19. Can we?

429 65 6
                                    

Note: ini work konfliknya gak bakalan berat-berat banget, soalnya hidup di rl udah berat, di wp jangan gitu juga dong, ygy.

Happy reading💚

Menjadi orangtua adalah idaman setiap pasangan, namun tak jarang pula dari pasangan tersebut tidak siap dalam mengurus dan mendidik anak.

Aku menatap nanar dua benda pipih yang sama-sama menunjukkan dua garis merah pertanda positif tergeletak di atas meja rias.

Pagi ini cukup hectic karena sejak subuh tadi aku merasa mual-mual, bahkan untuk mencium aroma masakan ku sendiri aku tidak sanggup. Sehingga mas Taeil yang melanjutkannya.

"Dek.." lirih mas Taeil yang sedari tadi berdiri di belakangku. "M-mas minta maaf." lanjutnya menyentuh pundak ku ragu-ragu.

Aku memejamkan mata sembari menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menghembuskannya secara perlahan. Ku putar arah duduk ku menghadap mas Taeil lantas mendongak menatap tepat ke maniknya. "Mas gak perlu minta maaf, it's all okay, mas." ku raih kedua tangannya dan menggenggamnya erat.

"Tapi kan rencana awal kita sepakat untuk sama-sama nunda punya anak sampai kamu wisuda nanti."

"Memang kesepakatannya begitu, tapi, kalau sudah terlanjur diberi rezki oleh Allah seperti saat ini yang bisa kita lakukan ya bersyukur." aku tersenyum diakhir kalimat. "Ini anugrah, mas. Sudah rezki kita." imbuhku.

Mas Taeil menarik ku ke dalam dekapannya. Mengecup puncak kepala ku lama. "Terima kasih, dek, terima kasih. Mas takut kamu marah, kamu gak siap, karena apa yang sudah kita rencanain dari awal gak gini. Salah mas juga lalai gak pakai pengaman waktu itu." ujar mas Taeil.

Aku mendongak, kembali menatapnya. "Mas, aku yakin mas khatam banget dengan kalimat 'manusia hanya bisa berencana, Allah SWT. lah yang menentukannya', kan?"

Ia hanya mengangguk pelan.

Aku tersenyum simpul, "Nah, paham kan berarti?" lagi-lagi mas Taeil hanya mengangguk. "Yasudah, mendingan sekarang mas ganti baju. Kita ke rumah sakit buat memastikan keakuratan test pack ini."

****

"Selamat ya bu, pak, kandungan ibunya jalan 3 minggu." ucap dokter, beliau tersenyum dimana senyumannya itu mengingatkan ku pada ibu, tidak mirip, hanya saja senyum manis itu terasa tulus, sama ketika ibu memberikan ku senyum tatkala mendengarku meraih prestasi zaman sekolah dulu. "Mengingat usia kandungan yang masih sangat muda, ibunya hati-hati dalam berkegiatan dan memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi."

Ku rasakan rangkulan mas Taeil pada pundak ku mengerat, aku menoleh ke arahnya yang kini tengah menatapku juga, "Dengar, dek, mulai sekarang pekerjaan rumah biar mas yang handle. Mas gak mau dengar penolakan, ya, dek. Jadi nanti adek tinggal duduk manis aja, jangan jauh-jauh dari jangkauan pandang mas." ujar mas dengan nada tak mau dibantah membuatku menggumamkan namanya, sedikit malu, karena ibu dokter menertawakan sikap mas Taeil yang tiba-tiba over protective.

Mas Taeil mengalihkan pandangannya ke arah bu dokter, "Untuk makanan yang bagus dikonsumsi ibu hamil apa aja ya, dok, terus ada tidak makanan pantangannya atau hal yang gak boleh dilakukan ibu hamil?" tanya mas Taeil, wajahnya terlihat begitu serius saat ini menanti jawaban dari bu dokter atas pertanyaannya barusan.

"Makanan seperti telur, daging tanpa lemak, sayuran hijau, ikan salmon, sama buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C, juga makanan yang berbahan dasar gandum bagus untuk ibu hamil. Untuk makanan yang gak boleh itu seperti junk food, kurangi juga mengkonsumsi makanan atau pun minuman yang mengandung kafein juga alkohol, makanan mentah sangat tidak dianjurkan untuk dikonsumsi selama masa kehamilan. Untuk lebih spesifiknya bapak bisa baca-baca di internet atau buku-buku mengenai kehamilan." jelas bu dokter panjang lebar. "Untuk kegiatannya sebaiknya ibu tidak melakukan olahraga yang high impact atau yang intensitasnya tinggi karena bisa menyebabkan pendarahan, jangan minum obat sembarangan, jangan merokok. Intinya kalian berdua calon orang tua mulailah pola hidup sehat." lanjut ibu dokternya, lantas meraih kertas kecil beserta pulpen dan langsung menulis di atasnya.

Tak lama setelah itu, ia menyodorkan kertas tersebut ke mas Taeil. "Ini resep vitaminnya, bisa ditebus di apotek depan. Bapaknya rajin-rajin untuk bawa istrinya kontrol ke dokter, ya?"

"Syiap!" seru mas Taeil yang membuatku kaget, karena berteriak tiba-tiba. Nadanya persis seprti sound yang sering lewat di FYP. Efek keseringangan buka aplikasi toktok nih.

"Semangat banget calon bapak." goda ibu dokter yang ku ketahui namanya dari jas dokter yang dikenakan ialah, dr. Ningning. Dokter yang kuperkirakan umurnya sekitaran 40an ke atas ini terkekeh melihat tingkah mas Taeil. "Sampai jumpa di pemeriksaan selanjutnya, sehat-sehat ya mama muda." ucap bu Ningning saat kami bersalaman sebelum keluar ruangan beliau.

****

"Dek?"

"Adek?"

"Humaira-ku, adek dimana?"

Ku hentikan sebentar kegiatan ku, mengernyit bingung entah apa yang terjadi dengan mas Taeil hari ini. "Aku di teras belakang, mas." sahutku. Tak lama aku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru menghampiriku.

Ia bersedekap dada, menatapku tajam saat sudah berada satu meter di hadapan ku. "Mas kenapa gitu, ih?" tanyaku sedikit tidak suka dengan cara mas Taeil menatapku, seolah-olah aku tengah melakukan kesalahan saja.

"Kita baru tadi pagi loh ke dokter, adek udah lupa?"

Aku menghela napas panjang, "Mas, nyapu doang bukan pekerjaan yang berat. Udah gapapa ya, aku jangan terlalu dimanjaiin, repot nanti kalau mas ada pekerjaan di luar kota terus aku manjanya ke siapa?" ujarku.

"Ya tetap sama mas, lagian nanti kalau ada kerjaan ke loar kota mas bakalan alihkan ke Tio atau siapa gitu yang bisa." balasnya santai, "Sini sapunya, biar mas yang lanjutin." Ia meraih sapu dari tanganku.

"Mas.." panggil ku lirih, tatapannya yang tadi cukup menyebalkan kini berubah lembut seperti biasanya, ia menyandarkan sapu pada kursi jati di belakangnya sebelum mengikis jarak di antara kami. "Kenapa, apa yang ganggu pikiran adek?" tanyanya lembut.

"Kita bisa gak ya, maksud adek, kita bisa gak jadi orang tua yang baik buat anak kita kelak, can we?"

Mas Taeil merengkuh tubuh ku ke dalam dekapannya. "Inshaallah, bisa, masih banyak waktu untuk kita belajar how to be good parents. Sekarang kita fokus ke kesehatan adek aja, jangan terlalu banyak pikiran biar si debay di dalam sana sehat." kata mas Taeil kemudian merenggangkan jarak kami, "Duduk gih, biar mas yang lanjutin. Oh ya, adek kalau mau cuti kuliah nanti mas bantu urus."

Suasan yang tadinya cukup melow untuk ku langsung berubah tatkala mas membahas perihal cuti kuliah.

"Mas ih," kesal ku, aku memukul dadanya pelan, "Aku masih bisa handle, aku gak selemah itu, bisa kok aku jaga diri. Kalau cuti nanggung banget bentar lagi wisuda aku tuh. Gak ya, aku gak mau cuti."

"Iya deh iya, tapi ingat gak boleh terlalu ambis kayak biasannya sering begadang buat ngerjain tugas. Kasih tau temen-temen adek juga kalau tugas kelompok ngerjainnya ya bareng-bareng bukan dilimpahkan semua ke adek. Kalau adek malu, biar mas yang ngomong nanti."

"Gimana caranya?"

"Ya tinggal kirim VN ke grup kelas adek,  ngasih warning sama mereka." ujarnya santai.

"Yaampun, mas, sampai segitunya."

"Ya harus, biar gak semena-mena sama istri mas." katanya tegas.

Aku hanya mengangguk pasrah akan perilaku mas Taeil yang semakin protektif. "Terima kasih, mas."

Ia mengusap puncak kepala ku lembut, "Sudah menjadi kewajiban mas." ucapnya kemudian mengecup keningku  sekilas lantas melanjutkan menyapu lantai yang sempat tertunda tadi.

Tbc...

Mas Ft. Moon TaeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang