17. Jogja?

497 65 5
                                    

Dentingan jam sangat nyaring terdengar saat malam semakin larut. Sebagian besar lampu ruangan bagian depan sudah padam, hanya beberapa ruangan yang lampunya masih menyala. Aku yang baru saja menyelesaikan tugas akhir untuk semester kali ini menghela napas lega sembari meregangkan tubuhku yang terasa kaku karena duduk selama beberapa jam di hadapan laptop. Pun, tenggorokan ku terasa kering dan butuh untuk dibasahi secepatnya.

Ku edarkan pandanganku ke seluruh kamar dan tidak menemukan atensi mas Taeil dimana pun. Tak mau menyiksa tenggorokan ku lebih lama lagi aku pun segera berjalan ke arah dapur. Dan ternyata di sanalah mas Taeil duduk. Menopang dagunya di atas mini bar dengan secangkir kopi yang terlihat masih mengepulkan asap. Entah apa yang ia pikirkan sampai-sampai telat menyadari keberadaanku yang sudah duduk di sampingnya sambil membawa botol air mineral dingin.

Dengan sigap ia mengambil botol itu dari genggamanku dan membukakan segelnya untukku, "Mas kira kamu langsung tidur setelah selesai ngerjain tugas." ujarnya kemudian menyerahkan kembali botol air mineral itu pada ku.

"Bisimillah." ucapku sebelum meneguk air tersebut, kemudian melafazkan "Alhamdulillah." setelah merasa lega saat air dingin tersebut membasahi tenggorokanku dengan nyaman.

"Haus mas, terus tadi juga gak nemuin mas di kamar. Jadi, aku cari sekalian ambil minum." jawabku setelah membiarkannya menunggu beberapa saat. "Maaf mas sebelumnya kalau aku lancang, ada yang ganggu pikiran mas ya, tadi sampai lama banget sadar keberadaan aku?" tanyaku pelan. Takut-takut membuat pria ku ini merasa tak nyaman.

Mas Taeil tersenyum simpul, tangannya terangkat mengusap puncak kepala ku dengan lembut. "Kamu gak perlu minta maaf gitu loh, dek, sebenarnya. Kamu juga punya hak untuk bertanya apa yang lagi dipikirkan sama suami sendiri. Aku malah senang banget loh, kalau kamu sering tanya-tanya kayak gini." jujurnya yang sukses membuat hati ku sedikit mencelos.

Pasalnya aku sadar betul jika selama ini aku masih belum mampu mengekspresikan kasih sayang atau perhatian ku kepada mas Taeil dengan benar. Aku benar-benar bingung bagaimana cara mengekspresikan itu semua. "It's okay, dengan kamu manja dan bergantung sama mas udah cukup nunjukin bagaimana perasaan kamu ke mas." kata mas Taeil seolah tahu apa yang ku pikirkan.

"Mau peluk mas boleh?" tanya ku malu-malu.

Ia merentangkan tangannya lebar, persekian detik kemudian aku sudah berada di dalam pelukannya. Membenamkan wajahku di dada bidangnya. "Terus apa yang lagi ganggu pikiran, mas, saat ini?" tanya ku lagi.

Ia menunduk, tatapan kami bertemu. "Gimana ujian akhirnya?"

"Lancar, tugas yang tadi terakhir." jawabku.

"Berarti tinggal nunggu IP keluar?" aku mengangguk singkat, "Nah berhubung urusan kampus kamu udah beres dan mas tiga hari lagi diberangkatkan ke Jogja, kamu ikut juga ya, dek?"

"Tiba-tiba?"

Mas Taeil menggeleng, "Nggak tiba-tiba, dek, emang udah lama harusnya mas ke Jogja tapi batal karena cororong. Alhamdulillah sekarang udah kondusif, kita juga udah vaksin. Gak lama kok dek, cuma 2 minggu."

"Gapapa emangnya kalau aku ikut, takutnya nanti aku malah ganggu. Terus kalau mas kerja aku sama siapa nanti di sana?" aku memberikan pertanyaan beruntun untuk mas Taeil. Ada rasa cemas juga karena aku sebelumnya tidak pernah keluar kota.

"Adek ikut ke kantor gapapa, mau tunggu di hotel juga bisa habis itu kita jalan-jalan. Sekalian nih honeymoon ke Jogja."

"Dekat banget honeymoonnya ke Jogja doang."

Mas Taeil tertawa mendengar ucapanku. "Terus adek mau ke mana? Cappadocia?"

Aku menggeleng cepat, "Cappadocia bagus, tapi aku lebih pingin ke Venice, city of water. It's my dream, mas." celetuk ku.

"Kenapa Venice, ada apa di sana?"

"Itu salah satu kota paling romantis yang ada di Itali, mas."

Mas Taeil manggut-manggut, "Jadi adek mau romantisan di sana nih ceritanya?" goda mas Taeil.

"Ih, peka banget mas ku ini." seruku dan kemabali mengeratkan pelukanku padanya. Ku rasakan telap tangannya mengusap lembut kepalaku.

"Kita sholawatin bareng-bareng ya, dek." ujar mas Taeil.

"Loh, mas, kenapa kita malah bahas honeymoon ke Venice. Terus Jogja, gimana?" sadarku saat pembahasan kami sudah jauh dari titik awal.

"Targetnya untuk tuntasin projek di sana paling lama 2 minggu. Dan kalau kamu ikut mas bisa usahain seminggu beres. Tapi, minggu pertamanya mas bisa pastiin kalau mas bakalan sibuk banget. Bisa jadi berangkat pagi-pagi dan balik ke hotelnya tengah malam atau bahkan nginep di kantornya, biar minggu ke duanya bisa kita manfaatkan untuk jalan-jalan." jelas mas Taeil.

Mata ku memicing, sedikit tak suka mendengar penjelasan mas Taeil. "Kalau gitu mending aku gak ikut." perlahan ku renggangkan jarak di antara kami berdua lantas kembali duduk karena sedari tadi pelukan dengan posisi berdiri.

"Lah, kok gitu dek?" tanyanya dengan nada yang bisa ku pastikan bahwa mas Taeil tidak terima.

"Lebih baik aku nunggu di rumah, kalau aku ikut nanti mas memforsir diri mas untuk cepat-cepat nyelesain projeknya. Aku gak mau ya kalau mas sakit gara-gara maksaiin diri untuk cepat nyelesaiin projeknya. Ingat, kesehat itu harus diprioritaskan. Mencegah lebih baik dari pada mengobati, mas. Mas selalu bilang gitu kalau aku telat makan." tegasku yang membuat mas Taeil diam cukup lama.

"Mas, jalan-jalan bisa kita lakukan kapan aja dan dimana aja, di jalan depan komplek juga aku mau asal sama mas, asal mas sehat." aku menghela napas sebentar lalu kembali berucap, "Tapi kalau mas lakuin seperti kata mas barusan, aku gak mau. Aku gak mau mas sakit. Itu aja. Jadi, aku tunggu di rumah. Mas kerja semestinya aja, jangan sampai memforsir diri."

"Tapi mas gak bisa jauh dari kamu. Ikut ya dek?" bujuk mas Taeil.

"Dengan syarat mas gak boleh memforsir diri, kita gak sempat jalan-jalan di Jogja juga gak apa-apa. Asal mas sehat. Gimana?"

Ia mengangguk antusias, "Iya, mas janji!" serunya sembari mengajakku untuk pinky promise.

"Oke, deal." final ku sambil mengaitkan jari kelingking kami berdua.

Tbc...

Mas Ft. Moon TaeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang