BAB 20

3.8K 276 2
                                    

"Tiap tetes air dari langit adalah hal yang paling gue suka setelah melukis"

-Alvrey

Alunan musik terdengar, lampu kelap-kelip menunjukkan bagaimana kegiatan didalmnya. Dua pemuda duduk bersebelahan. Satu dengan rokok ditangannya, satu lagi menggoda pemuda berpakaian seksi dihadapannya.

"Alvrey Narendraaksa," ucap salah satu pria sembari menghembuskan asap rokoknya membuat pria yang lebih pendek menoleh. Tatapan bingung Antanio lontarkan pada pemuda dihadapannya. Pemuda yang merupakan sepupunya itu tersenyum miring.

"Lo kenal Alvrey?" tanya Antanio. Arsyan, sang kakak sepupu menggeleng. Namun sedetik kemudian dia menoleh kearah Antanio yang masih menatapnya bingung.

"Tapi gue kenal Mars. Kita punya tujuan yang sama pada orang yang berbeda. Lo dengan Alvrey dan gue dengan Mars," ucap Arsyan yang sekali lagi membuat Antanio mengerutkan keningnya. Bagaimana Arsyan tau? Dia yakin tak pernah menceritakan masalah ini.

"Lo gak usah bingung. Gue bisa liat melalui tatapan lo dulu saat kelulusan. Lo benci kan karena dia lebih segalanya dari lo. Bahkan orangtua lo mengakui. Sama seperti gue, Mars selalu merebut apa yang gue punya, jadi bukankah kita sama," ucap Arsyan. Arsyan masih ingat tatapan benci Antanio. Dia bersyukur saat itu ia menyetujui sang ayah yang mengajaknya pergi ke kelulusan adik sepupunya ini.

"Langsung ke intinya," ucap Antanio geram. Ia tak suka jika ada orang yang berbicara terbelit-belit. Arsyan semakin melebarkan senyumnya. Pemuda itu mendekatkan wajahnya kearah Antanio yang membuatnya langsung memundurkan wajahnya.

"Hancurin Alvrey."

*********

Jam sudah menunjukkan pukul 08.00, namun matahari belum juga keluar menunjukkan sinarnya. Awan tebal berwarna gelap yang memenuhi langit sabtu ini, tak ada langit biru cerah dengan awan putih yang menghiasi lagit untuk membuatnya indah. 

Regan menggerutu kesal, pasalnya awan gelap ini adalah sebuah pertanda jika rintik hujan akan segera turun dari lagit. Regan tak suka dengan hujan, begitu pula dengan Mars. Untuk mereka berdua hujan adalah penghalang beraktivitas. Berbeda dengan Alvrey yang bahkan mencintai setiap tetes air yang jatuh membasahi tanah itu.

"Kenapa hujannya gak turun-turun sih," ucap Alvrey kesal. Pemuda itu kini tengah duduk di sofa diapit oleh kedua kakaknya dengan sebuah buku sketsa ditangannya. Saat melihat awan gelap memenuhi langit, Alvrey menjadi bersemangat. Ia berencana untuk melukis bagaimana air hujan itu membasahi halaman rumahnya.

"Jangan gitu Al. Gue gak jadi pergi kalau hujan," ucap Mars kesal. Ya, pemuda itu memang berencana pergi untuk membeli sesuatu keluar. Namun lagi-lagi awan hitam itu mengacaukan semuanya. Apalagi jika rintik airnya mulai turun.

"Hujan itu indah kak. Jangan benci, lagian kalau lo gagal pergi gue jadi ada temen." Regan menoleh kearah Alvrey setelah kalimat itu selesai terlontarkan. Tatapan akan kekaguman memenuhi mata Regan. Bukan karena ucapan Alvrey, namun karena sketsa gambar yang Alvrey letakkan diatas meja setelah kalimat itu terlontar.

Sebuah pohon besar dengan tiga anak yang duduk dibawah pohon itu. Memandangi rintik hujan yang turun dengan senyum indah di wajah masing-masing anak. Setidaknya itulah gambaran besar dari sketsa Alvrey tadi.

"Lukisan lo selalu bagus Al. Dan selalu ada sebuah makna dalam setiap goresan yang lo buat," ucap Regan membuat Mars juga ikut menoleh ke arah buku sketsa Alvrey. Mars ikut tersenyum, apa yang Regan katakan benar adanya. Alvrey sangat berbakat dalam hal ini.

A L V R E YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang