Kinaya meminta ijin pada Wita karena hari ini hari ulang tahun Lieva dan Wita mengijinkan Kinaya berkunjung ke makam neneknya.
Dengan gajinya dia bisa membeli beberapa makanan kesukaan Lieva, dia berjalan jauh demi neneknya
Begitu tiba dia bingung melihat pria dengan setelan rapi menangis didepan makam neneknya.
"Kamu siapa?"
"Saya cucu nenek"
Jantung Juno seakan berhenti berdetak, dia tidak percaya yang didepannya ini anaknya
"Nenekmu? kamu tidak berbohong?"
"Tidak, saya cucu kandung nenek"
"Orangtuamu kemana?"
"Saya juga tidak tahu, saya besar dengan nenek"
Juno merasakan perasaannya campur aduk, sedih dan juga bahagia, tapi mulutnya terasa berat jika harus mengatakan jika dia ayah kandungnya yang pergi selama 12 tahun ini.
"Anda siapa?" tanya Kinaya
"Saya.. saya .. saya keponakannya" bohong Juno
"Jadi anda paman saya?"
Juno mengangguk,
"Boleh paman memelukmu?"
Kinaya membiarkan Juno memeluk erat dirinya, dia bisa merasakan pundaknya mulai basah karena airmata Juno.
"Nenek tidak memberitahu jika memiliki keponakan dikampung ini"
"Paman keponakan jauh nenekmu, dan baru pindah kemari"
"Terima kasih sudah datang , hari ini ulang tahun nenek, pasti nenek senang"
Juno terlupa hari ini ulang tahun ibunya sendiri, dia tambah merasa bersalah
Kinaya dan Juno duduk didepan makam Lieva, hening , Kinaya hanya terus menangis
"Kamu tinggal dimana sekarang?"
"Naya bekerja paman menjadi pelayan"
Hati ayah mana yang tidak sedih mendengar anaknya yang baru 12 tahun sudah menjadi pembantu
"Namamu Naya?"
"Kinaya" jawabnya cepat
"Dimana kamu bekerja?"
"Dirumah besar yang lumayan jauh dari sini"
"Kamu mau tinggal dengan paman saja?"
"Tidak perlu, Naya tidak ingin menyusahkan, lagipula nyonya dirumah itu sangat baik"
"Paman akan mengantarmu pulang, agar paman bisa tahu dimana kamu tinggal, paman pasti akan sering berkunjung"
Kinaya mengangguk dengan senang hati, Juno mengantar putrinya sendiri kerumah yang dia tahu persis rumah siapa itu.
"Kamu bekerja disini?"
"Iya paman, Naya bekerja disini, terima kasih tumpangannya"
"Tunggu! kamu jadi pelayan? bukan anak dari menantu dirumah ini?"
Kinaya tertawa mendengarnya,
"Naya hanya pelayan paman, nenek sendiri yang menyerahkan saya kesini"
Juno mengerti sekarang, ibunya menyerahkan Kinaya pada Gia sebelum meninggal, tapi dia marah kenapa bisa Gia membiarkan Kinaya menjadi pelayan? apakah Gia hanya menyayangi putranya?
Juno memukul setir kala Kinaya sudah keluar,
"Kinaya, tunggu ayah akan membawamu pergi dari sini dan kamu akan hidup bahagia bersama ayah!"
*
"Kinaya sudah pulang? kenapa cepat?" tanya Gia yang heran Kinaya sudah pulang siang ini padahal tempatnya sangat jauh
"Tadi saya diantar paman saya nyonya"
"Kamu memiliki paman?"
"Saya juga baru tahu, kami bertemu dimakam nenek"
"Kamu sudah makan?"
"Saya mau menyelesaikan pekerjaan dulu nyonya, kasihan bi Tuti kerja sendiri"
Kinaya lalu berlari menuju dapur, membantu Tuti menyiapkan makan siang
"Cepat potong sayur ini!" perintah Tuti
Tuti mengeluarkan semua bahan makanan, meminta Kinaya mencuci dan memotong itu semua, sedangkan dia duduk bersantai dimeja
"Cepat sedikit! sudah waktunya jam makan siang!"
Kinaya mempercepat gerakan tangannya, tapi tak hati-hati pisau tajam itu melukai jari telunjuknya, darahnya menyembur keluar
"Ah!"
Tuti berdiri mendekati Kinaya,
"Dasar bodoh! memotong sayur saja bisa mengenai jari sendiri! cepat lanjutkan!"
Kinaya menahan perih itu terus mengerjakan pekerjaanya hingga selesai,
Mereka menghidangkan makanan itu dimeja utama, Gia melirik jari Kinaya yang masih mengeluarkan sedikit darah
"Kinaya jari kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa nyonya"
"Sudah aku bilang jangan pedulikan dia! apa kamu lupa?!" bentak Han memukul meja membuat Kinaya cepat kembali ke dapur
"Jangan merusak suasana, cepat makan!" perintah Wita
Gia makan dengan gelisah, dia penasaran dengan luka Kinaya itu
Selesai makan seakaan tahu Gia akan menemui Kinaya, Han sengaja mengajaknya untuk ke ruang kerjanya
"Temani aku disini"
"Han aku-
"Jangan melawan!"
Gia duduk menjauh dari Han, menatapnya dengan mata dingin, hingga matahari terbenam Gia masih ditahan diruang kerjanya.
"Han, pinggangku sudah pegal, aku ingin kembali ke kamar dan berbaring"
Akhirnya Han mengijinkan, tapi Gia langsung mencari Kinaya.
Sang anak sedang mengangkat pakaian, terlihat dia kesusahan karena begitu banyak pakaian yang harus diangkat, sedangkan tubuhnya sangat kecil.
"Nyonya!" Kinaya kaget melihat Gia sudah disamping membantu membawa pakaian itu
"Jangan, biar saya saja nanti bi Tuti marah"
Gia tidak menjawab langsung berjalan kedalam,
"Nyonya terima kasih"
"Jarimu kenapa?"
"Oh ini tadi tidak sengaja terkena pisau"
"Sudah diobati?" Gia melihat lukanya masih terbuka dan basah
"Nanti juga sembuh sendiri"
Gia menarik tangan Kinaya ke kamarnya, dia kembali mengobati lukanya
"Nyonya kenapa baik sekali?"
Gia hanya menatapnya sebentar dan melanjutkan mengoleskan obat
"Kamu mengingatkan ku pada seseorang, andai dia masih hidup, dia pasti sudah sebesar dirimu"
"Apa anak nyonya?"
Gia diam, tak berani menjawab, dia merasa dirinya tak pantas disebut seorang ibu
"Kamu lanjutkan pekerjaanmu, jangan sampai bi Tuti marah"
Kinaya kemudian keluar dari kamar besar itu, melihat jarinya yang sudah diperban dengan baik.
"Jika aku punya ibu pasti ibuku juga akan melakukan hal yang sama seperti nyonya kan?" Tanyanya pada diri sendiri
...
TBC