Bab 8a

3.3K 497 30
                                    

Melva terengah, merasakan panas bibir Adrian di tubuhnya. Tangan laki-laki itu menyentuh ke segala arah dan membuat kulitnya seolah terbakar. Gaun yang dipakai teronggok di lantai. Adrian membuka bra tanpa tali yang dipakai Melva dan tangannya dengan posesif meremas dada istrinya.

"Kak ...." Melva merintih. Jari kemari Adrian menyentuh, memainkan putingnya dengan lembut dengan mulut Adrian masih berada di mulutnya. Lidah mereka bertautan dan saling melumat dengan ganas.

Lutut Melva gemetar. Ia pasrah saat Adrian menariknya ke atas ranjang dan menindihnya. Bibir laki-laki itu bergerak lemburt dari leher, bahu, dan mengulum lembut putingnya. Rasanya seperti ada ledakan dalam dada Melva, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak pernah ia tahu sebelumnya kalau sebuah cumbuan bisa membuat tubuh panas membara. Selama menjadi artis, ia selalu menghindari adegan mesra yang berlebihan. Tidak pernah ada pengalaman sebelumnya dengan laki-laki dan kini, berada di bawah tubuh Adrian, kewarasannya hilang.

Bibir Adrian bergerak turun, dengan tangan masih meremas buah dadan Melva. Jejak basah ditinggalkan di setiap tempat yang disentuh olehnya. Melva menggeliat, saat jari laki-laki itu membelai lingkaran pinggangnya.

"Kamu harum, memabukkan," bisik Adrian.

Melva menggelinjang, jari Adrian bergerak di atas celana dalamnya. Napasnya pendek-pendek dan berat. Dengan dada tegak menantang, tangannya meremas rambut Adrian, berharap laki-laki itu membuka pakaiannya. Rasanya memalukan, saat ia telentang dalam keadaan telanjang, sedangkan laki-laki itu masih berpakaian lengkap.

Keadaan menjadi berbeda saat tiba-tiba kamar menggelap. Mati lampu sepertinya. Adrian menghentikan cumbuannya hingga beberapa detik kemudian, lampu kembali menyala. Ia mengerjap, menatap Melva yang terlentang dengan tubuh setengah telanjang. Ia seperti menyadari sesuatu, buru-buru bangkit dari atas tubuh wanita itu dan berucap gugup.

"Ma-maaf."

Tanpa banyak kata, ia keluar dari kamar dan meninggalkan Melva dalam keadaan heran, bercampur marah. Meraih selimut untuk menutupi tubuh. Melva merutuki dirinya. Ia tidak mengerti kenapa Adrian tiba-tiba mengakhiri cumbuan mereka. Mereka suami istri yang sah, tidak ada salahnya saling berbagi kehangatan.

Mengayunkan kaki dan menjejak lantai, Melva melangkah gemetar menuju cermin. Mengamati bulir-bulir kemerahan di sekujur tubuhnya. Ada jejak cumbuan Adrian tertera jelas di sana.

Melangkah menuju lemari, ia membuka dan meraih pakain tidur. Menutup tubuhnya yang masih gemetar oleh gairah, Melva menuju kamar mandi. Berharap dengan guyuran air hangat, akan meredakan kebingungan yang melandanya.

Menghela napas panjang, Melva meletakkan kepalanya pada dinding kamar mandi. Membiarnya air mengguyurnya. Memikirkan Adrian membuatnya bingung. Satu waktu laki-laki itu begitu hangat, tapi di lain waktu seolah tidak tertarik padanya. Seperti tadi, mereka bercumbu dengan penuh gairah dan mendadak Adrian pergi meninggalkannya.

"Ada apa denganmu, Adrian?"

Suara Melva bergema di kamar mandi. Setelah merasa cukup bersih, ia mengeringkan tubuh dan rambut. Memoles wajah dengan krim malam. Ponselnya berdering, Talia menelepon untuk jadwal esok pagi.

"Ada wawancara dengan sebuah stasiun televisi. Bukan hanya wawancara tapi kamu juga tampil menyanyi. Itulah kenapa Kak Ratna mengambil job ini."

Melva terdiam, mendengarkan Talia mengatur jadwal untuknya. Dari mulai jam latihan, dirias, dan sesi wawancara.

Setelah Talia selesai menelepon, Melva terduduk di ranjang. Mengamati kamarnya yang sangat besar dengan perabotan mewah yang sepertinya impor dari luar negeri. Ada walk in closet yang terdiri atas lemari putar dan lemari gantung. Sepertinya, Adrian khusus mendesain untuknya.

Merebahkan diri di ranjang, Talia berharap Adrian datang dan mereka bicara. Namun, hingga dua jam kemudian saat dirinya sudah terlelap, sang suami tak kunjung muncul di kamar. Keesokan harinya, saat bangun ia mendapati Adrian sudah ke kantor. Terpekur sendiri di atas ranjang, Melva berusaha untuk tidak menangisi hatinya yang hampa.

**

Membolak-balikkan dokumen di tangan, Adrian berusaha memfokuskan pikiran. Hari ini ada rapat yang harus dihadiri dan beberapa pertemuan dengan orang-orang penting. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menggantung sebelum sibuk saat akhir tahun.

Semua hotelnya dalam kondisi delapan puluh persen terisi. Meningkat sepuluh persen dari bulan lalu. Bahkan saat ia mengumumkan pernikahan dengan Melva, sempat mencapai seratus persen. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang penggemar istrinya yang merasa perlu memberikan dukungan untuk sang artis.

Mengingat tentang Melva membuat pikiran Adrian melayang. Tanpa sadar menghela napas saat kejadian tadi malam muncul dalam ingatannya. Ia memaki diri sendiri karena terbuai oleh hangat tubuh Melva dan nyaris bercinta, kalau saja tidak tersadar lebih cepat. Masih ia ingat, raut wajah Melva yang kebingungan dan ia merasa bersalah karenanya.

Harusnya, ia tidak memulai. Harusnya ia bisa menahan diri. Bahkan sampai pagi, ia tidak dapat memicingkan mata dan dihantui rasa bersalah sekaligus meredam gairahnya yang mencul dengan tak tahu malu.

"Pak, hari ini Nona MJ ada wawancara di TV."

Suara Vector memutus lamunan Adrian. "Aku sudah setuju dengan wawancara itu."

Vector mengangguk. "Iya, Pak. Hanya mau mengingatkan, apa kita akan menjemputnya nanti malam?"

Adrian mengernyit. "Kenapa?"

Vector tidak dapat menyembunyikan rasa herannya mendengar pertanyaan Adrian. "Bukankah harusnya begitu, Pak? Suami menjemput istri?"

"Oh, kita lihat saja nanti. Nggak tahu mau berapa lama pertemuan hari ini."

Mereka berdiam diri hingga kendaraan mencapai pintu kantor. Rapat digelar 15 menit dari kedatangan Adrian. Kali ini, bahkan berjalan sangat menegangkan karena sang boss seperti tidak puas dengan penjabaran para pegawai. Adrian yang baru saja menikah dengan seorang artis terkenal, tidak ada bedanya dengan yang dulu. Justru terlihat makin galak dan kejam. Mereka menduga, jangan-jangan pernikahan tidak membuat Adrian bahagia dan melampiaskan segala amarah pada mereka. Itu hanya dugaan, tidak ada yang berani bertanya soal kebenarannya.

"Pak, Nona Nikita akan datang ke kantor pukul enam."

Adrian mengernyit. "Mau apa?"

"Dia bersama direktur PT. Harisma Jaya."

"Kenapa Nikita bisa bersamanya?"

Victor menggeleng. "Itu yang saya kurang tahu."

Diliputi rasa heran, Adrian setuju untuk menemui Nikita. Sebagian niatnya karena ingin tahu apa hubungan antara sang direktur dengan sepupu jauhnya itu. Setahunya, mereka tidak dalam kerja sama apa pun.

Saat istirahat siang, Adrian menyalakan TV. Hal yang sudah lama tidak ia lakukan. Ia mencari saluran yang akan menayangkan wawancara istrinya, sayangnya tidak ada. Merasa heran, ia mengirim pesan pada Melva dan mendapati kalau ponsel sang istri tidak aktif. Menimbang sesaat, akhirnya ia mengirim pesan pada Talia dan mendapat jawaban dari sang asisten saat itu juga.

"MJ sedang latihan, Pak. Akan tampil nanti sore jam tiga. Saat bekerja memang nggak pernah mengaktifkan ponsel."

Cukup puas dengan jawaban Talia, ia mematikan TV dan kembali fokus dengan pekerjaannya. Mengingatkan diri sendiri saat waktu luang nanti menonton pertunjukan istrinya. Sayangnya, banyaknya pekerjaan membuatnya lupa. Hingga sore jam lima, ia sama sekali tidak ingat untuk membuka saluran TV.

How To Seduce My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang