Bab 3a

3.7K 555 13
                                    

"Bagaimana kencan hari ini?" Talia menyambut Melva yang baru saja datang.

"Biasa aja. Kami fitting gaun pengantin."

Mata Talia melebar. "Wow, secepat itu?"

"Iya, untuk detil lain para orang tua yang akan mengurus."

"Lalu, kapan kalian mengadakan pertemuan keluarga?"

"Sudah'kan?"

"Tanpa kalian berdua. Maksudku itu lamaran!"

"Entahlah, karena sekali lagi itu urusan orang tua."

Talia berdecak tidak puas. Menurutnya, urusan pernikahan adalah hal besar, dan ia heran karena calon pengantin justru terlihat sangat santai.

"Kamu sudah beritahu Kak Ratna? Jangan sampai dia tahu dari wartawan."

Melva menggeleng, merogoh ponsel dan mengenyakkan diri di sofa. Ia lupa memberitahu sang manager soal rencana pernikahannya yang mendadak. Tidak bisa membayangkan reaksi Ratna kalau sampai mendengar berita itu, karena ia pun juga kaget.

Dugaannya tidak meleset, Ratna bukan hanya kaget, malah bisa dikatakan sangat shock. Wanita itu bahkan tidak sanggup berkata-kata untuk beberapa saat sampai akhirnya menyangkal dan mengatakan kalau Melva berbohong.

"Nggak mungkin seorang MJ yang sedang berada di puncak popularitas, rela menikah paksa? Dijodohkan orang tua? What? Kamu pikir ini jaman Siti Nurbaya?"

Suara Ratna terdengar nyaring di telinga Melva. Ia meringis, membayangkan sang manager yang biasa selalu tenang dan tegas, mendadak terguncang karena rencana pernikahannya.

"Kak, bukannya pernikahan itu hal biasa?" ucapnya lembut.

Terdengar helaan napas panjang, berikutnya disusul dengan rentetan penyangkalan. "Biasa katamu? Kamu lupa kamu ini siapa, MJ? Kamu bukan orang biasa? Para artis lain perlu waktu berbulan-bulan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan kamu? Dua bulan lagi? Oh, Tuhaaan! Rasanya kepalaku mau pecah!"

Setelah membiarkan Ratna mengoceh selama tiga puluh menit, Melva mengakhiri panggilan. Melangkah lunglai menuju kamar dan berganti pakaian olah raga. Makanan yang masuk ke perutnya siang ini tinggi kalori dan ia harus membakarnya. Lusa ada jadwal pemotretan dan ia tidak mau terlihat jelek dengan perut membuncit.

Selama lari di atas threadmill, pikiran Melva penuh dengan Adrian. Tidak pernah ia bayangkan kalau perjodohan yang diucapkan saat kecil, kini menjadi kenyataan. Ia tidak punya pilihan untuk menolak dan harus menjalani pernikahan dengan laki-laki yang tidak ia cintai.

"Apakah setelah kami menikah nanti, akan tumbuh cinta?" Melva bertanya dalam hati, terbayang wajah Adrian yang tampan dengan senyum dingin yang membuat orang enggan mendekat.

**

Rapat yang berlangsung selama lima jam tanpa henti, membuat semua orang frustrasi. Awalnya mereka mengira hari ini akan berjalan menggembirakan. Penghuni kantor bahkan ada sebagian yang bernyanyi dan berdendang. Semua karena sang CEO tidak ada di tempat. Pergi dari pagi dan tidak ada yang tahu ke mana. Namun, siapa sangka setelah makan siang, Adrian kembali dan langsung menggelar rapat hingga sore.

Mata berair, bahu pegal, jantung yang berdetak tak karuan, panas dingin karena tegang dan ketakutan, itu yang dirasakan semua karyawan yang mengikuti rapat. Sang CEO seakan menguji nyali mereka dengan membuat mereka jungkir balik, baku hantam, memberikan pendapat dan juga dukungan.

Saat rapat dinyatakan selesai, tidak ada satu pun orang yang berani beranjak dari kursi. Semua terdiam, menunggu hingga Adrian bangkit dan meninggalkan ruangan lebih dulu. Mereka menunggu dengan tidak sabar untuk segera menghela napas lega, minum kopi untuk meredakan ketegangan, atau menelepon pasangan. Saat derit kursi terdengar dari tempat sang CEO, mereka semua mendongak penuh harap. Namun, Adrian tidak beranjak. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke seluruh karyawan.

"Ada pengumuman penting yang ingin aku sampaikan pada kalian!"

Jantung mereka bertalu-talu dan berdetak tidak karuan. Mungkinkah terjadi sesuatu yang fatal? Apakah ada kesalahan yang sudah mereka perbuat? Tidak ada yang bisa menebak jalan pikiran sang CEO.

"Kalian akan lebih sibuk dalam dua bulan ini. Aku ingin semua urusan yang tertunda dikerjakan secepatnya, tentu saja tanpa ada kesalahan. Karena—"

Keringat dingit mengucur dari dahi dan masuk ke kerah kemeja para karyawan. Tubuh mereka bergetar karena rasa takut.

"Aku akan menikah! Sebelum aku mengundang kalian ke pesta pernikahanku, pastikan kalau semua urusan selesai!"

Kantor gempar, bukan hanya itu, seluruh penghuni gedung berteriak tak percaya. Kabar kalau sang CEO akan menikah, bagaikan petir di siang bolong.

"Menurutmu, siapa yang akan dinikahi oleh si dingin itu?" Seorang wanita, karyawan keuangan bertanya pada temannya.

"Entahlah, yang pasti bukan wanita biasa. Karena Tuan Adrian Wangsa, tidak mungkin memilih wanita dari kalangan rendah."

"Apa menurutmu, putri konglomerat yang selama ini mengejar Tuan Adrian?"

"Ah, bisa jadi atau juga, janda muda itu. Bukankah dia seorang pebisnis andal?"

"Entahlah, yang pasti orang kaya rasa atau berpengaruh."

Berbagai spekulasi muncul terkait kabar pernikahan sang CEO. Dugaan-dugaan tentang siapa calon pengantin wanita, menjadi topik popular yang paling banyak dibicarakan karyawan hingga beberapa hari lamanya.

Sementara sang pemeran utama justru sedang sibuk bekerja dan tidak mengindahkan berbagai gosip dan spekulasi tentang pernikahannya.

"Apa kita akan ke Singapura, Pak?"

Adrian mengangguk. "Jadwalkan Minggu depan. Lebih cepat lebih baik."

Vector mengangguk. "Bagaimana dengan peninjauan hotel kita di Bali dan Sumba? Itu mendekati dengan hari pernikahan Anda."

"Tetap jadwalkan, Vector. Yang mengurus pernikahan bukan aku," ucap Adrian sambil lalu. Ia tetap menunduk di atas dokumen dan sedang membacanya secara teliti.

"Baiklah kalau begitu. Apakah Anda sudah memesan cincin, Pak?"

Kali ini Adrian mendongak. "Cincin apa?"

Kalau tidak ingat sedang bicara dengan boss besar, ingin rasanya Vector berteriak putus asa. Bagaimana mungkin ada orang mau menikah dan belum mempersiapkan cincin.

"Dua macam cincin. Pertunangan dan Pernikahan."

"Ah, begitu. Cincin pertunangan sepertinya sudah disiapkan keluargaku. Kalau yang pernikahan nanti akan aku urus."

"Secepatnya, Pak. Jangan sampai lupa."

"Baiklah, ingatkan aku."

"Kalau begitu, saya masukkan jadwal. Apa ada hari yang harus saya kosongkan? Misalnya untuk mengurus detil pernikahan?"

Adrian menggeleng. "Tidak, ada yang mengurus."

Sungguh seorang calon pengantin yang tenang, pikir Vector geli. Menatap atasannya dengan pandangan tak percaya. Bisa-bisanya Adrian terlihat sangat tenang saat bicara pernikahan.

Vector berdehem sesaat lalu memberanikan diri bicara. "Pak, perlu saya ingatkan kalau Nona MJ itu artis besar."

"Aku tahu."

"Pernikahannya akan mendapatkan sorotan dari seluruh negeri. Memenuhi semua kolom berita dan menjadi topik panas di kolom gosip."

Adrian berdecak, memandang asistennya. "Kamu mau bilang apa, Vector?"

"Hanya mengingatkan untuk berhati-hati mengurus detil pernikahan. Karena kesalahan kecil sekalipun, akan menjadi bahasan seluruh negeri."

"Kamu menakutiku?"

Vector menggeleng. "Tidak, Pak. Mana berani saya. Hanya mengingatkan, karena calon istri Anda seorang pesohor."

Saat asistennya menghilang di balik pintu, Adrian menyandarkan kepalanya ke kursi. Memikirkan tentang wanita yang akan menjadi istrinya. Sebuah pernikahan paksa dan ia yakin kalau Melva pasti akan menolak kalau ada kesempatan. Sayangnya, wanita itu tidak punya pilihan lain selain menikah dengannya. Ia merasa bersalah pada Melva.

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang