BAB 11

4.1K 315 0
                                    

Regan termenung di balkon kamarnya, permintaan Mars tadi selalu mengganggu pikirannya. Pemuda itu memintanya untuk memanggil Arael 'bunda' namun entah mengapa ada rasa tak rela dalam hatinya. Ditambah ia sudah janji pada Mars untuk menepati satu keinginannya jika anak itu berhasil mendapat nilai sempurna.

"Bunda, Regan harus apa? Regan gak mau panggil orang lain bunda, tapi Regan udah janji bunda. Bohong jika Regan gak merasa bahwa hati Regan menghangat setelah tante Arael bersikap layaknya bunda, tapi Regan belum bisa. Jadi apa yang harus Regan lakuin bunda?"

Regan berucap sambil menatap hamparan Bintang yang menghiasi langit. Hujan telah reda beberapa saat yang lalu, digantikan dengan ribuan benda langit dengan sinar indahnya. Dulu sang bunda pernah berkata, jika ia rindu, ia hanya perlu mengadu pada langit.

Getaran dari saku celananya membuat Regan mengalihkan pandangannya dari langit. Pemuda itu mengambil ponselnya guna melihat siapa orang yang meneponnya. 'Raxena' itulah nama yang tertera. Pemuda itu menghela napas sebelum akhirnya memilih untuk menerima panggilan itu.

"Halo Re."

"Kenapa Na? Tumben lo nelpon gue malem-malem gini, kangen lo sama gue?" Regan membalas sapaan Raxena dengan menggoda kekasihnya itu. Bisa ia dengar seseorang menghela napas dari seberang telepon.

"Kangen mata lo, gue mau tanya keadaan Mars. Dia gak papa kan?" Ucap Raxena diseberang sana, memang tadi Regan sempat mengabari Raxena bahwa ia tak bisa menjemput kekasihnya itu karena keadaan Mars.

"Oh gue pikir kangen. Dia gapapa, cuman luka ringan aja."

"Re, kalau semisal yang ada diposisi itu Alvrey, lo bakal ngelakuin hal yang sama atau enggak?" Tanya Raxena lagi, karena memang tadi Regan terdengar sangat panik saat meneleponnya. Sedangkan Regan hanya menghela napas, lalu menutup begitu saja teleponnya. Sungguh ia sangat membenci pembicaraan tentang Regan.

Sedangkan disisi lain Raxena mengehela napas atas kelakuan sang kekasih. Gadis itu mengetikkan sesuatu dikolom chat miliknya dan sang kekasih.

"Gue cuman gak mau lo kayak gue Re."

*************

Hari cuaca sangat cerah, namun Mars merasa bosan sebab sang bunda tak menijinkannya sekolah, padahal ia baik-baik saja. Rumahnya juga sedang sepi karena sang bunda pergi bersama sang ayah untuk menemui ibu sang ayah yang tengah sakit.

Pemuda itu menghela napas untuk kesekian kalinya, ia sudah mencoba untuk tidur guna menghalau rasa bosannya namun tak bisa. "Bunda mana sih, lama banget," gumamnya.

Senyumnya mengembang tatkala mendengar suara pintu terbuka, pemuda itu menoleh berharap setidaknya Regan lah yang datang. Namun senyum itu akhirnya luntur saat mendapati pemuda yang datang bukan Regan namun Alvrey.

Kerutan muncul didahi Mars saat melihat Alvrey berjalan tergesa-gesa seraya menutupi hidungnya. Muncul rasa penasaran yang besar dalam dirinya, namun ia mencoba untuk menghapus rasa penasaran itu.

Bruk

Suara yang begitu keras itu kembali membuat Mars yang sebelumnya sudah mengalihkan pandangan menoleh kearah suara. Bola matanya membola, Alvrey sudah tergeletak disana. Dengan sedikit panik Mars mendekati adik tirinya itu.

Mars semakin panik saat melihat darah mengalir dari hidung Alvrey. "Bi Rana, Pak Hasan," dengan sedikit berteriak Mars memanggil kedua orang yang berstatus sebagai suami istri itu untuk membantunya.

"Tolong saya angkat Alvrey," ucap Mars dengan panik. 

Pak Hasan mengangguk lalu membatu Mars untuk memapah Alvrey menuju mobil. "Biar saya saja yang menyetir den." Mars hanya mengangguk atas tawaran pak Hasan.

Mars masih mencoba fokus, mencoba membersihkan sisa darah pada hidung Alvrey. "Lo kenapa?" tanya pemuda itu pelan, entah kepada siapa.

*************

"Al, kenapa bengong," Alvrey hanya menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Mars. Pemuda itu telah sadar limabelas menit yang lalu, namun percakapan antara Mars dan sang dokter terus saja menganggu saja pikirannya.

Sedangkan Mars hanya menghela napas, didalam hati mengumpati Regan yang tak kunjung datang. Baru saja memikirkan hal itu, pintu kamar rawat Alvrey terbuka, menampilkan Regan dengan wajah sedikit panik. Mars telah memberitahu Regan tentang semuanya, termasuk tentang apa yang dokter katakan tadi bahwa Alvrey harus mengikuti beberapa tes untuk memastikan apa yang terjadi padanya.

Entah kenapa perasaan Regan tak enak, itu sebabnya setelah kelar kelas tadi pemuda itu langsung saja menuju kerumah sakit. "Al, lo gapapa kan?" tanya Regan pada sang adik, lagi Alvrey hanya menggeleng.

Regan hanya terdiam, tak berniat mengaja Alvrey berbicara lagi. "Mars, lo udah telepon ayah?" tanya Regan kali ini pada Mars. Mars menepuk jidatnya pelan, pemuda itu menyadari kesalahannya, kenapa ia bisa lupa.

"Gue lupa, gue hubungin ayah sekarang," ucap Mars lalu hendak keluar dari ruangan itu sebelum suara Regan kembali membuatnya menghentikan langkah. 

"Biar gue aja, lo istirahat aja. Lo juga baru sembuh."

Mars hanya mengangguk, lalu kembali mendudukkan dirinya disofa ruangan Alvrey. "Kak, makasih, lo pulang aja gue gapapa," suara Alvrey membuat Mars menghela napas lega. Akhirnya anak ini mau membuka mulut juga.

"Gak, gue bosen dirumah." Jawab Mars lalu ruangan kembali hening. Mars yang merasa kesal akan hal itu mendekati Alvrey.

"Al, lo bisa gak anggap bunda gue bunda lo? Gue gak mau terus-terusan liat bunda sedih. Dan jika lo berpikiran gue udah bisa nerima kalian, kalian salah. Dan untuk tadi, gue nolong lo hanya karena gue masih punya hati nurani," ucap Mars.

Alvrey menoleh kearah Mars,pemuda itu kemudian tersenyum miris. "Lo cuman gak bisa nerima gue kan? Kehadiran ayah dan kak Regan udah lo terima kan kak?" tanya pemuda itu dengan suara lirih.

"Maaf, gue selalu buat Tante Arael sedih, tapi sungguh masih sulit rasanya memanggil dengan sebutan 'bunda' hal ini gak segampang yang lo kira kak." Ucapan Alvrey berhasil membuat Mars terdiam.

Pemuda itu tak bisa menyalahkan Alvrey atas ucapannya, ia tau tak semudah itu untuk menerima seseorang yang baru sebagai keluarga, apalagi orang itu adalah orang yang menggantikan sosok ibu. Dan Mars juga tak menyangkal bahwa ia senang dengan kehadiran Legara sebagi sang ayah dan Regan sebagai sang kakak. Namun entah kenapa hatinya belum bisa menerima Alvrey, Mars berpikir bahwa hidup Alvrey itu beruntung. Mempunyai dua sosok yang kan melindunginya, mungkin itulah sebab ia tak bisa menerima. Rasa iri dalam hatinya lah yang melarangnya untuk menirima.

**************

haiiiii

update lagi nih

ada yang kangen gak sama Alvrey?

maaf kalau banyak typo and makin gak jelas

tetap tinggalin jejak ya

-5 Februari

A L V R E YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang