Bab 8b

3.3K 482 20
                                    

Pukul enam kurang sepuluh menit, Vector masuk dan mengingatkan akan pertemuan selanjutnya. Adrian mengangguk, mengikuti sang asisten menuju ruang tamu dan mendapati Nikita sudah datang bersama dua laki-laki. Salah satunya ia kenal.

"Selamat malam, Pak Adrian."

Nikita bangkit dari kursi, tanpa sungkan menghampiri Adrian dan mengelus lengan laki-laki itu. Saat hendak mengecup pipi Adrian, dengan lembut laki-laki itu menolak dan berbisik. "Nikita, ingat, aku sudah menikah!"

Nikita menarik bibirnya yang semula hendak mengecup Adrian tapi tidak menjauh dengan buru-buru. Ia mengamati Adrian dengan menaikkan sebelah alis.

"Apakah pernikahan membuatmu jadi kaku seperti ini?"

Adrian dengan perlahan melepaskan tangan Nikita dari lengannya. Menatap para tamu yang sedang bicara dengan Vector.

"Itu urusanku, Nikita. Sebaiknya kita selesaikan pertemuan ini dengan baik."

Menahan rasa kecewa, Nikita membalikkan tubuh dan bergegas menghampiri dua tamu yang menunggu. Adrian mengikuti langkahnya dan mereka segera terlibat dalam pembicaraan soal bisnis.

Mereka membicarakan banyak hal penting hingga berjam-jam lamanya. Berpindah tempat dari semula di ruang tamu ke ruang makan demi menikmati hidangan makan malam yang terlambat. Berbagai kemungkinan dibahas hingga rencana untuk bekerja sama. Dari pembicaraan itu Adrian tahu, kalau Nikita berhubungan baik dengan sang direktu PT. Harisma Jaya.

"Kalau saya belum menikah, sudah pasti akan menikahi Nikita." Laki-laki berumur empat puluh tahun itu tertawa. "siapa yang tidak ingin punya istri yang cantik dan pintar dalam berbisnis."

Nikita yang menjadi pusat perhatian berusaha menyimpan senyum. "Jangan begitu, Pak, Saya nanti GR."

Para laki-laki tertawa dan Adrian hanya tersenyum kecil.

"Yang saya katakan benar, Nikita. Laki-laki yang menikahimu akan sangat beruntung."

"Semoga saya mendapatkannya, Pak." Nikita diam-diam melirik Adrian yang sedari tadi terdiam.

Direktur PT. Harisma Jaya yang dipanggil dengan sebutan Pak Haris, tertawa lirih. "Tapi, Pak Adrian juga sangat beruntung. Bagaimana tidak? Istrinya seorang artis terkenal dan sangaaat cantik. Kapan-kapan, bolehkah saya berkenalan dengan istri Anda?"

Pertanyaan sang direktur diberi anggukan oleh Adrian. "Tentu saja, Pak Haris."

Alur pembicaraan berubah cepat, dari bisnis ke Nikita, lalu soal Melva. Semua mengakui kalau Melva adalah artis besar yang banyak penggemarnya dengan reputasi yang baik. Tidak banyak skandal yang menimpa wanita itu terutama soal kencan dengan laki-laki. Secara terang-terangan mereka memuji keberuntungan Adrian, dan tidak memperhatikan raut wajah Nikita yang makin lama makin terlihat suram.

**

"Penampilan yang bagus. Wawancaranya juga keren. Kamu menjawab dengan tepat tanpa berlebihan."

Ratna menyambut Melva yang baru turun dari panggung kecil. Menggiring sang artis menuju kamar ganti, di mana sudah beberapa orang menunggu untuk membantunya berganti baju.

"Aku nggak ada salah ngomong'kan?"

Ratna menggeleng. "Nggak, semua aman."

Talia maju, menyodorkan ponsel pada Melva. "Tadi suamimu mengirimiku pesan, bertanya jam berapa acaramu. Mungkin mau menonton."

Melva mendengkus, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin Adrian yang sangat sibuk ingin menonton TV di siang bolong. Ia menyalakan ponsel, menunggu sesaat ada sebuah pesan masuk. Dari suaminya yang menanyakan jam wawancara. Ternyata benar, Adrian ingin menonton. Melva tersenyum kecil. Secara berurutan datang banyak pesan dari dua orang lain, Neo dan Luke. Mereka menanyakan kabarnya dan ia menjawab seadanya.

"Mau makan apa?" tanya Talia saat mereka beriringan meninggalkan studio TV.

"Jam berapa ini?" tanya Melva.

"Jam delapan. Kamu mau aku pesankan apa?"

Melva menggeleng. "Nggak usah, nanti cukup makan telur rebus saja."

Di kendaraan yang akan membawanya pulang, ia menatap ponsel. Menunggu suaminya membalas pesan yang ia kirimkan. Nyatanya, hingga sampai di rumah, Adrian tidak juga memberi kabar.

Dua pelayan menyambut kedatangannya. Melva berdiri di ruang tamu yang luas, mengamati rumah yang besar dan megah. Kesepian menyergapnya seketika. Biasanya, saat tinggal di apartemennya yang lebih kecil, ia tidak pernah merasakan seperti ini.

"Nyonya, sudah makan malam? Ingin kami buatkan sesuatu?"

Pertanyaan dari pelayan membuat Melva tersentak. "Ah, belum makan. Bisa tolong rebuskan aku dada ayam? Tanpa lemak dan tidak boleh lebih dari seratus gram."

"Hanya direbus?"

"Iya, kasih sedikit garam. Sekalian kalau ada bayam atau sayuran hijau, tolong rebus tapi jangan banyak-banyak."

Malam itu, Melva makan sendirian di ruang makan yang besar. Menyantap hidangan yang terasa hambar di mulut. Ia menunggu hingga pukul sepuluh malam tapi Adrian sama sekali tidak mengabarinya.

Memutuskan untuk berolah raga sebentar sebelum mandi, Melva meminta pelayan untuk diantar ke ruang olah raga yang berada di samping kolam renang. Ia terperangah, melihat banyaknya alat-alat dan tersenyum untuk menyalakan threadmill. Membawa ponsel dan menyalakan lagu, ia bernyanyi sambil berlari, dan sebuah pesan menghentikan musiknya.

"Kak, kamu di mana?"

Adik iparnya bertanya, Melva menjawab cepat. "Di rumah, kenapa?"

"Hah, kamu nggak ikut makan malam?"

Melva mengernyit. "Di mana?"

"Nggak tahu di mana, tapi aku lihat status Kak Nikita, dia bersama kakakku sedang makan malam. Kok bisa kamu nggak ikut?"

Melva menghela napas, merasakan tusukan kekesalan tapi berusaha untuk tetap tenang. "Aku ada pekerjaan hari ini, baru juga selesai."

"Oh, pantas. Ingat, Kak. Jangan biarkan Kak Nikita dekat-dekat suamimu. Ngomong-ngomong, Mama ingin mengajakmu makan siang. Kapan kamu bisa?"

Melva mengingat jadwalnya. Besok ia tidak ada kegiatan, hanya foto endorsmen yang bisa dilakukan saat sore.

"Besok bisa."

"Oke, kami tunggu besok."

Selesai berbalas pesan, Melva kembali melanjutkan olah raganya. Tidak menyadari pintu yang membuka. Ia melirik kaget pada laki-laki yang baru saja datang. Masih dengan pakaian kerja yang lengkap, Adrian menyapanya.

"Rajin sekali kamu."

Melva tidak menjawab, hanya tersenyum kecil. Mematikan threadmill, ia meraih handuk dan membasuh keringat di tubuh. "Aku mau naik, Kak. Aku tinggal, ya."

"Aku juga mau ke atas."

Adrian menjejeri langkahnya, Melva berjalan dengan kaku. Saat jari mereka tanpa sengaja bersentuhan, ia mengepalkan tangan. Rasa heran menyelimutinya saat melihat Adrian ikut masuk ke kamarnya.

"Kak, kok ikut?"

Adrian mengangkat sebelah alis. "Kenapa? Ini kamarku juga."

"Ta-tapi, kemarin malam?"

"Oh, aku tidur di sebelah. Tapi, yang sebenarnya ini adalah kamar kita berdua."

Melva dibuat tercengang saat Adrian seenaknya saja membuka baju. Ia tidak dapat mengalihkan pandangan dari tubuh Adrian yang kokoh dengan dada bidang. Sama sekali tidak ada lemak di perut. Saat laki-laki itu mulai mencopot celana panjang, ia menunduk.

"Aku mandi dulu."

Mengangkat wajah,Melva mengamati tubuh Adrian dari belakang. Laki-laki itu hanya memakai celana dalam dan tubuh kokohnya terlihat jelas. Seketika Melva merasa otaknya kosong.

**

Part lengkap tersedia di goggle playbook dan Karya Karsa 

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang