03. Memastikan

2K 289 57
                                    

Sorry belum sempat revisi, dunia nyata lagi ngajak main-main belakangan ini:((

Aku duduk bersandar di headboard kasur milik Aera sambil memeluk bantal gulingnya. Saat ini aku tengah berada di kamar kostnya.

Aera ini teman sekelasku saat SMA dulu, satu lagi namanya Vivi namun saat ini Vivi tengah melanjutkan studynya di luar kota. Sedangkan Aera memilih menekuni agama lebih dalam lagi di pondok, masih satu yayasan dengan kampusku.

Level persahabatan kami bertiga sudah seperti saudara. Saat ada masalah, kami selalu bercerita dan memberi cara penyelesaiannya. Tidak ada rasa canggung sama sekali.

“Aku harus gimana, Ra?”

Aera menatapku dengan tatapan seriusnya, karena ini memang pembicaraan serius kan. Aku sudah menceritakan semuanya pada Aera, mulai dari pertanyaan ayah yang tiba-tiba hingga ucapan kak Taeil beberapa hari yang lalu.

“Minta petunjuk sama Allah, aku gak tau mau nyaranin apa. Ini masalah hati soalnya,” ucap Aera. “Kalau calonnya kak Taeil yang notabenenya calon suami idaman aku sih yes. Tapi balik lagi, ini persoalan hati. Kamu yang bakalan jalanin kedepannya gimana.” tambahnya.

Aku menghela napas panjang, “Gak tau ah, pusing. Ada makanan gak, aku jadi laper,” aku menepuk-nepuk perutku menunjukkan pada Aera bahwa aku membutuhkan asupan makanan.

Aera mendengus, “Ini di kost ya, bukan di rumah. Kalok mau makan beli dulu ayo,” kata Aera sambil menarik tanganku untuk keluar membeli makanan.

×××

Saat masih berada di kost-kostannya Aera, Kak Taeil tiba-tiba menelpon dan memberitahu kalau ia tengah berada di kampus dan mengajakku untuk jalan.

“Aku lagi di kost teman kak.”

“…”

“Motor aku gimana?”

“…”

“Ya udah, aku tunggu di gang samping toko baju itu ya, kak.”

Dan di sinilah kami, duduk berhadapan dekat jendela kaca yang menghadap langsung ke arah jalanan di salah satu restoran cepat saji.

“Kak Taeil abis dari mana?”

Kak Taeil yang tadinya menyesap minuman coffeenya menatapku, “Ada meeting di kantor pusat, Alhamdulillah cepat selesai jadi bisa ngajak kamu ke sini,” jawabnya.

Ini siapa yang ngajarin Kak Taeil ngomong gini?

Kak Johnny nih, kayaknya.

“Pasti capek kan, kenapa gak langsung balik aja?”

“Capeknya langsung hilang setelah liat kamu senyum tadi.” ucap Kak Taeil dengan santai.

Aduh Kak, kenapa sih?

Aku hanya terkekeh kecil menanggapinya.

“Serius.” ujarnya, lagi.

“H-hm,” aku berdeham untuk menutupi rasa gugupku. “Aku mau mastiin sesuatu, kak.” kataku mencoba memberanikan diri menatap tepat ke manik pria yang duduk di hadapanku ini.

“Apa?” tanya Kak Taeil.

Astaga kenapa aku baru menyadari kalau tatapannya begitu lembut dan emm terlihat seperti memuja, mungkin.

Tolong dong, ini kenapa jantungku tiba-tiba berdetak abnormal seperti ini?

“Kak, aku ini orangnya mageran, apalagi ngerjain tugas rumah kayak cuci piring, pakaian, aku juga gak jago masak. Masih mau sama aku?”

Kak Taeil menarik kedua sudut bibirnya ke atas, mengukir senyuman pada wajahnya. “Aku niat nikahin kamu untuk jadi istri aku, pendamping hidup aku. Bukan jadi asisten rumah tangga gitu, itu semua emang tugas istri. Tapi, selama aku bisa ngerjain juga ya kita kerjain bareng-bareng. Kita nikah untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing, kan.” ucap kak Taeil.

Hmmm,  jawaban yang bangus.

“Terus aku kalok PMS lebih ganas dari raja hutan loh, kak.”

Kak Taeil malah tertawa mendenger ucapanku. Padahal aku lagi serius loh ini.

“Yeu si Kakak malah ketawa, aku serius loh,” protesku. “Terus jadi gak nafsu makan, maunya ngemil mulu.”

Aku malah dibuat terkesiap olehnya yang tiba-tiba mengusap kepalaku lembut.

“Kakak siap, sekalipun jadi bahan pelampiasan mood kamu waktu PMS. Terus, siap juga beli cemilan sebanyak apapun yang kamu mau,”

Astaghfirullah, bucin sekali Kakak Taeil ini. Tapi gimana dong, matanya memancarkan ketulusan.

Oke, simpan dulu. Satu pertanyaan lagi.

“Kak, aku juga gak cantik. Gak skincare-an kayak cewek kebanyakan. Pokoknya belum bisa ngerawat diri, ngerawat diri aja aku belum bisa apalagi ngerawat Kakak nantinya. Masih mau?” aku menundukkan kepalaku tak berani menatap Kak Taeil setelah melontarkan pertanyaan ketigaku masih dengan topik yang sama.

“(Y/n), aku mau kamu yang apa adanya, bukan ada apanya. Lagian kalau cintanya berdasarkan karena kecantikan atau ketampanan saja itu gak akan bertahan lama,” kata Kak Taeil lugas. “Aku gak punya alasan yang pasti kenapa aku mau nikahin kamu. Aku cuma ngikutin apa kata hati aku.”

Tanpa sadar aku kembali menatap Kak Taeil dengan bibir yang melukis senyuman.

“Aku ditanya gitu sama kamu lagi berasa interview kerja tau, bedanya ini seleksi buat jadi suami kamu.” ucap Kak Taeil dengan tampang innocentnya.

Astaghfirullah, pengen ngarungin Kak Taeil aja rasanya.

“Eheheh.” Kekehku dengan canggung.

“Jadi, kapan aku bisa diterima jadi suami kamu?”

TBC…

Mas Ft. Moon TaeilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang