18. What if Mas gets jealous?

536 73 17
                                    

Sinar candra malam ini terlihat begitu terang masuk ke dalam kamar melalui celah-celah ventilasi udara. Jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, baik aku maupun mas Taeil sudah selesai dengan urusan per-skin care-an yang selalu kami lakukan bersama dan telah menjadi kebiasaan sejak awal pernikahan. Tersisa aku yang masih sibuk merapikan meja rias sementara mas Taeil sudah lebih dulu naik ke atas tempat tidur. Menselonjorkan kakinya dan bersandar pada headboar bed sembari men-scroll layar iPad-nya, paling mengecek email kerjaan.

Namun saat menyadari langkahku mendekat ke arahnya, ia langsung meletakkan kembali alat elektronik tersebut di atas nakas samping tempat tidur lantas merentangkan tangannya lebar-lebar, kode meminta untuk dipeluk. Maklum saja, mas Taeil lagi manja-manjanya setelah LDR hampir duapuluh hari lamanya.

Rencana awal dimana aku akan menemaninya selama di luar kota batal karena sehari sebelum keberangkatan tiba-tiba aku jatuh sakit yang mengharuskan ku untuk di-infus di rumah walaupun sempat dipaksa untuk ke rumah sakit. Tapi, bagi ku mencium bau obat-obatan di rumah sakit malah semakin membuat ku pusing. Jadi, mau tak mau mas Taeil harus pergi tanpa diriku untuk memenuhi tanggung jawabnya di kantor meskipun sempat ragu dan harus diyakinkan berkali-kali oleh para orang tua kami.

"Mas, besok aku izin ke kampus ya ngurus daftar ulang."

"Mas anterin aja, sekalian tarik tunai buat bayarnya. Mas rasanya uang cash mas gak cukup."

Aku menggeleng pelan, "Aku sendiri aja mas, takutnya lama. Mas kan juga kerja, jatah cutinya kan cuma 3 hari setelah pulang dari Jogja." tolak ku dengan nada selembut mungkin agar tidak menyinggung mas Taeil. "Uangnya juga udah ada kok, sisa belanja bulanan kita selama ini aku simpan di laci tengah meja rias eh ternyata cukup, malah ada sisa 200 ribu." jelasku padanya.

"Bawa motor dong?" tanyanya lagi. Tangannya mengusap lembut kepalaku. Membuatku semakin menelusukkan kepalaku ke ceruk lehernya.

"Hmm," dehamku, lantas mendongak untuk menatap lelaki yang sudah hampir setahun menjadi suamiku. "Besok anterin ambil motor ke rumah ibu, ya?" aku memandang

Ia menggeleng, "Nggak deh, mas anter aja. Lagian cuacanya juga lagi gak nentu sekarang. Paginya cerah, siangnya bisa hujan. Makanya banyak yang kena batuk pilek. Mas anter aja, oke?" ujarnya dengan menatapku penuh harap.

"Iya mas."

***

"Terus ini balik ke kampus?" tanya mas Taeil sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil dan langsung memasang seatbelt. Aku baru saja selesai melakukan pembayaran setelah menunggu cukup lama, syukurnya aku dan mas Taeil datang cepat sehingga nomor antrian yang ku dapatkan pun termasuk nomor yang kecil.

"Iya mas, divalidasi dulu ke loket." jawabku lesu.

Mas Taeil mengernyitkan alisnya, kemudian menyalakan mesin mobil lantas menjalankannya dengan pelan. "Kenapa gitu mukanya, capek?" diraihnya tangan kananku menggenggamnya erat.

"Lumayan, haus juga. Terus tadi teller banknya gak ramah sama sekali, jadi gak mood." aduku.

"Nanti mampir ke mini market dulu deh beli minum." ajak mas Taeil.

"Di dalam kampus ada warung wakaf, mas. Nanti mas tunggu aja di situ, biar aku ke loket." paparku yang langsung dianggukui oleh mas Taeil.

Tak terasa 10 menit kemudian kami berdua sudah sampai di area kampus yang sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dari bank tadi, hanya saja karena melewati 3 lampu merah mumbat perjalanan memakan waktu.

Aku bergegas membuka seat belt, "Aku ke loket dulu ya, mas." melihat dari mobil kondisi loket ramai atau tidak.

"Loh, gak beli minum dulu?" tanya mas Taeil.

Mas Ft. Moon TaeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang