Elina dan Luqi lagi-lagi saling menatap dalam diam, seakan tengah menukar pikiran mengenai sang sahabat yang tengah menunduk sambil menutup wajahnya.Kedua gadis itu tahu jika Irene tengah menangis. Terbukti dengan suara isakan pelan, serta bahunya yang naik turun beberapa kali.
"Bae, jangan nangis lagi! Gimana kalo kita sekarang konsultasi sama kaprodi? Setidaknya mereka bisa cepet nyari dospem lain buat kamu, kan?" Bujuk Elina pelan.
"Bener tuh! Ngapain nangisin dosen yang gak ada hati kayak gitu? Udah resign, gak ngasih tahu mahasiswanya lagi. Gak punya etika banget jadi dosen. Udahlah! Mending cari dosen pembimbing lain aja. Gak bimbingan sama dia skripsi lo tetap jadi, kan?" Tambah Luqi masih marah dengan dosen pembimbing Irene.
"Gak semudah itu, Luqi. Nyari dosen pembimbing yang sefrekuensi itu gak gampang. Gak semua dosen bisa ngertiin mahasiswanya. Gak semua dosen kayak bu Ani." Irene berucap dengan mata yang berkaca-kaca, hingga membuat Luqi tak dapat berkata-kata lagi.
Mungkin orang lain akan menganggap Irene terlalu berlebihan tentang hal ini.
Tapi jika kita menempatkan diri sebagai Irene, mungkin kita juga akan setertekan dia.
Disaat skripsi yang sebentar lagi akan rampung, tapi tiba-tiba ada pergantian dosen pembimbing yang mungkin saja tak sejalan dengan kita, tentu saja itu akan memberatkan si mahasiswa.
Belum lagi jika ada perbedaan pendapat mengenai skripsi yang sudah di susun sebelumnya.
Itu sudah pasti akan memperlambat proses kedepannya lagi, kan?
Bagi mahasiswa semester akhir, menyusun skripsi saja sudah membuat kepala serasa akan pecah karena harus memikirkan banyak hal. Lalu bagaimana jika ada masalah-masalah yang menghampiri saat skripsi itu sendiri sudah hampir rampung?
Bukankah itu sangat barat?
Jadi jangan pernah mencerca kekhwatiran yang dirasakan orang lain, jika kamu tidak merasakannya juga.
Elina menatap Luqi dengan pandangan yang seakan mengatakan agar gadis itu jangan lagi mengatakan apapun yang dapat membuat suasana hati Irene semakin rusak.
"Luqi gak maksud ngebuat kamu lebih down lagi, Bae. Dia malah berusaha ngasih saran buat skripsi kamu tetap jalan. Iyakan, Luqi?" Elina memberikan gestur agar Luqi segera mengiyakan apa yang dikatakannya.
"I-iya. Itu maksud gue, Bae. Gue gak bermaksud ngejelekin mantan dospem lo kok."
Tak menanggapi ucapan kedua sahabatnya, Irene hanya terus menunduk sambil menutupi wajahnya yang memerah karena menangis cukup lama.
"Hai!"
Sapaan seorang laki-laki tiba-tiba mengalihkan perhatian gadis-gadis itu.
Kecuali Irene. Gadis itu masih terdiam, seakan tak ingin tahu siapa yang menghampiri ia dan teman-temannya.
"Eh, Lio. Lo disini?"
Lelaki bernama Lio itu mengangguk kecil, lalu beralih menatap wajah Irene yang tertutupi oleh surai gadis tersebut.
"Irene kenapa?"
"Dia lagi nenangin diri."
Lelaki bernama lengkap Adelio Baskara itu menyerngit heran "Hah? Nenangin diri? Emangnya Irene kenapa?"
Elina sedikit memajukan dirinya mendekati Adelio, agar bisa berbisik pada lelaki itu "Dia abis nangis. Bu Ani, dosen pembimbingnya tiba-tiba aja resign dari kampus, tapi gak ngasih tau sama sekali."
Mendengar penjelasan singkat Elina, Adelio segera berjongkok di depan Irene untuk memastikan keadaan gadis itu.
"Hey! Irene, ini aku." Ujar Adelio begitu lembut, hingga membuat Irene menjauhkan tangannya dari wajahnya dan menatap Adelio dengan mata bengkak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbreakable love (Vrene)
Teen FictionJatuh cinta? Yah, itu adalah perasaan luar biasa yang setiap manusia dapat merasakannya. Namun bagaimana jika rasa itu disebabkan oleh seseorang yang bahkan tidak dapat kita gapai? Apalagi jika penyebab paling utamanya itu adalah keyakinan yang berb...