"Semua hal yang terjadi pasti karena suatu alasan."
-someone
Alvrey pernah bertanya pada sang bunda dulu. Kenapa Alvrey tak sepintar sang kakak, dan dengan senyum diwajahnya sang bunda menjawab dengan suara halus.
"Karena Alvrey pandai gambar, sama seperti bunda."
Memang benar, bakat nya diturunkan oleh sang bunda. Sejak kecil anak itu sudah gemar bermain dengan kertas putih serta pensil warna-warni. Goresan yang dulu masih begitu kaku menjadi sangat lincah seiring dengan berjalannya waktu.
Namun sudah lama, Alvrey tak pernah lagi memegang alat lukis. Setidaknya tidak didepan sang ayah. Pemuda itu terlalu takut Legara akan mengatakan bahwa semua hal itu tidak berguna. Sedangkan bagi Alvrey itulah satu-satunya hal berguna yang bisa dia lakukan.
"Alat itu tak akan membuat kau menjadi pintar Alvrey. Menurutlah atau ayah akan buang semua alat lukis itu."
Ancaman yang pernah Legara lontarkan kembali terngiang. Saat Alvrey menginjak kelas dua SMP Legara melarang keras dirinya untuk melukis. Mengatakan bahwa dia akan membuang semua alat kesayangannya itu. Dan akhirnya Alvrey menurut, dia tak ingin semua kenangan dirinya bersama sang bunda hancur ditangan sang ayah.
Terbesit ide untuk bertanya pada sang ayah, apaka ia boleh melukis kembali? Apakah ia boleh menjalankan hal kesukaannya itu sekali lagi? Terlalu takut untuk bertanya, dan Alvrey takut realita yang akan ia terima tak sesuai dengan ekspektasi nya. Namun bukankah hukumnya memang seperti itu?
Memantapkan hati dengan membuang semua ekspektasi indahnya, hari ini Alvrey memberanikan diri untuk bertanya pada sang ayah. Sempat juga terbesit rasa ragu dalam dirinya, namun Alvrey rasa sudah cukup untuk menjadi seorang pecundang.
"Al, ayah manggil lo." Seakan tahu apa yang akan ia lakukan, sang ayah lebih dahulu memanggilnya melalui Regan. Pemuda itu memasuki kamarnya dengan minuman kaleng pada tangannya.
Alvrey bangkit dari duduknya, mengikuti sang kakak untuk bertemu sang ayah. Dalam hati ia merutuki diri yang kembali merasakan ragu.
Hal pertama yang ia lihat setelah sampai diruang tamu adalah sang ayah dengan wajah seriusnya. Dalam benaknya Alvrey bertanya ada apa. Dan rasa takut kembali menyeruak ke permukaan saat ayah menyuruhnya untuk memasuki kamarnya.
***********
Alvrey memejam, perkataan sang ayah tentang pengobatan yang harus ia jalani selalu terlintas dalam benaknya. Sungguh ingin rasanya Alvrey menolak, membiarkan rasa sakit ini menghancurkan tubuhnya dan membuatnya lelah.
"Alvrey mau apa? Alat lukis? Akan ayah berikan asal kamu menerima nak."
Memang itu yang Alvrey inginkan bukan? Ayahnya menyetujui bahwa ia kembali bermain dengan kanvas putih dan cat warna-warni itu. Namun entah mengapa Alvrey merasa ini salah, Alvrey merasa ia tak bisa menerimanya.
Wajah lelah sang ayah dan keluarganya ikut menjadi alasan pemuda itu menolak. Dia masih ingat bagaimana wajah lelah ayahnya saat dirinya baru saja divonis. Tak pernah sedetikpun pria paruh baya itu membawa langkahnya pergi dari ruang rawat Alvrey jika bukan karena paksaan.
"Al." Panggilan lirih itu mengalihkan atensinya. Mars dan Regan berjalan kearahnya tanpa disuruh. Yang satunya mendudukkan diri di sampingnya dan yang satunya berjalan menuju meja belajarnya.
"Gue gak bisa kak, jangan paksa. Gue masih perlu berpikir." Seakan tau tujuan dari kedatangan Mars dan Regan, Alvrey berucap sebelum membiarkan Regan membuka mulutnya. Helaan napas terdengar, namun bukan dari pemuda disampingnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L V R E Y
Teen FictionAlvrey adalah Alvrey Ia tak bisa menjadi orang lain Dan orang lain tak akan bisa menjadi dirinya Ini cerita pertama ku. Jadi tolong maklumi jika banyak kesalahan dan juga adegan yang mungkin sedikit tak masuk akal atau sangat tak masuk akal. Cerita...