PART 14

150 35 1
                                    


Hari minggu, seperti sebelum-sebelumnya, gereja katedral selalu dipadati oleh umat kristiani yang datang beribadah.

Tuan Bae, pendeta yang hari ini bertugas menyampaikan khotbah pada umat yang datang memberikan salam terakhirnya sebelum menutup apa yang sudah ia sampaikan, lalu diikuti dengan memanjatkan doa-doa pujian pada tuhan mereka.

Walaupun orang-orang sudah berangsur-angsur keluar dari gereja, namun Irene masih setia duduk seorang diri. Dengan ekspresi yang tak berarti, gadis itu terus menatap patung salib yang ada di depan gereja.

Entah apa yang tengah berada di pikiran gadis berdarah Korea itu, karena untuk pertama kalinya ia tak terlihat senang berada di rumah ibadah umat kristiani tersebut.

Seakan-akan ada yang menggangu pikirannya.

"Ada masalah?"

Suara yang tiba-tiba menyapa indera pendengaran Irene, sontak membuatnya sedikit terkejut dan menatap sosok sang ayah yang sudah berada di sampingnya.

"Aniya, Appa." Ujar Irene dengan senyum simpulnya. (Tidak, ayah)

Namun setelah mengatakan itu, Irene kembali menatap ke arah patung salib yang beberapa detik lalu dilihatnya.

Ada sesuatu yang mengusik hati dan pikiran gadis cantik itu.

"Appa!"

"Hm?" Tuan Bae menetap sang putri yang fokusnya masih ke depan.

"Kenapa appa memilih menjadi pendeta?"

Tuan Bae terdiam. Pria yang tengah mengenakan baju pendetanya itu cukup terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan sang putri. Karena selama ini Irene tak pernah mempertanyakan sang ayah yang memilih menjadi pendeta walaupun sudah merupakan seorang dokter dengan gelar profesor.

"Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"

Irene menatap ayahnya tanpa ekspresi, kemudian detik selanjutnya ia tersenyum tipis "Tidak ada alasan. Aku hanya penasaran, Appa." Jawabnya kemudian merogoh tas dan mengeluarkan ponsel dari sana.

"Ayo pergi! Eomma sudah menunggu di depan gereja." Ujar Irene sambil membenahi dirinya sebelum beranjak, sedangkan sang ayah masih terpaku menatapnya dalam diam.

"Appa juga harus ke rumah sakit, kan?" Lanjut Irene, hingga berhasil menyadarkan ayahnya.

"A-ah benar. Kau pergi dulu, appa harus mengganti baju."

Irene mengangguk mengerti "Aku dan eomma akan menunggu appa di depan."

Tuan Bae mengangguk, lalu menatap kepergian sang putri dengan perasaan yang cukup mengganjal.
.

"Eomma."

Nyonya Bae yang tengah berbincang dengan seseorang pun lekas menatap sang putri yang baru saja melewati pintu gereja "Kemari, nak!"

Irene kemudian berjalan mendekati sang ibu dan membungkuk sebentar kepada wanita yang bersama ibunya.

"Ini Irene ya?! Cantik banget ternyata. Coba aja saya punya anak cowok, udah saya jodohin."

Nyonya Bae dan Irene yang mendengar hal tersebut hanya tersenyum.

"Kalo gitu saya duluan ya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi."

"Iya. Kamu hati-hati ya!"

Irene kembali membungkuk sekilas saat teman ibunya itu meninggalkan mereka.

Saat mengedarkan pandangannya, Irene terpaku pada bangunan besar yang ada di samping rumah ibadahnya. Apalagi karena masjid Istiqlal yang tengah menyalakan ayat suci Al-Qur'an, membuat Irene benar-benar terenyuh.

Unbreakable love (Vrene)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang