#O5: Bruises?

1.7K 163 1
                                    

Arabelle memoles bibirnya dengan liptint berwarna merah muda, senada dengan warna asli bibirnya. Setelahnya, ia tersenyum. Menatap pantulan dirinya dicermin.

"Dah cantik, selesai deh."

Ia meraih tas ranselnya, lalu segera keluar dari kamarnya menuju ruang tamu.

"Bunda hari ini kerja, kan?" tanya Arabelle, sang Bunda mengangguk sebagai respon.

"Kamu berangkat sendiri? Atau sama Gaby?"

"Sama Gaby, Bun. Biasa juga kan aku selalu bareng sama dia."

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, Arabelle izin pamit pergi sekolah. Ia segera menghampiri Gabriella yang sudah menunggunya didepan rumahnya.

"Yuk." Ujar Arabelle, dengan senyum manisnya.

Gabriella ikut tersenyum, "Yuk."

***

Huh, sungguh, Gabriella merasa kelasnya sangat membosankan. Apa lagi, semenjak pelajaran Sejarah dimulai.

Sedari tadi, ia hanya mencoret-coret bukunya. Hanya coretan tidak jelas, tetapi mampu mengisi waktu gabut-nya selama dikelas.

Tiba-tiba, sebuah gulungan kertas dilempar mengenai kepalanya. Ia mengernyit, matanya menelisik mencari siapa pelakunya.

Tak ada yang mencurigakan dari kelasnya, ia membuka gulungan kertas tersebut. Berisi sebuah tulisan tangan yang rapi.

Ngantuk yaa? Nanti istirahat, makan sama gue yuk! Gue bawa pizza sama spaghetti yang kemarin, udah gue angetin.

Gabriella terkekeh, saat mengetahui siapa pelaku dibalik pelempar kertas tersebut.

"Gemes banget emang," gumamnya pelan, namun, teman sebangkunya masih dapat mendengar.

"Siapa yang gemes?" sahut Gloria, teman sebangku Gabriella.

"Hah? Oh, anu, karakter anime yang semalem habis gue tonton," jawab Gabriella sekenanya.

Gloria hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada papan tulis didepan sana.

Tolong jelaskan, mengapa waktu terasa sangat sangat lambat ketika mata pelajaran yang membuatnya mengantuk sedang berlangsung?

Sungguh aneh.

***

"Semalem kan, lo nggak sempet nyobain ini, jadi hari ini gue sengaja bawa semua makanan ini biar dimakan sama lo,"

Arabelle mengeluarkan semua isi kotak bekalnya, lalu memberikannya pada Gabriella.

Gadis itu mengambil semangkuk spaghetti-nya, lantas ia memakannya dengan lahap. Begitu juga dengan Gabriella.

"Enak, kan?" tanya Arabelle.

Gabriella mengangguk, "Iya, enak. Bunda beli dimana?"

"Ya mana gue tau, gue nggak nanya," jawab Arabelle. Setelah itu, mereka kembali fokus pada makanan masing-masing.

Gabriella menatap Arabelle gemas, anak kelas sebelas SMA dihadapannya itu, seperti masih bocah kelas lima SD.

Lihat saja, mulutnya berlumuran bumbu spaghetti sampai mengenai pipinya. Sepertinya, lain kali Gabriella harus siap sedia celemek ketika mereka hendak makan.

"Lo tuh ya, makan aja belepotan. Ada tisu nggak?" ujar Gabriella.

Arabelle menggeleng, pipinya yang menggembung penuh berisi spaghetti membuatnya tak bisa bersuara.

Gabriella menghela napasnya. Ia meletakkan mangkuk berisi spaghetti-nya sejenak, lalu membersihkan bibir Arabelle dari bumbu spaghetti menggunakan ibu jarinya.

"Lo makan kayak anak SD, belepotan sana-sini," ucap Gabriella. Arabelle menggeleng tidak terima.

"Mana ada!" serunya, ketika spaghetti didalam mulutnya sudah ia telan.

"Ada, cantik."

"Nggak."

"Ada."

"Nggak, tuh!"

"Ada, tuh!"

Arabelle mengalah, ia mengerucutkan bibirnya sebal. Gabriella tertawa kecil, ia dibuat gemas oleh tingkah gadis itu.

"Makan lagi yuk, habisin," ucap Gabriella. Arabelle mengangguk kecil, lalu kembali menyantap spaghetti-nya.

***

Waktu telah menunjukkan angka empat lewat sepuluh menit. Sepulang sekolah, Arabelle sudah berjanji ingin bermain dirumah Gabriella.

Sudah seperti kebiasaan, karena Gabriella tinggal seorang diri dirumahnya yang bisa dibilang cukup luas.

"Ajarin gue main gitar dong, Gab," pinta Arabelle.

Gabriella tertawa, lalu menjawab, "Gue aja masih belum bisa mainnya, gimana mau ngajarin lo."

Arabelle ikut tertawa, merasa aneh. Lantas, untuk apa Gabriella sangat menginginkan sebuah gitar, jikalau dia masih belum paham cara memainkannya?

"Lawak deh lo," ucap Arabelle. Ia meraih gitar yang berada disudut kamar Gabriella, lalu memainkannya secara asal.

Sangat false. Dirinya sendiri pun pusing mendengarnya.

"Ah, nggak tau deh. Mau mainan yang lain aja. Lo di PS ada game apa aja, Gab?" tanya Arabelle.

"Banyak sih, tapi yang pasti lo nggak bakal ngerti sama game-nya," jawab Gabriella.

Arabelle mengerucutkan bibirnya kecewa. Bosan, sangat bosan. Ia sangat ingin melakukan suatu hal yang dapat menghilangkan rasa bosannya.

Merasa panas, Gabriella hendak mengganti bajunya. Dihadapan Arabelle.

Gadis itu sudah biasa melihat sahabatnya yang suka seenaknya. Termasuk mengganti baju dihadapannya.

Toh, mereka sama-sama perempuan. Pikirnya seperti itu.

Pandangan Arabelle tak sengaja menuju Gabriella, ia pun melihat sesuatu yang janggal pada punggung sahabatnya.

"Punggung lo kenapa memar, Gab?" tanya Arabelle, raut wajahnya mulai serius.

"Hah? Memar?" sahut Gabriella, pura-pura tak tahu.

"Iya, itu memar, dideket pundak. Lo habis ngapain?"

Gabriella terdiam. Memutar kejadian semalam yang membuatnya mencetak memar kebiruan pada punggungnya.

"Nggak ngapa-ngapain, Bel. Kepentok aja kayaknya ini," jawab Gabriella sekenanya.

"Jangan bohong," tukas Arabelle.

Gabriella menghampiri Arabelle, mengusak kepala gadis itu pelan sembari tersenyum, guna meyakinkannya.

"Iya, gue nggak bohong. Serius kok gue nggak kenapa-kenapa," ucap Gabriella.

Arabelle menatap Gabriella ragu, namun akhirnya, ia kembali tersenyum. Berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang menghantui benaknya.

tbc.

Happiness.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang