Arabelle tersenyum manis, ia melambaikan tangannya tanda berpisah dengan Jeffrey.
Laki-laki itu mengantarnya pulang setelah pergi menonton. Jeffrey tersenyum sampai memperlihatkan lesungnya, sangat manis.
"Hati-hati dijalan ya, Kak Jeff!" seru Arabelle.
"Iya, good night, Arabelle. Lain kali boleh kan, jalan lagi kayak hari ini?" tanya Jeffrey, membuat kedua bola mata Arabelle membulat.
"Boleh kok!" sahut Arabelle semangat. Jeffrey mengusak surai gadis itu, merasa gemas.
Setelah berpisah, senyum Arabelle belum juga luntur. Ia segera masuk kedalam rumahnya, dan disambut hangat oleh Bundanya.
"Loh, Bunda udah pulang kerja?" heran Arabelle.
"Iya lah, biasanya kan Bunda pulang jam tujuh," jawab sang Bunda.
Arabelle melihat kearah jam dinding, jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan lewat lima belas.
Apa ia terlalu asyik dengan dunianya, sampai lupa sudah jam berapa saat ini?
"Lah, iya..."
Bunda terkekeh sembari menggeleng heran. Arabelle menghampiri Bundanya yang tengah duduk disofa sembari menonton, tanpa melepas wedges-nya terlebih dahulu.
"Oh iya, tadi Gaby kerumah tuh, nungguin kamu pulang. Kamu malem banget sih pulangnya?" ucap sang Bunda, Arabelle terkekeh.
"Ya maaf, Bunda. Jalan sama Kak Jeffrey seru sih habisnya," jawab anak itu.
Bunda tertawa kecil, ini bukan kali pertama anaknya dekat dengan laki-laki yang disukainya.
Tak apa. Asal anaknya bahagia, Bunda tak akan melarangnya.
"Tadi Bunda bawain kamu makanan, tuh, kamu laper nggak?" tanya Bunda. Arabelle menggeleng.
"Aku tadi udah makan, Bun, sama Kak Jeffrey. Tapi gapapa, Bunda bawa makanan apa?" sahut Arabelle dengan wajah sumringah.
Bunda menunjuk kearah dapur menggunakan dagunya, "Pizza sama spaghetti tuh, didalem microwave."
Arabelle segera beranjak kedapur, mengambil sekotak pizza serta spaghetti yang masih utuh.
"Bunda, aku kerumah Gaby, ya? Mau makan ini bareng Gaby," ucap Arabelle meminta izin.
Bunda tersenyum teduh, lantas ia mengangguk memberi izin, "Iya, bawa semua aja kesana."
Gadis itu tersenyum sumringah, ia pun segera berlari keluar rumah menuju rumah Gabriella.
***
"Gaby?"
Arabelle membuka pintu kamar Gabriella perlahan. Gelap gulita, pemandangan pertama yang ia lihat.
"Gabriel??" Arabelle memanggilnya lagi. Kemana Gabriella? Tak ada tanda-tanda kehidupan dari ruangan tersebut.
Tak.
Arabelle menghidupkan lampu yang menjadi penerangan satu-satunya, namun, ia tak melihat keberadaan Gabriella didalam sana.
"Lo kemana deh?" gumam Arabelle. Ia melangkah memasuki kamar tersebut, lalu mendaratkan bokongnya diatas kasur milik Gabriella.
Ia meletakkan sebuah totebag besar berisikan pizza dan spaghetti yang dibawanya diatas kasur. Matanya menelisik keseluruh ruangan tersebut sampai kesudut.
Hm, let her guess. Gabriella pasti habis bermain game di PlayStation-nya. Berantakan sekali.
Sebuah gitar pemberian darinya di ulang tahun Gabriella yang ke tujuh belas, terpajang rapih disudut ruangan. Senyumnya mengembang seketika.
"Abel? Ngapain disini?"
Sebuah suara menginterupsi, Arabelle segera menghampiri Gabriella yang masih berdiri disana.
"Gue bawa makanan, disuruh Bunda juga sih tadi buat makan bareng sama lo. Lo udah makan belum?"
Gabriella menatap Arabelle datar, kemudian atensinya beralih pada sebuah tas besar yang ia tebak, berisi makanan yang dimaksud.
"Gue udah makan."
Jawaban Gabriella mampu melunturkan senyum Arabelle. Ah, sudah makan ternyata. Ia sedikit merasa kecewa lantaran tak bisa makan bersama.
Arabelle kembali menampilkan senyumnya, "Yah, gitu ya. Yaudah deh, gapapa."
Gabriella berjalan menuju kasurnya, Arabelle mengikuti dari belakang. Seakan tak peduli dengan kehadiran sahabatnya, Gabriella malah bermain game di ponselnya.
Arabelle memerhatikannya, sembari memakan sepotong pizza pepperoni yang dibawanya.
"Beneran nih, lo nggak mau? Penawaran terakhir nih," ucap Arabelle. Namun, Gabriella hanya menggeleng sebagai respon.
"Hmm, seriously? Apa mau gue aja yang suapin, nih?" rayu Arabelle.
Gabriella menutup game-nya, ia pun menatap Arabelle dengan intens.
"Gimana tadi kencannya? Seru? Lancar?" tanya Gabriella, tanpa ekspresi di wajahnya.
Berusaha mencairkan suasana, Arabelle tersenyum lebar, "Seru! Tadi kita nonton film yang emang lagi rame banget sih."
"Oh, kalian bener-bener enjoyed the time, ya. Sampe lo lupa waktu gini," sahut Gabriella.
Kening Arabelle mengerut, mendengar nada bicara Gabriella yang berbeda dari biasanya.
"Lo kenapa sih?" tanya Arabelle memastikan.
"Gue? Gue kenapa? Nggak kenapa-kenapa, tuh," jawab Gabriella.
Arabelle hanya mengangguk, Gabriella kembali pada kegiatannya. Entah, Arabelle sensed there was a slight difference in Gabriella.
Did she do something wrong? What should she do?
"Gaby, gue ada salah ya sama lo? Ngomong aja please, lo kok jadi aneh gini," ujar Arabelle, sembari meraih tangan Gabriella yang bebas.
"Nggak ada kok," sahut Gabriella, tanpa menatap dirinya.
Tatapan mata gadis itu berubah sendu, "Gaby..."
Baik, memang semudah itu membuat Gabriella luluh. Jika sudah seperti ini, mana tega dirinya membiarkan Arabelle merasa bersalah.
Gabriella membawa Arabelle kedalam dekapannya. Arabelle terhanyut dalam hangatnya dekapan Gabriella.
Seperti biasa, Arabelle selalu suka aroma tubuh Gabriella.
"Lo nggak ada salah kok, Abel. Gue-nya aja yang terlalu over. Jangan nangis, ya?" ucap Gabriella dengan intonasi lembutnya.
Arabelle mengangguk kecil, Gabriella menangkup pipi sang gadis, lantas ia menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya.
Gabriella tersenyum teduh, jemarinya membelai surai hitam legam Arabelle dengan lembut. Menenangkan gadis didalam dekapannya tersebut dari isak tangisnya.
Hebatnya, Arabelle dapat kembali tenang, with just a gentle caress on her head.
Baik. Semoga saja, Arabelle tidak akan bertanya habis darimana dirinya pergi.
Because if she finds out, Arabelle will be mad.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness.
Ficção AdolescenteThere is only one happiness in this life; to loved, and be loved. Warn GxG❗