Bab 11a

3.9K 507 37
                                    

Talia mengangguk kecil, menatap takut-takut pada Adrian yang berdiri dengan wajah kaku. Ia menduga telah terjadi sesuatu yang membuat suami dari bossnya itu marah. Tidak ingin terjebak dalam masalah suami istri, ia berpamitan pulang. Melva tidak melarangnya. Wanita itu terlihat senang karena suaminya pulang.

"Sudah makan?"

Adrian mengenyakkan diri di sofa, melirik istrinya yang memegang ponsel dengan layar menyala.

"Sudah." Detik itu juga perutnya berkriuk lapar.

Melva meletakkan ponsel ke meja, tersenyum sambil mengelus lengan suaminya. "Kamu lapar tapi enggan makan? Kenapa? Mau aku temani?"

"Jam berapa ini? Kamu makan memangnya nggak takut?"

"Aku bisa makan sayur, kamu yang terpenting. Ayo, mau aku buatkan sesuatu? Kamu ingat bukan aku dulu bisa masak?"

Adrian mengangguk. "Telur ceplok gosong."

Melva mencebik. "Kenapa hanya ingat yang jelek-jelek, sih? Sekarang kemampuan memasakku sudah meningkat tajam. Bagaimana kalau kita makan nasi putih pakai telur ceplok dan kecap?"

"Boleh juga."

Para pelayan di rumah besar itu heboh, karena sang tuan dan nyonya untuk pertama kalinya datang ke dapur dan makan bersama. Selama mereka bekerja di rumah besar itu, tidak sekalipun tuan rumah makan bersama. Itu karena keduanya orang yang sangat sibuk. Yang membuat mereka makin tidak percaya adalah, sang nyonya yang merupakan artis besar memasak. Memang hanya telur ceplok, tetap saja itu membuat mereka kuatir. Bagaimana kalau terciprat minyak dan kulitnya yang putih mulus itu terluka? Namun, tidak peduli bagaimana mereka meminta, Melva bersikukuh untuk memasak sendiri.

Empat telur ceplok dihidangkan dengan nasi putih hangat, ditambah sambal bawang yang khusus diulek oleh Melva sendiri. Para pelayan menawarkan untuk membuatn hidangan dari daging yang mudah dimasak, tapi mereka menolak.

"Kalian buatkan saja aku jus, tanpa gula."

Keduanya makan dengan lauk seadanya. Hanya ada jus tanpa gula dan sisanya nasi telur ceplok. Melva hanya makan putih telur dan tanpa nasi, memberikan telur kuningnya pada sang suami yang menerima tanpa protes.

"Aku jadi ingat masa kecil dulu, kalau orang tua kita pergi, aku yang memasak untuk kamu dan Agnes."

Adrian menyuap sesendok nasi, menatap istrinya yang tersenyum. "Lebih sering masak mie instan."

"Memang, karena hanya itu yang gampang dimasak. Sesekali telur ceplok yang gosong, kalau nggak, ya, keasinan."

"Kamu mengakui kalau hasil masakanmu mengerikan?"

"Hei, saat itu kamu tetap makan."

"Karena nggak ada yang lain."

"Paling nggak Anges menyukainya."

Untuk kali ini Adrian tidak menyangkal. Adiknya saat itu memang sangat dekat dengan Melva. Sering mengekor kemana pun Melva pergi. Kedekatan mereka membuat Agnes menangis tiada henti selama berhari-hari saat keluarga Melva memutuskan untuk pindah. Begitu pula dirinya.

"Sebenarnya ada satu yang mengusik pikiranku."

Melva merapikan piring saat melihat suaminya sudah selesai makan.

"Apa?"

"Keluarga kita terpisah sekian lama. Lalu, mendadak kedua orang tua kita bertemu. Saat aku tanya mamaku, bagaimana ketemu mamamu, dia hanya menjawab singkat di butik. Mendadak, rencana pernikahan digelar dan kita bahkan tidak ada kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi. Hebat sekali, kok bisa?"

Adrian mengangkat pundak. "Kita sudah pernah kenal. Diskusi apa lagi. Kalau kamu mau menikah, ya, aku anggap setuju."

"Memang, tapi bertahun-tahun nggak ketemu. Kamu nggak takut aku berubah jadi jahat atau gimana?"

Mengusap bibir istrinya dengan ujung telunjuk, Adrian berucap serius. "Aku mengenalmu, MJ. Siapa yang nggak kenal artis besar sepertimu."

"Kamu nggak takut kalau secara nyata aku berbeda dengan apa yang terlihat di layar?"

"Nggak, dan instingku benar."

Mereka meninggalkan ruang makan dengan berbagai pertanyaan masih terselip di benak Melva. Ada begitu banyak ketidakpuasan dalam dirinya mendengar jawaban Adrian. Namun, ia tidak ingin mendesak lebih lanjut.

Melva yang merasa malu karena ditolak terus menerus saat ingin mengajak suaminya bercinta, akhirnya memutuskan untuk memakai gaun tidur sopan yang menutup dada dan lututnya. Latihan menari selama seharian membuatnya kelelahan. Ia tertidur saat kepalanya menyentuh bantal dengan Adrian masih berkutat dengan ipadnya.

Paginya, ia terbangun dengan tubuh bergelung dalam pelukan suaminya. Tanpa sadar Melva tersenyum, mengecup pipi sang suami dan menyingkapkan selimut. Ia berniat olah raga sebelum beraktivitas.

"Mau ke mana?" tanya Adrian dengan suara serak.

"Lari pagi, mumpung udara masih segar."

"Tunggu aku."

Keduany bangkit dari ranjang bersamaan. Karena tidak ingin membuat resiko dikenali wajahnya oleh warga komplek, Melva memutuskan untuk lari di halaman. Sebenarnya tidak leluasa tapi sementara ini yang terbaik.

"Di belakang masih ada tanah kosong. Kalau kamu memang suka lari, aku akan membangunnya menjadi lapangan."Adrian bertanya pada istrinya.

Melva mengangguk. "Boleh juga, di halaman begini kurang nyaman.

Udara pagi yang hangat, ditambah dengan menggerakan tubuh, membuat Melva berkeringat. Adrian mengerjap, melihat titik-titik keringat membasahi tubuh wanita itu. Pakaian olah raganya menempel dan memperjelas lekuk tubuh. Dadanya membusung dan menyembul di balik kaos yang dipakai. Hasratnya tergugah. Saat istrinya berlari melewatinya, Adrian meraih lengan wanita itu.

"Hei, apa-apaan ini?" teriak Melva kaget.

"Aku punya cara lain untuk membakar kalori lebih cepat."

Adrian membuktikan ucapannya. Ia setengah menyeret istrinya ke bawah pohon palem yang rimbun dan menciumnnya. Ia tidak memberi kesempatan pada wanita itu untuk menolak. Tangannya memeluk erat dengan jemari mencengkeram erat pinggul Melva dan menggesekkan pada kejantanannya yang menegang. Lidahnya membelai mesar lidah sang istri dengan ciuman makin intens. Suara napas mereka terdengar memburu di halaman yang sepi.

Tangannya menyelusup masuk ke dalam kaos Melva, menangkup buah dada dan meremasnya lembut melalui kain berenda yang menutupinya.

"Awas, nanti ada pelayan yang melihat."

Melva terengah, berusaha melepaskan diri. Jemari Adrian kini bermain-main di dadanya sementara mulut laki-laki itu berada di lekukan lehernya. Samar-samar terdengar suara orang bercakap-cakap. Melva menduga itu adalah para pelayan yang akan lewat. Ia menggeliat dari pelukan sang suami dan mendorong tubuh laki-laki itu menjauh.

"Ckckck, Tuan Adrian. Ada apa denganmu?"

Ia bertanya dengan tatapan tak percaya. Suaminya selalu begini, memulai cumbuan, membuatnya terlena, lalu melemparkannya pada kenyataan saat gairah menyelimutinya. Kali ini, ia tidak akan terjebak.

"Mau ke mana kamu?" Adrian mengikuti langkah istrinya.

"Mandi, ke lokasi syuting."

"Bagaimana kalau kita mandi bersama?"

Tawaran Adrian membuat Melva menghentikan langkah. Ia membalikkan tubuh, menatap suaminya yang terlihat tampan dengan wajah lembab karena keringat yang tertimpa cahaya matahari pagi.

"Begini, jangan memulai sesuatu yang ingin cepat kamu akhiri."

Adrian mengedip. "Maksudmu?"

"Apa maksudku kamu pasti tahu, Kak. Kamu orang bisnis, harusnya paham dengan penjelasanku. Mulai sekarang, kita jaga jarak. Jangan mempermainkanku, oke?"

"Tapi—"

Setengah berlari Melva meninggalkan Adrian di tengah halaman. Ia merasa hari ini sudah cukup dipermainkan. Banyak pekerjaan yang harus ia lakukan dan tidak ingin pikirannya terbebani karena sang suami. 

**
Tersedia di google play book

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang