Bab 10a

3.6K 495 26
                                    

Melva tersenyum di depan lemari. Ia membuka jubah sutra hitam dan menampakkan tubuhnya dalam balutan lingere merah. Dadanya membusung, dengan perut rata, dan area intimnya tertutup secarik kain segitiga. Pinggulnya yang bulat dan mulus, terpampang luas disangga oleh tali kecil. Ia cukup puas dengan penampilannya malam ini, berharap Adrian merasakan hal yang sama.

Laki-laki itu sedang membersihkan diri, menggunakan kesempatan itu, Melva merias dirinya dengan krim malam dan memakai parfum di belakang telinga, belahan dada, leher, dan pergelangan tangan. Memilih parfum beraroma floral yang cukup manis, tapi tidak menyengat. Menambah rasa sexy dalam dirinya. Tidak cukup hanya itu, ia juga memakai lotion yang tidak hanya melembabkan tapi juga menambah kelembutan kulitnya. Menyalakan lilin aroma terapi yang harum tapi tidak menyengat. Ia sudah menyiapkan musik lembut untuk disetel. Saat Adrian keluar, ia berencana mematikan lampu dan menikmati waktu berdua dalam keremangan. Membayangkannya sudah cukup membuat Melva tersenyum tanpa sadar.

"Sekarang bukan jamannya wanita menunggu. Kalau memang diperlukan, kita harus inisiatif. Rayu suami atau pasangan kita, taklukan, kalau perlu kuasai tidak hanya nafsu tapi juga pikirannya. Bagaimana cara
menguasainya? Sex, tentu saja. Puaskan para laki-laki di ranjang, dijamin mereka tidak akan pernah bisa berpaling dari kita."

Sebuah artikel yang ia baca dari majalah dewasa, kembali terngiang di kepala saat ia sedang memoles bibir dengan liptint merah muda. Ia mengerjap ke arah cermin dan seketika merasa malu. Demi seorang Adrian, ia rela membaca artikel, menonton film porno, bahkan meminta saran dari mertua dan adik iparnya. Orang awam pasti tidak menyangka kalau ia sepolos ini. Seorang artis yang terkenal cantik dan sexy, nyatanya gemetar dan polos saat berhadapan dengan laki-laki.

Mengusap kaca dengan tisu untuk menghilangkan setitik kotoran di sana, Melva tersenyum kecil. "Harusnya, malam ini dia tidak akan bisa menolak pesonaku."

Ia berjengit saat pintu menceklak terbuka. Melva merapikan jubah dan dan mengikat longgar talinya. Membalikkan tubuh untuk melihat suaminya yang baru keluar dari kamar mandi dalam keadaan tubuh dan rambut setengah basah. Ada handuk yang melingkar di pinggulnya. Tanpa sadar ia menelan ludah, meski sudah pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, tetap saja merasa kalau Adrian begitu sexy dan menggairahkan. Melva merintih dalam hati, karena pikirannya yang vulgar.

"Mau aku bantu keringin rambut?" Ia menawarkan bantuan.

Adrian mengangguk, duduk di kursi depan kaca dan membiarkan Melva mengeringkan rambutnya.

"Aku lupa kalau rambutmu ternyata begini tebal. Aku hanya ingat, rambutmu hitam berkilau."

Adrian mengangkat sebelah alis, menatap istrinya dari kaca. "Hitam berkilau?"

Melva tersenyum. "Mungkin kamu nggak tahu, tapi saat kecil dulu aku sering memperhatikan kamu dari balik jendela kalau kamu sedang menyiangi rumput di halaman, membantu Mama menyiram bunga, atau juga sedang melakukan sesuatu seperti mengotak-atik sepeda. Rambutmu kena cahaya matahari terlihat hitam dan berkilau." Ia menjeda ucapan, kali ini mengeringkan rambut bagian samping. "Lalu, tanpa sadar aku memegang rambutku sendiri, merasa kecewa karena rambutku tidak sehitam kamu, justru cenderung kecoklatan."

"Bukannya para wanita suka mewarnai rambut mereka? Kamu juga nggak hitam sekarang."

"Memang, tapi waktu aku kecil ingin rambutku sehitam kamu. Coba kalau waktu itu aku pegang kepalamu seperti sekarang dan melihat kalau rambutmu sangat tebal, pasti rasa iriku akan bertambah berkali-kali lipat."

Adrian meraih tangan Melva yang bebas dan menggenggamnya. Mereka berpandangan melalui kaca.

"Aneh mendengar kamu iri hanya karena rambut."

Melva tersenyum malu. "Memang, aku pun merasa aneh."

"Tapi kamu nggak iri dengan tubuhku saat itu?"

Menggelengkan kepala Melva tertawa lirih. "Tentu saja, nggak. Kalau aku segemuk kamu dulu, nggak bakalan bisa jadi artis. Ups, maaf." Ia menutup mulut dan terkikik.

Adrian menganggaguk, menyadari kebenaran kata-kata istrinya. Ia yang dulu bertubuh gemuk dengan wajah bulat. Dengan kulit yang putih dan kacamata, penampilannya memang terlihat biasa saja. Saat itu, setiap orang menganggapnya kutu buku yang hanya tahu belajar. Ia ingat, tidak banyak mempunya teman di sekolah untuk diajak bermain. Kecuali tentu saja, para teman laki-lakinya datang ke rumahnya bukan untuk menemuib atau mengajaknya bermain melainkan mencari kesempatan bertemu Melva.

Sedari dulu, Melva sudah terkenal cantik dan menawan. Tidak ada satu pun anak laki-laki yang tidak suka padanya. Nyaris semua teman sekelasnya naksir Melva dan saat mereka tahu kalau ia bertetangga dengan gadis itu, segala cara digunakan untuk mendekat, termasuk berpura-pura menjadi temannya. Ia masih mengingat masa itu, karena menjadi bagian dari masa lalunya yang sangat mengesalkan.

"Sudah kering." Melva menyingkirkan pengering rambut dan berdiri di belakang kursi yang diduduki suaminya. "Mau pakai vitamin rambut?"

Adrian mengernyit. "Apa itu?"

"Sejenis minyak untuk membuat rambut sehat dan berkilau. Tunggu, aku yang oles."

Mengambil botol kecil, Melva menuang sedikit isinya ke telapak tangan dan mengusap perlahan ke rambut. Jemarinya memijat ringan kulit kepala Adrian. Saat melihat laki-laki itu memejam, ia menggerakkan telunjuk dengan lembut ke area tengkuk, melakukan gerakan memutar lalu berlanjut ke bagian belakang telinga. Bukan benar-benar menyentuh, hanya ujung jari yang menggores perlahan permukaan kulit dan ia mengulum senyum saat melihat bahu Adrian menegang.

"Kamu mau apa?" tanya laki-laki itu.

Melva menggeleng. "Nggak mau apa-apa, cuma memijat. Kenapa, nggak suka?"

"Geli."

"Oh, maaf."

"Lanjutkan, aku tahan."

Kali ini, tangan Melva menyusuri punggung Adrian dan ia terkesiap saat lengan laki-laki itu meraih tubuhnya. Dengan satu lengan melingkari pinggul, Adrian mendongak, menatap Melva.

"Kita akan melakukannya secara adil."

Melva mengerjap. "Maksudnya?"

"Kamu boleh menyentuh punggung atau pundakku, dan aku akan menyentuhmu juga."

Adrian menyentakkan tali jubah hingga terbuka. Melva menahan napas saat mata laki-laki itu tertuju pada tubuhnya yang berbalut lingere mini. Tanpa kata, Adrian menyelipkan lengan ke dalam jubah dan kini tangannya yang besar dan hangat melingkari pinggul Melva.

"Kamu mau apa?" tanya Melva.

"Membelaimu, sama seperti yang kamu lakukan sekarang."

Keduanya bertatapan dengan intens dan sama-sama menahan napas. Jemari Melva bergerak lembut untuk membelai punggung, bahu, dan leher Adrian, sementara tangan laki-laki itu mengusap perlahan pinggul, paha, bahkan jemarinya menyelinap di antara tali.

"Ini nggak adil," ucap Melva dengan napas berat, saat jemari Adrian meraba pangkal pahanya.

"Kenapa?" Mulut Adrian berada dekat dengan dada Melva yang menegang.

"Kamu merabaku dengan liar, dan aku hanya bisa pasrah dengan punggungmu."

"Kalau begitu, bagaimana kita ubah posisi."

"Hah."

Adrian bangkit dari kursi, mengangkat tubuh Melva dan mendudukkannya di meja rias. Ia memosisikan diri tepat di tengah sang istri. Tersenyum kecil lalu menunduk dan melumat bibir Melva.

**
Tersedia di google play book

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang