BAB 17

3.5K 253 4
                                    

Kehilangan merupakan hal paling menyakitkan

-Someone

Alvrey menikmati baksonya dengan tenang, mengabaikan tatapan tajam dari kedua sahabatnya. Dande dan Lian kompak menghela napas, mereka telah diabaikan oleh Alvrey sedari tadi.

"Al. Lo beneran bisu? Punya mulut manfaatin buat ngomong Al, jangan jadi pajangan aja," ucap Lian kesal. Alvrey hanya meliriknya sekilas lalu melanjutkan aksi makannya.

"Gue udah dibolehin sekolah sama ayah, tanya aja kalau gak percaya. Lagian gue gapapa Lian," ucap Alvrey. Lian dan Dande memicing, benarkah Legara memberikan Alvrey sekolah? Mengapa semudah itu? Hubungan mereka baik-baik saja kan?

"Lo sama om Legara baik-baik aja kan?" tanya Dande pelan. Alvrey hanya mengangguk, lalu menatap heran kepada Dande. Yang ditatap menghela napas, lalu menggeleng.

"Lo gak paska om Legara kan?" Tanya Lian lagi. Lagi Alvrey menggeleng sebagai jawaban sebelum pemuda itu akhirnya membuka mulutnya untuk bertanya balik.

"Lo ngapain jadi kayak polisi gini sih? Gue gapapa, sekolah gak bakal bikin gue mati besok. Ayah juga ngijinin, kenapa kalian yang sewot sih?" ucap Alvrey kesal. Pemuda itu sudah muak dengan sikap semua orang yang tiba-tiba protektif kepadanya, bukan ia tak bersyukur, hanya saja ia risih dengan semua perhatian berlebihan itu kepadanya.

"Lo tanya kenapa gue sewot? Karena penyakit lo bukan penyakit biasa Al. Dan tadi lo bilang om Legara ngijinin? Lo yakin? Bukannya itu terpaksa karena lo yang maksa? Lo pikir gue gak tau, kalau lo yang maksa om Legara buat ngijinin lo sekolah. Lo sadar gak Al? Secara gak langsung lo udah buat om Legara dalam keadaan sulit Al. Itu semua karena keegoisan lo tau gak," ucap Lian dengan nada sedikit kesal.

Lian perlahan bangkit, meninggalkan Alvrey menatap sendu kepergiannya. Pemuda itu lalu menoleh kearah Dande yang sedari tadi hanya diam. 

"Udah gak usah dipikirin, dia cuman gak mau lo kenapa-napa."

Alvrey mengangguk atas ucapan Dande dalam hati ia juga berharap apa yang Dande katakan benar. Dan untuk ucapan Lian tadi, Alvrey rasa itu benar, ia terlalu egois dan membuat sang ayah menjadi kesusahan kembali.

************

"Al kenapa diam aja? Ada yang sakit?" Alvrey menoleh pada sang ayah yang tengah menatapnya khawatir. Alvrey menggeleng membuat Legara semakin tak  tenang. Karena kata Regan dari saat Alvrey pulang pemuda itu lebih banyak diam. Dan sampai setelah makan malam tadi, pemuda ini masih saja diam.

"Kamu ada masalah? Cerita sama ayah," Legara kembali berucap, berusaha memancing Alvrey untuk berbicara. Alvrey menoleh, namun mata pemuda itu berkaca-kaca seperti ingin menangis.

"Yah maaf, Alvrey pasti buat ayah susah kan? Alvrey buat ayah bingung kan? Alvrey egois yah, harusnya Alvrey mikirin perasaan ayah juga. Alvrey harus nya gak egois, maaf yah." Tangis Alvrey hampir saja pecah.

"Kenapa hm?" tanya Legara dengan lembut. Alvrey menggeleng, lalu membawa dirinya dalam dekapan sang ayah.

"Alvrey pasti buat ayah bimbang kan? Alvrey selalu maksa ayah buat ngijinin Alvrey sekolah. Padahal larangan ayah juga untuk kebaikan Alvrey." Pemuda dalam dekapan Legara kembali berucap membuat Legara yang mendengar itu tersenyum tipis.

"Alvrey gak salah, ayah ngijinin Alvrey sekolah bukan karena paksaan Alvrey, tapi karena ayah pikir  ini yang terbaik. Seperti kata Alvrey, ayah gak mau kamu tertekan. Jadi kamu jangan pernah punya pikiran kamu egois Al. Memang keputusan ini sulit, tapi itu sebabnya ayah protektif sama kamu," ucap Legara. Dapat ia rasakan pemuda dalam pelukannya mengangguk.

"Semoga keputusan ini tepat. Lana bantu aku jaga anak kita dari sana."

***********

Gelap memenuhi kamar Alvrey. Hanya ringisan pelan yang dapat didengar dari sang pemilik kamar. Jam menunjukkan pukul 00.29, semua penghuni dalam rumah itu sudah terlelap. Tinggal Alvrey seorang yang masih terjaga karena sakit yang menyerang kepalanya.

"Sakit banget," lirihnya sembari menjambak pelan rambutnya. Pemuda itu akhirnya turun, mencoba berjalan dengan berpengangan pada apapun untuk menuju meja belajarnya. Ia harus meminum butiran kecil penunjang hidupnya itu.

Setelah mendapatnya Alvrey mengambil beberapa butir dan meneguknya dengan bantuan air yang tadi sempat ia ambil sebelum naik. Sesekali pemuda itu kembali meringis saat sakit di kepalanya belum juga berkurang.

Perlahan Alvrey membawa langkahnya kembali menuju tempat tidurnya. Pemuda itu berniat berbaring, berharap itu akan mengurangi rasa sakitnya. Sesekali tubuh lemah itu oleng, namun Alvrey berhasil memertahankan keseimbangannya.

"Shh," ringisan itu kembali terdengar saat Alvrey telah berhasil membuat dirinya berbaring ditempat tidur. "Nyusahin banget sih ni penyakit," gumamnya pelan. Alvrey memejamkan matanya, dalam hati ia berpikir. Apakah sesakit ini yang dirasakan sang bunda dulu?

"Semoga besok mata ini masih bisa terbuka."

**********

Mars termenung, pemuda ini sedang berada disekolahnya sekarang. Wajah pucat Alvrey menjadi hal yang menanggu pikirannya hari ini, walaupun tadi Alvrey mengatakan bahwa ia baik-baik saja namun Mars ta percaya akan hal itu.

Mars rasa sekarang ia bernar-benar menyayangi sosok Alvrey. Walau dulu ia akui, ia bersikap peduli hanya karena rasa simpati, namun seiring berjalan waktu, semakin banyak ia menghabiskan waktu untuk menjaga Alvrey dirumah sakit. Rasa sayang tumbuh, mengingat bagaimana dulu Alvrey juga sama sepertinya. Sosok itu sempat kehilangan seorang kakak.

"Mars, kenapa?" Suara lembut seseorang membuat lamunannya terhenti. Pemuda itu menoleh, melihat seorang gadis cantik yang kini tengah tersenyum manis kearahnya. Mars menggeleng sebagai jawaban, tangannya bergerak menepuk tempat kosong disebelahnya.

"Sini, duduk sama gue," ucap Mars pada gadis itu. Gadis itu hanya menurut lalau memandang heran kearah Mars yang membuat Mars tertawa gemas melihatnya. Gadis itu memasang wajah kesal melihat Mars tertawa.

"Ih, kamu aku tanya malah gak jawab," ucap Linia. Gadis yang beberapa bulan ini berhasil mendapatkan hati seorang Mars. Ingatkah kalian saat Regan mengatakan Mars putus dari pacarnya? Sebernarnya bukan putus, bagaimana mau putus jika mereka bahkan tak mempunyai hubungan spesial. Memang Mars menyukai gadis ini, namun Linia benar-benar memiliki kepekaan dibawah standar.

"Jangan kayak gitu, bibirnya panjang banget kayak bebek tau gak," ucap Mars kembali tertawa. Linia sontak mendelik, wajahnya memerah karena malu. Gadis itu akhirnya memukul pelan bahu Mars yang masih saja tertawa.

Kedua insan itu tak menyadari, ada sepasang mata yang menatap tak suka dibalik tembok. Mata itu memancarkan amarah, seperti seorang singa yang tengah mengintai musuh yang berani datang ke daerahnya.

*********

Bruk

"Eh maaf, gue gak sengaja," Avrey berucap kaget saat mendapati dirinya tak sengaja menabarak seseorang. Ralat, bukan dirinya yang menabrak namun pemuda itulah yang menabraknya. 

"Lo ngapain minta maaf, dia yang salah," ucap Lian pada Alvrey. Ya, kedua pemuda itu telah berbaikan. Alvrey menatap Lian dengan tangan yang terletak di bibirnya, mengisyaratkan Lian untuk diam.

"Lo punya mata dipakek dong. Percuma tu mata, donorin aja," ucap pemuda yang ditabrak Alvrey lalu melanjutkan langkahnya masih dengan tangan yang setia memegang handphone.

"Dasar aneh."

************

haiiii

ketemu lagi dengan Alvrey

pada kangen gak?

oh ya jangan lupa tinggalin saran kalian

dan ingat jejaknya 

- 2 Maret

A L V R E YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang