Bab 9a

3.3K 457 24
                                    

Melva menunggu suaminya mandi dengan jantung bertalu-talu. Ia sendiri sudah mengganti pakaian olah raganya dengan jubah handuk. Duduk di ujung ranjang, ia tidak tahu apa yang diharapkan dari Adrian yang sedang mandi. Apakah ia menginginkan suaminya keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang? Rasanya itu sungguh tidak mungkin. Adrian yang menolak untuk menyentuhnya, tidak mungkin semudah itu memamerkan tubuh.

Ia menatap ranjang besar yang sekarang diduduki. Menyadari kalau memang ini kamar mereka, berarti harus tidur bersama. Sudah seminggu mereka menjadi suami istri, tapi entah kenapa rasanya masih asing satu sama lain. Tidak ada kemesraan layaknya pengantin baru. Melva menunduk, mengusap wajah dengan sendu.

"Kamu mau mandi?"

Ia mendongak kaget mendengar suara Adrian. Langkah kaki laki-laki itu sama sekali tidak terdengar.

"Eh, iya. Aku mau mandi." Tanpa sadar Melva menghela napas lega, saat melihat suaminya keluar dari kamar mandi dengan selembar handuk menutupi dari perut sampai ke atas lutut. Ternyata, pikiranya yang kotor. Sengaja menghindari untuk menyentuh tubuh suaminya, Melva bergegas masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuh. Pikirannya mengembara ke mana-mana selama mandi, tentang tubuh kekar Adrian dan berharap saat keluar nanti suaminya sudah memakai pakaian lengkap. Kalau tidak, ia bisa gila karena kehilangan akal.

"Aku sudah sering melihat laki-laki tanpa penutup dada. Bukan hanya melihat tapi juga bekerja bersama mereka dan foto berdua. Tapi, kenapa sama Adrian aku malah deg-degan?"

Menggosok sabun pada seluruh tubuh, Melva bergumam pada dinding yang basah. Mengetuk kepalanya yang basah dan merasa gila karena bicara sendiri.

Masih dengan handuk menutupi kepala dan tubuhnya yang basah, Melva keluar dari kamar mandi. Ia tertegun saat melihat Adrian berbaring di ranjang dalam balutan celana pendek tanpa atasan.

"Kita tidur seranjang?" tanyanya bingung.

Adrian mengangguk, merapikan letak kacamata yang dipakai. "Tentu saja, MJ. Kita suami istri."

Menghela napas tak percaya, Melva menuju meja rias. Selain mengeringkan rambut, ia juga memakai produk perawatan wajah. Dua puluh menit kemudian, ia mengambil gaun tidur dan memakaianya di dalam kamar mandi.

Menyibakkan selimut, Melva berbaring di samping Adrian yang sedang membaca laporan di tablet. Tidak habis pikir dengan otak laki-laki itu yang bekerja tanpa kenal lelah. Ia menatap langit-langit kamar yang terang.

"Sudah mau tidur? Nggak mau cerita bagaimana wawancara hari ini?"

Melva menatap suaminya. "Wawancaranya bagus, host-nya tanya tanya soal pernikahan kita dan aku jawab seadanya. Bagaimana kamu? Hari ini sibuk? Ada sesuatu yang istimewa terjadi?"

Adrian menggeleng. "Nggak ada yang istimewa. Hanya sibuk seperti biasa. Bertemu orang-orang dan rapat sampai larut."

"Nggak ketemu orang penting atau siapa begitu?"

"Nggak ada, hanya rekan bisnis."

Dasar pembohong, gumam Melva dalam hati. Jelas-jelas ada Nikita di sana dan Adrian mengatakan padanya tidak ada orang lain selain rekan bisnis. Ia tidak habis pikir, kenapa suaminya harus menyembunyikan pertemuannya dengan Nikita. Padahal, ia berharap Adrian jujur. Dengan begitu, ia bisa mempercayai laki-laki yang menjadi suaminya itu. Nyatanya, Adrian memilih untuk berbohong dan itu membuatnya kesal.

"Aku tidur dulu, nite." Ia menarik selimut hingga ke dagu dan mulai memejamkan mata.

"Aku juga mengantuk."

Melva tidak berani membuka mata, tapi ia bisa merasakan Adrian bergerak untuk mematikan lampu. Tak lama, tubuhnya dilingkari lengan yang kokoh dan hangat.

"Nite, MJ." Adrian berbisik lirih di telinganya, dan membuat Melva terjaga untuk beberapa saat, sampai akhirnya rasa lelah membuatnya tertidur pulas.

Ada yang salah, itu yang ada di pikiran Melva saat jemarinya menyentuh sesuatu yang keras dan panas. Meski begitu, ia tidak berhenti untuk menyentuh dan menjalankan apa yang dibisikkan di telinganya.

"Yah, begitu, enak. Kocok perlahan, jangan keras-keras."

Melva menggerakkan tangannya naik turun, jemarinya membelai lembut, melingkari bagian tubuh yang menegang itu. Ia menyentuh ujungnya dan merasakan pinggul Adrian bergerak lebih dekat.

"Ah, tanganmu enak sekali?"

Melva tidak mengerti, apa yang enak dari jemarinya. Yang ia lakukan hanya menggerakkannya naik turun, membelai lembut dan menyentuh dengan ujung jari. Ia bisa merasakan cairan membasahi telunjuknya.

Ia sendiri tidak dapat menahan desahan saat merasakan puncak dadanya dicubit lembut. Ia melenguh saat jemari itu kini berpindah ke area intim dan menyelusup masuk ke celana dalamnya. Menyentuh area vitalnya dengan lembut.

"Aah."

"Kamu hangat, sangat hangat."

Jari jemari Adrian membelai lembut permukaan area intimnya, tidak cukup hanya itu, juga membelai klitorisnya. Ia mendambakan sesuatu yang lebih.

"Gerakan tanganmu, jangan diam."

Ia melakukan apa yang dibisikkan suaminya. Tangannya bergerak untuk menyentuh bagian tubuh Adrian yang menegang sementara tangan laki-laki itu bergerak lembut di area intimnya. Napas mereka terdengar keras di ruangan yang sunyi dan Melva menjerit kecil saat satu jari Adrian memasukinya.

"Apa, kenapa? Sakit?"

Melva membuka mata, mengangkat jarinya dari tubuh Adrian dan menatap laki-laki itu setengah berbaring di sampingnya. Rupanya, matahari sudah muncul dan sinarnya menerangi kamar yang semula gelap. Melva menatap bagian bawah tubuhnya yang setengah telanjang. Bagaimana tidak, selimut membuka dengan baju tidurnya tersingkap hingga ke dada. Tangan Adrian masih berada di atas perutnya dan ia bergerak untuk menyingkirkannya. Tanpa sengaja ia menyentuh sesuatu yang panas dan ia melihat kejantanan Adrian yang menegang. Sama sepertinya, laki-laki itu juga dalam keadaan setengah telanjang.

"Kak, aku—"

Adrian menggeleng, meraih baju tidur Melva dan merapikannya. Setelah itu, ia merapikan celananya sendiri.

"Maaf, sudah membuatmu ketakutan."

Melva menggeleng cepat. "Bukan itu, hanya—"

"Sakit? Aku yang salah, terlalu memaksakan diri. Maaf."

Melva sama sekali tidak mengerti kenapa Adrian harus meminta maaf. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini, mereka sama-sama tidak sadar saat saling menyentuh. Kenapa harus minta maaf? Ia tidak merasa sakit saat jemari Adrian menyentuhnya. Ia hanya kaget dan berharap itu dilakukan dengan lebih lembut.

"Aku harus bangun, olah raga. Kalau kamu masih ngantuk, tidur saja lagi."

Adrian bangkit dari ranjang, memakai kaos dan meninggalkan Melva sendirian. Ia perlu bergerak dan olah raga akan sangat membantunya. Tidak hentinya ia mengutuk diri karena sudah sembarangan dalam bertindak. Harusnya, ia bisa lebih menjaga jari agar tidak menyakiti istrinya.

Mengangkat barbel, berlari di atas threadmill, nyatanya tidak membuat pikiran Adrian tenang. Gairahnya tidak kunjung padam dan saat teringat kembali akan sentuhan Melva, kejantanannya menegang. Merasa frustrasi, ia meninju samsak dan membiarkan tenaganya terkuras.

"Damn! Sial!"

Ia memaki, saat tanpa sengaja terantuk dan jari kakinya membentur besi. Menyumpah tanpa henti, Adrian terduduk di atas matras, menyesali diri karena terhanyut akan pesona istrinya. Rasa sakit di jarinya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan rasa sakit di kejantanannya yang menegang karena gairah yang tidak tersalurkan.

**

Part lengkap tersedia di google playbook dan Karya Karsa

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang