BAB 14

97 2 0
                                    

"Aisha apa yang kamu lakukan pada Ibuku?"

Suara Mas Amran begitu mengagetkanku. Ku tatap wajahnya yang kini menatap tajam diriku. Rahangnya mengeras. Untuk kedua kalinya ku lihat wajah marah itu seumur pernikahan kami. 

Aku menggeleng pelan. Menatap kedua bola matanya memohon agar percaya padaku.

Sedangkan Ibu kini bersandiwara dengan menghapus air matanya. Raut wajahnya terlihat sangat teraniaya. 

"Amran Aisha kembali menekan Ibu untuk tidak menikahkanmu dengan Bella," ujar Ibu. 

Mendengar kata-kata itu Mas Amran kembali menatapku. Dia menggelengkan kepalanya kuat. Lalu menghela nafas panjang seraya berjalan perlahan menghampiriku. 

"Benarkah itu Jannah?" tanyanya dengan suara pelan. Namun nyaris sangat terlihat bahwa beliau sedang marah. 

"Tidak Mas. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin meluruskan bahwa bukan aku pelaku yang hendak mencelakai Ibu. Tapi ternyata semua itu sandiwara Ibu sendiri agar kita berpisah Mas," ucapku membela diri. Karena aku tidak salah sama sekali. 

"Ibu katakan yang sebenarnya. Jangan bohong Ibu. Jangan memfitnahku. Tahukah Ibu fitnah itu dosa yang besar!" Ucapku pada Ibu dengan raut wajah yang sangat marah. Sungguh aku tak menyangka bahwa dia akan kembali memfitnahku lagi untuk yang kedua kalinya. 

Mas Amran kini diam. Dia masih mengatur emosinya. Menelisik siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kami. Sedang Ibu kini malah semakin bersandiwara. Dia menangis tersedu-sedu seraya duduk di sofa. Demi Allah aku sakit hati olehnya. Dan kali ini aku berdoa semoga Allah membalas semua kejahatanmu padaku Ibu. 

"Aisha begitu bencikah kamu pada Ibu? Kenapa kamu malah mengatakan Ibu yang memfitnah mu. Sementara memang kamu tadi hendak mengancam Ibu kembali," ucap Ibu membela diri. Dia mengurut kepalanya. Tubuhnya limbung. Tentu saja Mas Amran langsung mendekatinya. Menopang tubuhnya. 

"Tidak Ibu. Tolong katakan yang sebenarnya pada Mas Amran. Jangna berbohong Bu. Rumah tangga kami bisa hancur karena Ibu. Bukan aku yang tidak menyukai Ibu. Tapi Ibu yang ingin menyingkirkanku."

"Sudah hentikan. Aku tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Dari kemarin kepalaku rasanya ingin pecah memikirkan ini semua. Aku tak meminta apapun. Aku hanya ingin kalian akur. Kalian adalah dua wanita yang sangat aku cintai. Bisakah kalian akur? Aku tak tahu harus bagaimana jika seperti ini," ucap Mas Amran dengan raut wajah yang kacau dan kecewa.

Aku menundukan kepala. Air mataku menetes. Aku tahu Mas Amran bukanlah pria yang mudah untuk percaya jika tak ada bukti yang kuat. Namun Ibu selalu berhasil meyakinkannya dengan sandiwaranya. 

"Ibu ingin sekali akur dengan Aisha. Tapi Aisha yang memulai Amran. Kamu lebih percaya pada siapa? Ibumu atau istri mu? Ingat nak siapapun itu yang namanya seorang Ibu tak akan pernah ingin membuat anaknya bersedih dan terluka. Ibu tak pernah membohongimu."

Aku menggeleng kuat. Kata-kata Ibu sungguh dusta.

 "Seorang Ibu yang baik akan selalu mengalah demi kebaikan anaknya. Sekalipun dirinya terluka. Sekalipun keinginannya tak terkabulkan," ucapku dengan nada tegas. 

"Aku memang wanita yang tak bisa mengandung anak. Aku memang wanita yang belum sempurna. Tapi aku selalu berusaha menjadi istri yang baik. Ketika Ibu mengatakan akan menikahkan Mas Amran dengan Bella aku menyetujuinya meski aku harus memikirkannya dahulu. Aku ridha, aku ikhlas. Tapi ketika itu Ibu pernah mengatakan bahwa Bella tak ingin di madu. Dan menawariku beberapa harta yang Ibu punya dengan syarat aku harus meninggalkan Mas Amran. Aku berucap seperti ini dengan bersumpah bahwa aku tidak berbohong. Allah saksinya."

"Ku harap Mas Amran bisa menilai siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa yang jujur dan siapa yang berbohong. Meski aku hanya istrimu. Wanita yang tidak memiliki ikatan darah dengan Mas. Tapi setidaknya waktu delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk Mas mengenaliku. Bagaimana sifatku. Apakah aku pernah berbohong atau tidak. Apakah aku pernah melukai hati Ibu atau tidak. Mas tahu sendiri bahwa yang membenciku pertama kali adalah Ibu. Masihkah Mas percaya akan perkataannya yang menuduhku?"

Kataku panjang lebar. Aku tak peduli apa Mas Amran akan marah atau tidak. Ini adalah pertama kalinya aku bertengkar hebat dengan beliau. Aku tak bisa diam saja. Di fitnah adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. 

Ku lihat Mas Amran mengacak rambutnya kasar. Namun ku lihat tangannya terus bergerak menandakan bahwa dia terus beristigfar untuk mengontrol amarahnya. 

"Ibu memang tidak terlalu menyukai mu sejak dulu. Tapi mencelakakanmu tidak pernah terbesit sedikitpun di dalam pikiran Ibu. Bagaimanapun kamu adalah menantu Ibu. Wanita yang sangat di cintai anakku."

"Jangan memfitnah orang. Bukankah tadi Ibu bilang bahwa Ibu yang melakukan ini semua untuk menjebakku?" ucapku dengan menatap tajam wanita yang menjadi mertuaku.

"Sudah cukup Jannah. Jangan melanjutkan bicaramu. Seburuk apapun Ibu. Dia tetap adalah Ibu ku. Wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini," ucap Mas Amran.

Tak ku sangka Mas Amran kini lebih membela Ibu. Padahal dia belum tahu bagaimana kebenarannya. 

"Aku tahu itu Ibumu. Aku tahu Ibu adalah orang tua. Tapi salahkah jika aku membela diriku dari fitnah yang dia tujukan padaku?"

"Jannah sudah hentikan. Ibu sakit hati  mendengarnya!" ucap Mas Amran saat Ibu kini semakin menangis tersedu-sedu seolah dia yang paling teraniaya. 

"Mas hanya memikirkan Ibu. Tapi tidak memikirkan perasaanku. Demi Allah aku sakit hati akan fitnah yang Ibu tujukan padaku!" Ucapku dengan nada yang tinggi. Aku sudah tidak tahan. Rasanya ingin ku keluarkan kekesalan yang selama ini aku pendam. 

Selama ini aku tak pernah membicarakan keburukan Ibu pada Mas Amran. Aku masih menghargai Mas Amran. Meski Ibu selalu memperlakukanku dengan buruk di rumah. Tapi selalu ku tutupi itu darinya. Hingga kini yang terlihat oleh Mas Amran Ibu adalah baik. Meski terkadang Mas Amran lihat sendiri kebencian Ibu padaku dan melihat perilaku Ibu yang buruk padaku. Namun ada yang lebih buruk perlakuan Ibu padaku. Tentunya di belakang Mas Amran. Ketika Mas Amran sedang tidak ada di rumah. Dan tak ku katakan itu semua pada suamiku.

 Namun Mas Amran kini membela Ibu. Wanita yang seharusnya dia hormat. Tak peduli dia salah atau benar. Bukan aku melarangnya memperlakukan surganya dengan begitu mulia. Tapi aku hanya ingin keadilan.

"Sudah cukup Jannah. Hentikan pembicaraanmu. Kita biacarakan nanti saja semua ini." Mas Amran memeluk Ibu. 

"Aku ingin menyelesaikannya sekarang Mas. Aku tak tahan. Dadaku rasanya ingin meledak karena menahan amarah sejak delapan tahun silam. Kini Ibu sudah keterlaluan padaku. Aku sakit hati olehnya. Demi Allah aku sakit hati olehnya."

"Astagfirullah... Ada apa dengan mu Jannah. Aku tidak mengenal dirimu yang seperti ini. Kamu selalu lembut. Tapi kenapa sekarang kamu seperti bukan istriku?"

"Aku manusia Mas. Sesabar-sabarnya aku jika terus di sakiti akan marah. Apalagi di fitnah. Ini sangat menyakitkan bagiku. Mas tidak adil. Mas hanya condong kepada Ibu. Tapi tak pernah menatapku. Mas selalu menganggap Ibu benar karena dia adalah wanita yang melahirkanmu ke dunia ini. Tak sadarkah aku juga adalah istrimu Mas. Yang akan sakit jika kamu tidak berbuat adil. Jika seperti ini kamu dzolim Mas. Kamu suami dzalim!" Kataku dengan bergetar. 

Entah ada apa. Akupun tak tahu kenapa aku punya keberanian yang besar seperti ini. Seumur hidup aku tak pernah meniggikan suaraku di hadapan Mas Amran. Namun sepertinya semua ini karena aku telah memendam semuanya sendirian. Hingga kini aku meledak. Dadaku terasa tak bisa menampung lagi permasalahan ini. 

Duri Dalam PernikahankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang