Bab 1b

4.3K 631 33
                                    

"Siapa laki-laki itu?" tanya Melva, menoleh ke belakang untuk mencari sosok yang baru saja berbicara dengannya.

"Pemilik hotel."

"Bukankah papa si Edward pemilik hotel."

"Ehh, sepertinya ada dua. Laki-laki itu salah satunya."

"Siapa namanya?"

"Siapa, ya? Aku lupa. Nanti aku cari tahu."

Sesampainya di ruang ganti, Melva berganti pakaian dengan cepat, sekaligus mengubah penampilan. Ia mengganti kostum manggungnya dengan gaun biru panjang semata kaki tanpa lengan. Membuat tubuh langsingnya terlihat indah. Anting-anting besarnya dicopot diganti dengan yang lebih kecil. Tidak lupa, sepatu hak tinggi menggantikan but.

"MJ, mamamu menelepon." Talia memberikan ponsel padanya dengan panik.

Melva menatap ponsel di tangan, memberi tanda pada semua orang yang ada di ruangan untuk diam lalu mulai menyapa.

"Ya, Ma."

Tak lama, terdengar suara desisan dari ujung telepon.

"Oh, bagus kamu, ya. Sengaja lupa malam ini ada acara apa?"

Melva mengernyit. "Ada acara apa, Ma?"

"Hah, jadi kamu lupa beneran atau benar-benar lupa, MJ. Malam ini kami para orang tua bertemu untuk menentukan tanggal pernikahanmu dengan Adrian!"

"Oh, itu. Aku pikir nggak jadi."

"Kamu pikir nggak jadi kalau kalian nggak datang? Oh, jangan kuatir. Kami para orang tua nggak peduli kalian berdua datang atau nggak, tanggal pernikahan sudah ditentukan."

Perkataan mamanya membuat Melva mengernyit. "Apa? Adrian nggak datang juga?"

"Iya, dia sibuk. Kamu juga sibuk. Kalian berdua sibuk saja, nggak usah pedulikan kami. Ingat satu hal, Melva. Dua bulan lagi kalian menikah!"

"Maa! Mana ada begitu. Memaksa itu namanya!" protes Melva.

"Siapa suruh kamu nggak datang, bye!"

Menatap ponsel dengan wajah tak percaya, Melva nmerasa dirinya diperdaya. Bagaimana mungkin orang tuanya menentukan pernikahannya tanpa persetujuannya. Malam ini, ia sengaja mengambil job demi menghindari pertemuan itu, ternyata ketidakhadirannya tidak lantas membuatnya selamat. Justru makin memperburuk posisinya.

Terduduk di kursi, masih dengan ponsel di tangan, Melva merenungi nasibnya. Orang yang dijodohkan dengannya adalah Adrian, teman semasa kecil dulu. Anak laki-laki gemuk dengan wajah bulat dan kulit kecoklatan. Adrian yang pemalu, tidak pernah berani menyapa atau mengajaknya bicara. Bertahun-tahun tidak bertemu, siapa sangka kalau ia akan dijodohkan dengan Adrian. Mendesah keras, Melva berharap kalau Adrian sudah turun berat badannya. Meskipun gemuk, setidaknya jangan keterlaluan.

"Kenapa murung begitu?" tanya Talia. Meriah ponsel dari tangan Melva dan menyimpannya.

"Aku akan menikah."

"Hah!"

"Iya, dua bulan lagi."

Talia terkikik, menganggap kalau bossnya sedang bercanda. "MJ, umurmu baru dua puluh tujuh, belum terlalu tua. Kenapa kepikiran untuk menikah? Dengan siapa? Luke?"

Melva menggelengkan kepala. "Dengan Adrian." Ia bangkit dari kursi, mengecek penampilannya sekali lagi sebelum kembali menyapa para tamu.

"Siapa Andrian?" Talia merendengi langkahnya, bertanya setengah menuntut.

"Calon suamiku. Malam ini, tanggal pernikahan sudah ditetapkan."

"Apaaa?"

"Nggak usaha kaget, Mama menelepon tadi buat ngasih tahu itu."

Talia bicara dengan wajah bingung. Ia menatap Melva yang melangkah anggun di sampingnya. Bagaimana wanita itu bisa begitu tenang membahas perjodohan dan pernikahan. Seolah-olah itu bukan hal yang besar.

"MJ, kamu yakin?"

"Soal apa?"

"Pernikahan."

"Entah."

Mereka kembali memasuki ballroom hotel. Sudah menjadi bagian dari tugas Melva untuk menyapa para tamu. Ia bergerak dari satu meja ke meja lain, ditemani sejumlah staf hotel dan Andrew yang seolah menempel padanya. Melva mendapati dirinya mengedarkan pandangan untuk mencari laki-laki pemilik hotel yang ia tidak tahu namanya, tapi nihil. Laki-laki itu tidak terlihat di mana pun. Ia ingin bertanya tapi malu. Terpaksa, ia menyimpan sendiri keinginannya.

"MJ, kamu cantik."

"MJ, kamu sexy dan pintar. Maukah kamu berkencan denganku."

"MJ, aku ingin lebih mengenalmu."

Rayuan demi rayuan yang keluar dari mulut Edward nyaris membuat Melva hilang kesabaran. Laki-laki kaya yang terbiasa mendapatkan apa pun yang dimau, tidak punya rasa malu meski harus merengek. Melva pamit pulang saat meja terakhir selesai disapa. Tidak mengindahkan Edward yang berusaha menahannya, ia menggandeng Talia menuju lobi hotel.

"Aku malas balik ke belakang. Kamu bilang sama tim, suruh mereka berbenah."

Talia mengacungkan jempol. "Sudah beres itu. Tenang saja."

"Rengekan Edward membuat kupingku sakit."

Entah apa yang lucu tapi Talia terkikik. "Dia memujamu."

"Huft, bukan aku tapi tubuhku. Kamu nggak lihat matanya nyaris copot saat melihat dadaku?"

"Hahaha. Memang mata keranjang. Eh, kita turun pakai lift khusus. Biar nggak ada penggemar atau orang yang biasa yang ikut."

Talia menuntun Melva menyusuri sebuah lorong dan berhenti di sebuah lift. Suasana sepi, tidak ada orang lain selain mereka berdua. Kalau sebelumnya ada dua penjaga yang mengawasi mereka dari jauh kini sudah pergi.

Lift membuka dan mereka bergandengan masuk. Untuk sesaat Melva terpana saat melihat sosok yang ia kenal sudah ada di dalam. Dua orang laki-laki berdiri berdekatan. Salah satunya adalah laki-laki dengan tahi lalat di wajah, seorang lagi yang kelihatannya lebuh muda, tidak ia kenal. Terdiam sesaat, ia mengangguk sopan ke arah mereka..

"Nona MJ, penampilan Anda bagus sekali malam ini." Laki-laki yang lebih muda, menyapa ramah.

Melva hanya tersenyum. "Terima kasih."

"Saya akan senang sekali mendapatkan tanda tangan, bisakah?"

Laki-laki muda berjas hitam mengulurkan pulpen pada Melva yang menerima dengan kebingungan.

"Eh, mau tanda tangan di mana?"

Laki-laki itu buru-buru membuka kancing jas dan menyodorkan dadanya yang memakai kemeja putih. "Di sini, Nona."

Bukan hanya Melv yang kaget, bahkan Talia pun ikut melotot bingung.

"Vector, kendalikan dirimu," tegur laki-laki bertahi lalat.

Laki-laki yang dipanggil Vector terlihat malu, kembali mengancingkan jas dan mengambil pulpen. "Lain kali saja, Nona. Untuk tanda tangannya. Bolehkan kalau foto?"

Kali ini Melva tersenyum. "Boleh."

Tanpa malu, Vecto membuka ponselnya dan berfoto selfie bersama Melva. Kepuasan terlihat jelas di wajahnya.

"Maaf, Pak Adrian. Nona Melva terlalu cantik dan saya tidak dapat menahan diri."

Mendengar nama Adrian disebut, Melva mengangkat wajah lalu menatap laki-laki bertahi lalat itu tak berkedip. Ia mencoba meyakinkan diri sedang tidak berhalusinasi karena mendengar nama calon suaminya disebut.

"Kita sudah sampai."

Laki-laki bernama Adrian menahan pintu lift, membiarkan Melva dan Talia keluar lebih dulu. Belum sempat Melva mengucapkan terima kasih, beberapa laki-laki datang menghampiri dan menyapa keras.

"Pak Adrian, apa kabar?"

Terdiam sesaat di tempatnya berdiri, Melva tidak salah mendengar kali ini. Laki-laki tampan itu memang bernama Adrian. Sungguh kebetulan yang aneh, karena ia baru saja akan menikah dengan laki-laki yang punya nama sama. Yang pasti, mereka bukan orang yang sama, karena Adrian yang ia kenal adalah sosok anak laki-laki gemuk dengan wajah bulat, bukan tinggi, tampan, dengan pandangan dingin mematikan.

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang