BAB 1

3K 88 2
                                    

Kini aku duduk di pantulan cermin seraya merias diri hendak menyambut suamiku yang akan pulang hari ini setelah pergi ke luar kota untuk melakukan pekerjaannya yang ada disana. Ku oleskan lisptik berwarna pink di bibirku agar terlihat lebih segar. Tak sabar aku ingin segera bertemu dengannya. Setelah tiga hari aku di landa rasa rindu yang menyiksa. 

Kami mengarungi rumah tangga sudah 8 tahun lamanya. Namun tak kunjung di beri keturunan. Dan hal itu selalu membuatku takut akan kehilangan Mas Amran. Sosok suami yang begitu aku cintai bahkan melebihi dari aku mencintai diriku sendiri. Bagaimana aku tidak mencintainya. Sejak pertama kali bertemu 8 tahun yang lalu dia dapat meluluh lantakan hatiku ini pada pandangan pertama. Wajahnya yang tampan nan rupawan dengan bentuk yang sangat sempurna tanpa cela. Tubuhnya profosional serta penampilannya yang rapih membuat dirinya terlihat bak seorang pangeran arab. Apalagi ketika itu Mas Amran adalah lulusan kairo Al-azhar yang sudah di pastikan ke sholehannya karena mengetahu ilmu agama. Mas Amran pun ketika itu sudah mapan karena bisnis yang sudah dia rintis sejak kuliah. 

"Mas maafkan aku belum bisa memberimu seorang anak," kataku seraya membenamkan wajahku di dada bidangnya kala malam itu. Tangan Mas Amran melingkar di bahuku seraya mengusap lembut rambutku yang hanya terbuka saat berdua bersamanya saja. 

"Tidak apa-apa sayang. Mungkin Allah belum mempercayai kita. Yakinlah jika sudah saatnya maka sangat mudah bagi Allah untuk memberikan kita seorang anak dari rahimmu," ujarnya menenangkanku. 

"Mas andaikan aku tak dapat memberimu keturunan seumur hidupku. Akankah Mas berpaling dariku dan mencintai wanita lain?" tanyaku yang selalu di ucapkan setiap kami berdua. Saat aku selalu merasa tak dapat menjadi istri yang sempurna baginya. 

"Inshaallah Mas tidak akan menduakanmu. Apalagi meninggalkanmu. Mas sangat mencintaimu Aisha. Memilikimu saja adalah sesuatu yang sangat berharga. Kamu istri yang baik. Bagaimana bisa mas tega menduakan istri paling cantik dan sangat shalehah ini," ucapnya seraya mencium keningku penuh cinta dan kasih sayang. 

Perilakunya sungguh lembut. Dia selalu menjadi penenang di saat hati ini gundah. Penyemangat di saat aku menyerah. Tak terasa air mata ini kini mengalir dari pelupuk mata. Aku terharu dan sangat bersyukur memiliki suami sepertinya. Tampan, sholeh, lembut dan mapan. Sempurnalah sudah Mas Amran bagiku. Bagaimana aku tidak mencintai pria sepertinya. 

Mas Amran mengusap air mata di pipiku. Dia berkata dengan lembut hingga sampai menyentuh hingga dasar hati ini. "Jangan menangis jannah. Mas tidak ingin melihatmu bersedih. Yakinlah bahwa Mas tidak akan meninggalkanmu." 

"Terimakasih Mas sudah mencintai wanita sepertiku yang bahkan tak dapat membahagiakanmu walau hanya memberi seorang anak saja," ucapku seraya menatapnya penuh rasa bersalah. 

"Shuuttt tidak baik berkata seperti itu. Allah tidak suka pada hambanya yang selalu pesimis. Istri Mas kuat. Kita jalani semua ini bersama. Ada apa tidaknya anak di antara kita. Mas akan tetap mencintaimu. Mas akan selalu ada di sampingmu sayang!" ucapnya yang semakin membuat hati ini tersentuh. Lalu dia memeluk tubuhku. Mencium keningku kembali beberapaka kali. Ah sungguh wanita mana yang tidak bahagia jika di perlakukan seperti ini. Bersamanya aku bagaikan ratu yang selalu di muliakan. Di jaga dan di cintai sepenuh hati. 

Malam itu Mas Amram kembali menggauliku. Penuh cinta dan kasih sayang. Sebagai ikhtiar kami untuk memiliki seorang anak. 

Aku tersenyum sendiri membayangkan keindahan kala malam itu. Malam terakhir sebelum Mas Amran pergi ke luar kota. Ah membayangkan wajah tampannya saja membuat rasa rinduku semakin menggebu tak sabar ingin segera bertemu. 

Tak lama kemudian terlihat dari jendela kaca dari lantai dua mobil pajero sport berwarna putih datang. Langsung aku berjalan menuruni tangga dengan hati yang bahagia. Ku buka pintu dengan bibir yang tersenyum siap untuk menyambut suamiku datang. 

Terlihat kini Mas Amran keluar dari dalam mobil seraya membawa tas yang berisi laptop. Dia langsung tersenyum menatapku. Namun aku tertegun ketika melihat seorang wanita yang kini keluar dari pintu pertama mobil itu. Seorang wanita berjilbab pendek yang entah siapa. Namun hatiku tiba-tiba cemburu saat mendapati bahwa wanita itu duduk berdampingan dengan suamiku. 

Siapakah dia? mengapa duduk berdampingan dengan suamiku? Mengapa bukan ibu mertuaku saja yang duduk di depan bersama Mas Amran? 

Entah kenapa perasanku tiba-tiba saja tidak enak. Hatiku merasa cemburu melihatnya meski aku belum tahu pasti siapa wanita cantik itu. 

Meski begitu. Aku tetap tersenyum menyambut kedatangan mereka. Tak melihatkan rasa tidak  nyaman di hatiku. 

"Assalamualaikum sayang," ucap Mas Amran seraya tersenyum. Lalu aku mencium pundak tangannya dan dia pun membalas dengan mencium lembut keningku seperti biasanya. 

Lalu aku menatap ibu mertuaku dengan tersenyum pula. Menyambutnya dengan ramah.  "Assalamualaikum ibu." 

“Waalaikumsalam.” Beliau punmengangguk dengan senyuman yang di paksakan seperti biasanya. Ibu tidak terlalu menyukaiku. Mengingat aku tidak bisa memberikannya seorang cucu hingga saat ini. 

Lalu pandanganku kini tertuju pada wanita cantik dengan kulit yang putih bagaikan rembulan itu. Dia tersenyum manis padaku. Lalu menyapaku dengan begitu ramah. 

"Salam kenal mba. Aku Bella," ujarnya seraya berjabat tangan denganku. Akupun menyambutnya dengan senyuman hangat.

Dan kini semuanya sudah berada di meja makan. Setelah aku mempersilahkan semuanya untuk masuk. Untung saja hari ini aku masak banyak. Tadinya untuk menyambut suami ku datang dan juga ibu mertuaku. Aku tidak tahu bahwa akan ada tamu seorang wanita yang sampai saat ini entah kenapa aku cemburu melihatnya. 

Suasana kini begitu hangat. Ibu mertuaku tak henti mengajak bicara Bella dan memuja mujinya. Menceritakan tentang karirnya dan juga keluarganya yang terpandang. Sedangkan Aku sibuk mempersiapkan makan beserta mbok Inah yang bekerja sebagai pembantu di rumahku. Aku  alaskan makan untuk Mas Amran dengan rendang kesukaannya dan juga sayuran yang menjadi pendampingnya. Lalu tak lupa aku juga memberikannya segelas air putih untuk minumnya.

"Terimakasih sayang," ucap Mas Amran seraya tersenyum menatapku. 

"Iya mas.” Ucapku seraya membalas senyumannya itu.

Aku melirik ke arah ibu mertuaku yang selalu saja menatap sinis ke arahku. Baru saja aku akan menawarinya mau makan sama apa. Namun Bella lebih dulu menawarinya. Mereka terlihat sangat akrab. Seperti seorang menantu dan mertua yang sangat akur. Hingga lagi-lagi membuatku cemburu melihatnya. Mengingat aku tidak pernah sedekat ini bersama dengan ibu mertuaku. Meski aku sudah menganggapnya sebagai ibu sendiri karena ibuku sudah meninggal lima tahun yang lalu. Belum memiliki keturunan selalu menjadi problem untuk keluarga kecil kami. 

"Terimakasih nak Bella. Kamu memang wanita baik. Sangat cocok jika menjadi seorang istri dari Amran. Ibu akan sangat bahagia memiliki menantu sepertimu. Cantik dan selalu mengerti keinginan ibu. Apalagi kamu bisa memberikan ibu seorang cucu. Ah ibu akan sangat bahagia sekali nak.” 

Deg 

Hatiku begitu sakit rasanya mendengar penuturan ibu tentang wanita itu. Istri? Apa maksud dari perkataan ibu tadi? Akankah wanita itu menjadi. Ah langsung ku tepis saja  semua pikiran itu. Aku tidak ingin menerka-nerka hal yang buruk.

Ku tatap Mas Amran yang kini tengah menatapku pula dengan tatapan merasa bersalah dan tidak enak akan perkataan ibunya terhadapku. 

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang