BAB 14

4K 278 0
                                    

Sinar matahari senja sangat cerah, secerah senyum Alvrey sore ini. Setelah semalam merengek meminta pulang akhirnya sang ayah luluh juga, dengan catatan bahwa ia harus banyak istirahat dan makanannya harus dijaga ketat. Walaupun Alvrey tak yakin ia akan tahan dengan semua itu, setidaknya ia akan pulang.

"Ingat ya Al, jangan terlalu capek. Sampai rumah langsung istirahat, nanti jam makan malam biar ayah yang bawa kekamar kamu." Alvrey mendengus, sudah lebih dari tiga kali Legara mengingatkannya akan hal ini.

"Iya yah Alvrey tau, lagian ayah gak usah sibuk Alvrey turun sendiri nanti gak enak tau yah makan sendiri," ucap Alvrey kesal sembari terus melangkahkan kakinya menjauhi Legara yang tersenyum melihat kelakuan  Alvrey.

Setelah sampai dirumahnya, Alvrey dibuat heran dengan dua pemuda yang tampak tak asing baginya. Lian dan Dande, apa yang mereka lakukan disini? Dan siapa yang memberi tau mereka? Regan? Tak mungkin rasanya.

"Eh, ngapain lo berdua kesini?" ucap Alvrey seraya menghampiri kedua sahabatnya. Dande dan Lian sontak menoleh menatap tajam kearah Alvrey. Yang ditatap mengerutkan kening. Ada apa dengan mereka? Pikirnya.

"Kita mau ngomong Al," ucapan datar itu membuat Alvrey sedikit merinding. Pemuda itu menangguk lalu mulai berjalan menuju kamarnya. Tak perlu diperintahkan, kedua pemuda yang berstatus sebagai sahabatnya segera mengikuti.

"Kenapa?" Tanpa basa-basi Alvrey langsung bertanya kepada kedua pemuda yang tadi mengikutinya, namun bukan jawaban yang ia dapat melainkan terjangan dari kedua sahabatnya. Ya, mereka memeluknya.

"Lo kenapa gak bilang kalau sakit bego. Bikin orang khawatir aja. Gegayaan gak jawab chat lo," ucap Lian masih dengan posisi berpelukan. Alvrey memberontak, mencoba melepaskan diri dari pelukan kedua sahabatnya.

"Lepas gila. Gue gak bisa napas," ucap Alvrey susah payah. Spontan saja kedua pemuda yang tadi memeluknya langsung melepas pelukan mereka. Alvrey menatap tajam kedua sahabatnya sambil berusaha mengatur napasnya yang sedikit sesak. Sedangkan yang ditatap hanya menunjukkan gigi mereka.

"Malah nyengir lo dua, kayak monyet aja," ucap Alvrey dengan kesal. Kedua pemuda itu sontak berhenti menutup mulut mereka. 

"Anjing lo Al," ucap mereka kompak.

Alvrey mendengus, baru saja ia akan menjawab perkataan Lian dan Dande, ketukan dipintu kamarnya membuatnya mengurungkan niat awalnya. "Al, turun makan dulu nak " suara sang ayah terdengar dari luar.

"Iya yah," ucap Alvrey lalu mengisyaratkan kedua sahabatnya untuk ikut turun. Kedua pemuda itu lagi-lagi hanya diam sambil mengikuti dibelakang Alvrey.

Makan malam berjalan dengan lancar, Alvrey tersenyum senang. Suasana seperti inilah yang ia impikan, walau dalam mimpinya sosok wanita yang bersamanya sang bunda. Tapi tak apa, bukankah Arael juga bundanya?

"Jangan lupa minum obat Al," ucap sang ayah saat melihat putra bungsunya telah selesai makan. Alvrey hanya mengangguk. Sepertinya pemuda itu tak sadar bahwa kedua sahabatnya menatapnya dengan penuh tanda tanya.

*************

"Gila Al. Lo sama ayah lo udah baikan gitu? Kakak lo juga kayaknya tadi udah mulai berubah. Gimana ceritanya?" Dande bertanya dengan heboh saat mereka kembali kekamar Alvrey. Alvrey hanya mengedikkan bahunya tanda ia juga tak tau. Pemuda itu kemudian menyambar handphone dan mendudukkan dirinya diujung tempat tidur.

Dande berdecak kesal lalu ikut mendudukkan dirinya disamping Alvrey. "Gue serius Al. Kok bisa tiba-tiba gini sih," tanya Dande sekali lagi. Dan bukan jawaban yang diinginkan oleh Dande, yang Alvrey berikan. 

"Gue juga gak tau Dandelion."

"Lo sakit apa?" pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Lian yang ikut memdudukkan diri diamping Alvrey. Alvrey menggeleng, membuat Lian berdecak kesal.

"Lo punya mulut Al, kalau orang tanya jawab. Jangan kayak orang bisu," ucap Lian tajam. Alvrey menghembuskan napas panjang. Sangat malas rasanya membahas hal ini kembali, sangat malas untuk membahas hal yang menurutnya tak berguna.

"Kecapekan," ucapnya singkat.

"Lo pikir gue bodoh? Udah berapa tahun sih kita sahabatan? Lo lupa, kalau sebelumnya lo pingsan siapa yang jaga lo? Ayah lo? atau kakak lo? Gak satupun dari mereka Al. Dan sekarang tiba-tiba aja ayah lo jadi peduli. Tiba-tiba om Legara ngingatin lo buat minum obat. Kemana dia sebelumnya? Bukannya dia gak peduli? Jadi mendingan jawab Al. Lo kenapa?" Ucap Lian panjang lebar sembari menatap tepat pada mata Alvrey.

Alvrey menghembuskan napas kesal. Kenapa Lian begitu teliti dan kenapa pemuda itu mengingat detail penting keluarganya. Kesal karena tak kunjung mendapat jawaban, Lian menepuk pelan pundak Alvrey.

Alvrey menoleh kearah pemuda yang tadi menepuk pundaknya. Pemuda itu kemudian mengetikkan sesuatu di handphonenya dan melempar benda elektronik itu kearah Lian lalu membaringkan tubuhnya. Lian dengan sigap menangkap handphone itu.

Sebuah artikel yang dicari oleh Alvrey tadi membuat Lian heran. Untuk apa pemuda itu mencari artikel tentang hal ini? Lian menoleh pada Alvrey dengan tatapan memicing. Dande yang tak tau apa yang terjadi segera merebut handphone Alvrey dari tangan Lian.

"Gue nanya lo kenapa Al. Kenapa malah nyeri artikel penyakit ini? Lo pikir gue mau jadi dokter gitu?" ucap Lian kesal. Sepertinya pemuda itu belum mengerti maksud Alvrey mencari artikel mengenai hal itu.

"Al, jawab gue kalau ini gak terjadi ke lo," lirih Dande yang akhirnya mengerti mengapa Alvrey mencari artikel itu. Yang ditanya hanya tersenyum kecil, sedangkan Lian memicing kearah Dande mencoba mengerti apa yang pemuda itu katakan.

"Lo nanya gue kenapa kan? Ya, itu jawaban gue," ucap Alvrey santai. 

Kedua pemuda yang berada dikamarnya mematung mendengar ucapannya. "Gak usah khawatir, gue gapapa. Dan jangan natap gue kayak natap orang sekarat." Lanjutnya lagi tanpa menoleh kearah kedua sahabatnya.

"Jangan bercanda bangsat!" Lian menarik Alvrey dari posisinya, memaksa pemuda itu untuk menatap kearahnya. Dia benar-benar bingung sekarang, perasaannya tak dapat dideskripsikan.

"Gue gak bakal bercanda tentang hal gini Yan. Dan ya, gue memang sekarat, tapi jangan natap gue seolah gue bakal mati besok."

Bugh

Satu pukulan Lian layangkan pada Alvrey. Ia membenci ucapan Alvrey barusan, ia membenci ucapan Alvrey yang seolah pasrah akan hidupnya.

"Jangan nyerah gitu aja bangsat. Masih banyak orang yang mungkin dapat takdir lebih buruk dari lo, tapi mereka tetap semangat. Jangan pesimis Al," ucap Lian sembari menarik kerah baju sahabatnya.

"Jangan nyerah tanpa berjuang Al. Kalau lo berani ngelakuin itu, gue yang bakal bunuh lo pertama kali," ucap Dande yang sedari tadi hanya diam memerhatikan Lian dan Alvrey. Air mata pemuda itu mengalir. Perlahan ia mendekatkan dirinya kearah kedua sahabatnya. Dengan gerakan cepat, pemuda itu memeluk mereka.

"Jangan nyerah Al, gue mohon," kali ini Lian berucap dengan lirih. Air mata pemuda itu ikut mengalir. Kesedihan memenuhi hati mereka saat ini. 

Malam itu, dalam indahnya malam dengan ribuan bintang yang bersinar terang. Ketiga pemuda itu menangis. Mencurahkan bahwa mereka takut kehilangan satu pemuda yang mereka anggap sebagai sosok saudara. Dan malam itu juga Alvrey sadar, bahwa kedua sosok pemuda yang mendekapnya ini benar-benar menganggapnya seorang sahabat. Menganggapnya salah satu sosok terpenting dalam hidup mereka. Dan malam itu Alvrey berjanji, ia akan berjuang. Demi sosok sang ayah, demi kedua kakaknya, demi Arael dan demi kedua sahabatnya. Walau pun ia merindukan sang bunda, ia tetap akan berjuang terlebih dahulu. Sampai akhirnya ia lelah dan memilih untuk benar-benar menyerah. 

****************

haiiiiii

jangan lupa tinggalin jejak

-16 Februari

A L V R E YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang