ditekukan lututnya.

Pemuda itu kembali terisak, menumpahkan semua yang ia rasakan dalam setiap isakan yang keluar dari bibirnya. Alvrey bahkan mengabaikan gedoran keras dari balik pintu kamarnya. Suara keras sang ayah terdengar seiring semakin keras gedoran dipintu kamarnya.

"ALVREY  BUKA PINTUNYA! SAYA TAK PERNAH MENGAJARKAN KAMU UNTUK BERSIKAP SEPERTI ORANG TAK BERETIKA ALVREY! BUKA PINTUNYA SEBELUM SAYA DOBRAK!" Legara berteriak didepan pintu kamar Alvrey. Alvrey yakin Arael dan Mars sudah pergi, itu sebabnya Legara berani berteriak-berteriak seperti ini.

Alvrey tak peduli, pemuda itu terus saja mengabaikan suara gedoran pintu dan teriakan sang ayah. Yang Alvrey inginkan sekarang hanyalah ketenangan, pemuda itu perlahan bangkit dari posisinya, merebahkan tubuhnya yang sudah lelah, Alvrey hanya berharap bahwa hari esok lebih baik lagi.

*************

Haiiiiii

Ketemu lagiiiii

Ada yang nunggu gak?

maaf kalau kecewa sama part ini

jangan lupa tinggalin jejak

-23 Januari

A L V R E YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang