BAB 12

4.4K 333 4
                                    

Malam ini langit sangat indah, bintang-bintang bertaburan menghiasi langit dengan bulan sabit ditengahnya. Namun itu berbanding terbalik dengan apa yang Regan rasakan saat ini, pemuda itu kini merasakan kesedihan.

Sudah lama Regan menutup hatinya, sudah lama ia menolak untuk peduli. Sudah lama ia dikuasai oleh egonya, dan hatinya sudah lama mengalah. Namun kini disaat egonya mau mengalah sedikit demi sedikit, fakta menyakitkan kembali ia terima.

Berulang kali Regan diperingatkan oleh sang kekasih, berulang kali hatinya menyuruh untuk peduli, namun ego selalu menang. Berulang kali hatinya mengatakan Alvrey adalah adiknya, berulang kali sang kekasih mengingatkannya bahwa Alvrey butuh seorang kakak. Namun Regan menolak peduli, ia selalu kalah melawan egonya yang mengatakan bahwa Alvrey adalah penyebab sang bunda meninggal.

Leukemia, penyakit yang sama yang telah merenggut nyawa sang bunda. Kini Alvrey, sang adik divonis yang sama. Dunia Regan seakan hancur tatkala kata itu keluar dari mulut Legara. Masih ingatkah kalian bahwa Regan pernah bertanya pada Alvrey, kenapa tidak Alvrey saja yang memiliki penyakit itu? Sungguh Regan tak bersungguh-sungguh dengan itu.

"Lo gak bisa gini terus Re, sampai kapan lo bakal kekanak-kanakan kayak gini? Gimanapun juga Alvrey adik lo, dia butuh lo. Gimana kalau seumpama Alvrey beneran pergi, gimana kalau suatu saat lo bener-bener gak bisa liat adik lo lagi? Lo sanggup?"

Perkataan Raxena kembali terngiang dikepalanya, pada saat itu ia juga bertanya dengan dirinya. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Dan sekarang Regan mendapat jawabannya, mungkin ia akan hancur. Lebih hancur dari sekarang. Karena nyatanya dari dulu, ialah yang paling dekat dengan Alvrey.

"Re." Regan menoleh mendegar seseorang memanggil namanya. Disana ada sang kekasih yang tengah berusaha mengatur napasnya. Pemuda itu sengaja menelepon Raxena, menceritakan semuanya. Dan saat telepon terputus, Raxena segera menemui Regan.

"Na, gue takut. Gue gak mau kehilangan dia Na, gue tarik kata-kata gue. Gue gak ingin Alvrey pergi, gue takut Na," Regan lagsung berlari dan memeluk Raxena, sembari mengatakan hal yang ia pendam.

"Re, lo gak boleh gini. Lo harus percaya, Alvrey pasti sembuh, lo gak boleh kelihatan hancur didepan Alvrey. Lo harus jadi penyemangat buat dia, dia pasti lagi down banget. Gimana caranya Alvrey berjuang, jika ia tak memiliki seseorang sebagai penyemangatnya?"

Regan menangguk dalam pelukan Raxena, pemuda itu sudah bertekad. Benar apa yang kekasihnya ucapkan, ia tak boleh lemah. Ia harus menjadi penyemangat untuk Alvrey agar adiknya itu mau berjuang.

**********

Tak pernah terpikirkan oleh Alvrey hal ini akan terjadi padanya. Vonis dokter saat itu seakan membuat ia hancur. Pemuda itu merenung, memandangi tangannya yang kini memakai infus. Semalam sang ayah datang dengan keadaan kacau padanya, ia selalu berharap sang ayah peduli dengannya, namun jika seperti ini apa ia masih menginginkan hal itu?

Alvrey bertanya-tanya pada dirinya sendiri, jika vonis dokter saat itu mengatakan ia baik-baik saja, apa sang ayah akan peduli? Apa sang ayah akan bersikap lembut seperti tadi atau malah bersikap acuh seperti biasanya.

Alvrey merasa sang ayah bukan peduli, sang ayah tak sayang namun hanya kasihan. Semua merasa kasihan padanya, termasuk Mars. Karena semalam pemuda itu meminta maaf padanya, mengatakan bahwa ia akan menjaganya dan menjadi seorang kakak yang baik untuknya.

"Al," Alvrey sedikit kaget mendengar panggilan itu. Ia menoleh kesamping mendapati sang kakak yang menatapnya lembut. Kembali Alvrey berpikir, apa kakaknya juga kasihan? Kemarin ia bahkan tak menemukan pemuda itu disini, lalu kenapa ia sekarang ada disini? Apa ini hanya sandiwara karena sang kakak merasa kasihan.

"Ngelamunin apa hm? Sampai gue dateng aja lo gak sadar," Regan bertanya pada Alvrey dengan senyuman manis dibibirnya dan juga tatapan lembut.

"Lo kasihan sama gue kak? Kalau iya gue gak butuh dikasihanin kak." Ucapan Alvrey membuat Regan mengerutkan keningnya, apa yang Alvrey maksud kan? Baru saja Regan ingin membuka mulut untuk bertanya, Alvrey kembali membuatnya terdiam.

"Ini hukuman buat gue kak, hukuman karna gue udah buat bunda pergi. Jadi lo gak usah pura-pura gini, gue tau lo risih. Gak perlu kasihan sama gue, gue pantas nerima ini. Jadi kembali aja kayak lo dulu kak, kembali jadi Kak Regan yang gak peduli apapun tentang gue, biar gue yang berusaha buat lo peduli sama gue. Jangan gini." Alvrey berucap dengan air mata yang mengalir kepipinya.

Regan ikut menitikkan air matanya. Pemuda itu menggeleng, ia tak menyangka dengan apa yang Alvrey pikirkan. Segitu tak pedulikah ia dulu? Sehingga bahkan sekarang Alvrey menganggap bahwa ia hanya kasihan.

Pelan tapi pasti, Regan membawa tubuh sang adik yang terisak dalam dekapannya. Mencoba menenangkan sang adik yang tengah rapuh dan mencoba meyakinkah bahwa ia tulus, perhatiannya tulus bukan karna rasa kasihan.

"Jangan ngomong gitu dek, gue tau gue salah. Maaf, gue bodoh banget, gak seharusnya gue nyalahin lo, bunda pergi karena takdir bukan karna lo. Jangan nolak gue gini Al, biarin gue perbaiki semuanya. Maaf dek, gue mohon."

Alvrey tak menjawab, dia hanya diam. Membiarkan dirinya dipeluk oleh sang kakak. Karena jujur, Alvrey sulit percaya, bagaimana bisa seseorang yang bahkan tak pernah peduli akan berubah dalam satu hari? Apa ada alasan lain kecuali kasihan?

Malam itu kedua pemuda yang berstatus sebagai kakak dan adik itu menumpahkan segalanya. Regan dengan penyesalannya dan Alvrey dengan kerapuhannya.

***********

Legara tak bisa berpikiran jernih, fakta yang menimpa sang anak membuatnya tak bisa fokus dengan semua pekerjaannya. Segala ucapan yang pernah ia lontarkan pada sang anak menjadi boomerang sendiri untuknya.

"Ini salah Alvrey yah."

"Maaf Alvrey gak pernah buat bangga, Alvrey selalu nyusahin."

"Tapi Alvrey bakal berjuang buat banggain ayah."

Ucapan Alvrey semalam tak bisa hilang dari pikirannya, bagaimana anak itu meminta maaf karena membuatnya susah, bagaimana anak itu meminta maaf karena tak pernah membuatnya bangga. Nyatanya semua kata-kata itu ialah yang pertama kali melontarkannya pada sang anak.

"Maafin ayah Al." Tak bisa menahan rasa bersalahnya, Legara menyambar jasnya dan langsung bergegas menuju rumah sakit. Ia harus menemui Alvrey dan membuat anak itu mau berjuang untuknya dan semua orang yang menyayanginya.


*****************

haiiiiii

ketemu lagi

jangan lupa tinggalin jejak

dan aku pengen tau pendapat kalian tentang cerita ini. Tolong komen kalau ada yang salah

terimakasih

-9 Februari

A L V R E YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang